Laman

CARA SYAR’I UNTUK MEMILIH PEMIMPIN NEGARA

Tahun 2009 adalah tahun yang dinanti-nanti oleh partai-partai yang ada di Indonesia untuk membuktikan eksistensi dalam mengadakan perubahan pada pemerintahan. Banyak partai Islam, Nasionalis, Marhaenis, dsb mendaftarkan diri sebagai partai peserta PEMILU 2009. Tidak sedikit keberadaan mereka menimbulkan perpecahan dan kisruh. Bendera warna-warni banyak dikibarkan di jalan-jalan, seakan negeri ini sedang ada perayaan. Perayaan atas terlupakannya nasib rakyat kecil? Allohu a’lam.

Terlepas dari sistem apa yang sedang dijalankan oleh negara kita –Indonesia- dalam memilih seorang Presiden, berikut ini cuplikan langsung cara syar’i untuk memilih pemimpin negara dari buku “Menggugat Demokrasi & Pemilu; Menyingkap Borok-Borok Pemilu dan Membantah Syubhat Para Pemujanya” karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdillah Al-Imam terbitan Pustaka Salafiyah. Semoga bisa menjadi bahan perenungan serta pengetahuan kepada kita semua.

Semoga saja daulah Islamiyah di Indonesia segera tegak. Laa ‘izzata illaa bil-islam, wa laa islama illaa bisy-syari’at, wa laa syari’ata illaa biddaulah; daulah khilafah rosyidah. Tiada kemuliaan tanpa Islam, tak sempurna Islam tanpa syari’at, tak akan tegak syari’at tanpa daulah; daulah khilafah rosyidah. Sya’ir itu senantiasa membuat kita bersemangat untuk tidak berhenti berjuang. Meski ujung perjalanan ini tak pernah kita ketahui, kapan Islam dimenangkan-NYA kembali, tugas kita adalah beramal dan berjuang. Titik peristirahatan kita adalah ketika kaki telah menapaki surga. Insya’alloh, aamin...

Thoyyib... Ada dua cara syar’i untuk memilih pemimpin negara yang dibenarkan agama dan yang disebutkan ketiga adalah cara terlarang. Inilah cara-cara tersebut:
PERTAMA: dengan pemilihan yang dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi. Ini adalah cara yang paling pokok dan keberadaannya ditetapkan oleh as-sunnah dan ijma’ (konsensus) para ulama kaum muslimin.


Siapakah ahlul halli wal ‘aqdi itu dalam istilah syari’at kita?
Jawabannya: Mereka adalah sekelompok orang dari kalangan kaum muslimin yang dipandang paling baik agamanya, akhlaknya, kecemerlangan idenya dan pengaturannya, mereka terdidi dari para ulama, pemimpin dan pembimbing umat.



Apa saja syarat wajib terpenuhi pada diri ahlul alli wal ‘aqdi?
Jawabannya:

  1. Islam. Orang kafir tidak boleh masuk ke dalam ahlul halli wal ‘aqdi, berdasarkan firman ALLOH ‘azza wa jalla, (tulisan arab tidak ditampilkan) “ALLOH sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Q. S. An-Nisa’: 141)
    Maka tidak boleh memberi kekuasaan kepada orang kafir atas orang Islam selama-lamanya dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.
  2. Berakal. Anggota ahlul halli wal ‘aqdi harus orang yang berakal. Selain orang yang berakal, baik karena masih kecil atau karena hilang akalnya, tidak boleh memegang kekuasaan dan yang semisalnya sama sekali.
  3. Lelaki. Seorang perempuan tidak boleh menjadi ahlul halli wal ‘aqdi. ALLOH ‘azza wa jalla berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena ALLOH telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q. S. An-Nisa’: 34)
    Dan juga karena sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidak akan bahagia suatu kaum yang memberikan (wewenang) urusan mereka kepada orang perempuan.” (H. R. Bukhori)
    Orang perempuan adalah orang yang kurang akal dan agamanya, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Ini bukan berarti celaan kepada orang perempuan. Tinggalkan orang-orang yang pemikiran mereka terkontaminasi dengan pemikiran barat maupun timur. Mereka bingung dalam kesesatan. Mereka tercerai berai dengan penyimpangan mereka. Mereka binasa dengan kesesatan yang ada pada mereka. Mereka –dalam bandingannya dengan orang Islam- adalah laksana orang yang buta dengan orang yang mampu melihat.
  4. Merdeka. Disyaratkan pada setiap pribadi anggota ahlul halli wal ‘aqdi sebagai orang yang merdeka, karena budak tidak berkuasa atas dirinya, namun ia berada di bawah kendali tuannya.
  5. Taqwa. Ini suatu keadaan yang kokoh dalam jiwa. Taqwa membawa pelakunya kepada tindakan menjauhi dosa-dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil. Hal ini bisa diketahui dengan tersebarnya kabar tentang diri orang tersebut, atau karena ia telah dikenal di kalangan ahlul ilmi, karena ketsiqohan (kredibilitas) dan ketundukan kaum muslimin kepadanya.
  6. Ilmu. Anggota ahlul halli wal ‘aqdi disyaratkan orang yang mempunyai ilmu syar’i. Dengan demikian ia mengetahui kriteria orang yang berhak memegang tumpuk kekhilafahan dan kepemimpinan. Orang yang tidak mengetahui kriteria pemegang kekhilafahan maka tidak pantas bergabung ke dalam ahlul halli wal ‘aqdi. Anggota ahlul halli wal ‘aqdi hendaknya orang yang dikenal kecerdasan dan kebijaksanaannya. Hendaknya juga orang tersebut berpengalaman dalam bidang ilmu dan spesialisasinya, meski dalam perkara dunia.
  7. Tidak berafiliasi kepada ahlul ahwa’. Bila ada salah seorang anggota ahlul halli wal ‘aqdi orang yang berafiliasi kepada ahlul ahwa’ dari kalangan ahlul bid’ah dan orang-orang sesat maka (dikhawatirkan) dia akan berupaya untuk memilih orang-orang yang mendukung penyimpangannya atau orang yang ikut mempopulerkannya.
  8. Baligh. Hendaknya dia ini orang yang telah baligh.

Catatan: Tidak disyaratkan tentang berapa jumlah anggota ahlul halli wal ‘aqdi. Bukanlah suatu keharusan baha semua orang yang layak duduk sebagai ahlul halli wal ‘aqdi untuk masuk bergabung di dalamnya. Namun ahlul halli wal ‘aqdi yang mu’tabar (diakui) adalah yang memiliki kemampuan, kekuatan, dan para pembimbing manusia.

Tugas ahlul halli wal ‘aqdi
  • Bila yang berhak menjadi pemimpin lebih dari satu orang, maka ahlul halli wal ‘aqdi harus menentukan siapakah yang paling berhak atas kepemimpinan tersebut dengan (melihat) sifat-sifat yang syar’i. Setelah itu mereka harus memilihnya. Suatu hal yang harus diperhatikan hendaknya mereka mengangkat pemimpin yang paling memberikan manfaat –jika tidak ada yang paling utama-. Jika kedua sifat ini (paling bermanfaat dan paling utama) ada pada pribadi seseorang maka itu kesempurnaan yang langka sekali. Ahlul halli wal ‘aqdi harus memperhatikan orang yang paling cepat didengar oleh manusia (paling berwibawa, penerj) dan mereka juga harus mampu menjaga situasi serta kondisi zaman kala itu (agar tetap stabil).
  • Tugas mereka juga membai’at orang yang paling berhak untuk memegang kekhilafahan dan kepemimpinan.

Pengertian Bai’at
Berjanji setia kepada orang yang dibai’at untuk mendengar dan taat dalam perkara selain maksiat, dalam keadaan suka maupun tidak suka, sulit maupun lapang dan tanpa menentang perintahnya. Ini –menurut pendapat yang benar- hukumnya adalah wajib kifayah.


Syarat sahnya bai’at:
  • Orang yang dibai’at harus memenui syarat-syarat menjadi imam/ pemimpin.
  • Dibai’at oleh ahlul halli wal ‘aqdi.
  • Orang yang sudah berhak untuk membai’at memenuhi permintaan untuk membai’at, bila tidak mau maka tidak terwujudlah kepemimpinannya.
  • Bai’at atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan perkataan dan perbuatan yang nampak dan yang tidak nampak.
Apa selanjutnya setelah bai’at?
  1. Haram bagi anggota ahlul halli wal ‘aqdi untuk membatalkan bai’atnya. Pembatalan terhadap bai’at merupakan dosa besar. Imam Muslim dan lainnya telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar rodliyallohu ‘anhu bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa yang telah membai’at seorang imam, maka berarti dia telah memberikan kesetiaannya dan buah hatinya, maka taatilah semampunya. Bila datang orang lain (hendak) mencabut keimamahan tersebut maka bunuhlah orang itu.”
  2. Dia harus bersabar bila melihat sesuatu yang ia benci pada diri pemimpinnya. Ada suatu riwayat dari Ibnu Abbas rodliyallohu ‘anhu bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang dibenci pada diri pemimpinnya maka bersabarlah, sesungguhnya tiada seorangpun yang berpisah dari jama’ah walau satu jengkal melainkan ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (H. R. Bukhari dan Muslim)
  3. Juga disyari’atkan bagi selain ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan masyarakat umum untuk membai’at kepada pemimpin yang telah dibai’at oleh ahlul halli wal ‘aqdi. Bai’at mereka dinamakan bai’at ketaatan. Sedangkan bai’at ahlul halli wal ‘aqdi dinamakan abai’at sahnya kepemimpinan dan mendengar serta taat.
  4. Orang yang telah membai’at seorang imam tidak boleh membai’at imam lainnya, sebagaimana telah berlalu pembahasannya.
  5. Termasuk tugas ahlul halli wal ‘aqdi adalah mengawasi penguasa dan mengajukan koreksi dengan kaidah-kaidah syar’i dan melengserkan mereka bila memang syari’at menuntut demikian. Tentu dengan syarat tidak menimbulkan mafsadat yang lebih besar.
KEDUA: dengan cara janji atau pengangkatan (dari pemimpin yang sebelumnya). Khalifah (pemimpin) yang berkuasa menjanjikan kepemimpinannya kepada seseorang. Pengangkatan pemimpin (istikhlaf) seperti ini merupakan perkara yang disyari’atkan. Inilah yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar Ash-Shidiq rodliyallohu ‘anhu ketika beliau mewasiatkan kepemimpinannya kepada Umar bin Khaththab rodliyallohu ‘anhu.
Orang yang mengangkat pemimpin (setelahnya) harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar pengangkatannya benar. Syarat-syarat tersebut adalah:
  • Syarat-syarat untuk menjadi pemimpin melekat pada diri orang yang diangkat menjadi pemimpin. Seperti Islam, merdeka, baligh, berakal, lelaki, dan adil.
  • Orang yang diangkat menjadi pemimpin menerima dan ridha atas hal tersebut. Jika orang tersebut menolak maka wasiatnya tidak diterima.
  • Orang yang diangkat menjadi pemimpin hadir (tidak ghaib) atau dihukumi sebagai orang yang hadir.
  • Pemimpin yang mengangkatnya saat itu masih memegang kepemimpinan. ? Pemimpin yang mengangkat (penggantinya) telah bermusyawarah dengan ahlul halli wal ‘aqdi, dan mereka menyetujuinya tanpa ada paksaan dan tekanan.
  • Pengangkatan tersebut tidak diberikan kepada kerabat pokoknya atau cabangnya (kerabat pokok seperti bapak, paman, dan seterusnya. Cabang seperti anak, cucu, dan seterusnya. [penerj]). Ini pendapat yang rajih (kuat) berdasarkan pada beberapa hal:
    • Mengikuti jejak khulafaur Rasyidin. Kalaulah ini hanya sekadar syubhat, maka cukuplah dengan jauh darinya, dan Abu Bakar tidaklah mengangkat anaknya, Umar tidak mengangkat anaknya, Utsman juga tidak mengangkat anaknya dan demikian juga Ali, semoga ALLOH meridhai mereka semua.
    • Seorang pemimpin meskipun telah mencapai taraf ketaqwaan, kebaikan dan kewara’an maka dia tetap dalam bingkai seorang manusia. Padanya ada kecenderungan, naluri, tabiat dan dorongan jiwa kepada kebaikan dan keburukan. Ia bisa benar, bisa juga salah. Kadang berbuat dosa dan juga meminta ampun, ia tidaklah ma’shum (terjaga dari dosa). Kadang sebagian anggota ahlul halli wal ‘aqdi berbasa-basi kepadanya, kadang pula ia melakukan sedikit pemaksaan. Yang paling menenangkan jiwa adalah menjauhi semua syubhat ini, dan menunaikan amanah dengan sempurna. Saya tidak mengira bahwa pada umumnya orang yang mengangkat kerabat pokoknya atau cabangnya selamat dari perbuatan menipu amanah ini.
    • Bila kecenderungan ini terjadi dari orang yang bertaqwa, maka bagaimana lagi bila terjadi pada orang yang lemah imannya dan sedikit ilmunya?
    • Di samping apa yang disebutkan di atas, telah diketahui bahwa pada umumnya orang yang mengangkat bapak atau anaknya atau yang semisal mereka, pastilah mereka melakukannya karena (perkara) keduniaan, juga karena mereka mementingkan diri sendiri daripada kepentingan agama dan umat. Inilah bentuk penipuan yang nyata terhadap umat. Mereka menjadikan amanah kepemimpinan ini –perkara din yang ALLOH berikan kepada siapa yang Dia kehendaki- menjadi sekedar sebuah warisan.
    • Membatasi kepemimpinan dan khilafah hanya pada keturunan pmimpin derta menjadikannya sebagai warisan turun temurun merupakan perbuatan yang menyelisihi apa yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin.

Catatan: Umum diketahui bahwa daulah-daulah Islam seperti Umawiyah, Abbasiyah dan lainnya dahulu menjalankan suksesi kepemimpinan dengan cara mewariskannya secara turun temurun. Namun yang utama adalah apa yang dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin. Bagaimanapun juga, suksesi kepemimpinan dengan cara seperti ini (menyerahkan kepada anak keturunan dan yang semisalnya) bukan berarti meniadakan bai’at dan kewajiban mendengar dan taat dalam kebaikan seperti yang dilakukan oleh para ulama kaum muslimin. Wallohu a’lam.

Catatan: Sebagian ulama ada yang mengutamakan cara istikhlaf (pengangkatan pemimpin oleh pemimpin sebelumnya) daripada cara pemilihan oleh ahlul halli wal ‘aqdi. Yang kedua ini lebih kuat, sebagaimana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam meninggalkan para sahabat dalam keadaan tidak melakukan istikhlaf. Namun jika seorang imam melihat bahwa orang-orang yang setelahnya telah berselisih dan banyak berbuat kerusakan maka ia bisa melakukan tindakan tegas dengan memilih salah seorang kaum muslimin untuk memegang kepemimpinan setelahnya. Tujuannya ialah demi menangkal perselisihan dan mengupayakan persatuan. Wallohu a’lam.

KETIGA: ini cara yang haram dalam syari’at Islam. Yakni cara pemberontakan dan kudeta serta yang serupa dengan itu. Ini semua haram. Namun, bila si pemberontak ini ternyata menang dan menjadi pemimpin, maka tetap wajib taat kepadanya dalam perkara yang tidak bermaksiat kepada ALLOH dan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan perbuatan dosanya ketika memaksa menindas manusia adalah tanggungan dirinya sendiri (si pemimpin).

Dengan pembahasan yang ringkas ini, jelaslah bagi kita tentang betapa besar perhatian agama Islam terhadap perkara kepemimpinan dan pengaturan terhadap kaum muslimin. Semua syarat dan kaidah ini telah terealisasi pada zaman khulafaur rasyidin. Itulah kewibawaan, keamanan, kebaikan, dan agama.

Gimana? Islam keren kan? Dari buang air sampai pemerintahan, dari bangun tidur sampai tidur lagi, dari lahir sampai mati, semua ada tuntunannya dalam Islam. 



So, masih mau cari referensi dari barat? Nggak deh... 
Islam is my way of life...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar