Suatu saat saya pernah ditanyai oleh seorang teman, "Akhid nanti kalo mau nikah sebut nama gak?"
"Sebut nama lah, mau nikah ya harus tau namanya. Gimana sih? Maksudnya gimana?"
"Nggak, maksudnya mau nunjuk, bilang sama ustadz kalo pengen nikah 'sama si ini', gitu gak?"
"Oh... dulu pernah kepikiran gitu tapi sekarang kayaknya nggak."
"Emangnya Akhid gak pernah ya suka sama seorang akhwat?"
"Pernah"
"Lha terus? Koq gak mau sebut nama?"
"Haha! Terlalu banyak"
"Maksudnya?"
"Hehe.. saya tu tipe orang yang sangat mudah jatuh cinta jadi malah bingung kalo suruh nunjuk salah satu. Haha!"
Yup! Saya sudah terlanjur kecanthol dan mempunyai sebuah komitmen hati pada BKKBS. Wah, apa itu? BKKBS adalah salah satu program "pemerintah" untuk mempermudah dan memfasilitasi hal ihwal keluarga kader. Mulai dari pranikah hingga pascanikah kader bisa dikonsultasikan di lembaga ini. BKKBS merupakan singkatan dari Biro Konseling Keluarga Bahagia Sejahtera yang keberadaannya di Jogja dikoordinasi oleh Deputi Kaderisasi sebuah partai islam. Agar lebih mudah, sebut saja biro jodoh kader dakwah :D (Kapan-kapan insya’alloh saya akan menyelesaikan sebuah tulisan tentang BKKBS, jika sudah dapat acc dari top leadernya untuk dipublish)
Intinya, saya gak mau cari sendiri, mending dicariin sama ustadz atau kiyai. Alasannya akhi? Haha! Jadi ingat kata mas Salim A. Fillah yang cukup makjlebb waktu saya tanya kenapa harus BKKBS, "Alasan terpenting bagi antum, 'nek golek dhewe ra ono sing gelem' :-)"
Weleh-weleh... gini-gini banyak yang ngantri mas... Ngantri nagih utang, hehe...
Secara syar'i tak ada larangan bagi seorang al-akh untuk menikahi akhowat yang disukainya. "...Maka nikahilah perempuan yang kamu senangi..." (An-Nisaa': 3).
Lalu kenapa mau dipilihkan ustadz? Semata mashlahat dakwah, semata menghindari subjektivitas pribadi, dan kata mas Iip Wijayanto "Biar ada yang bisa disalahkan, kalo nyari sendiri cuma bisa nyalahin diri sendiri, hehe...", begitulah. Tentunya masih banyak alasan dan hikmah lain.
Memang kita perlu sangat berhati-hati dalam hal memilih pasangan hidup. Pasangan hidup lah yang akan menentukan, setidaknya sangat mempengaruhi kehidupan kita, dunia dan akhirat. Surga atau neraka bisa berawal dari bagaimana kita memilih pasangan. Saya jadi teringat nasihat ibu dari seorang teman beberapa tahun lalu. Sambil menyuapi anak dalam gendongannya ibu itu memberikan wejangan dengan logat semi Melayunya, "Akhid, hati-hatilah sama wanita. Hati-hati dalam memilih istri, kelanjutan agama seseorang itu bisa ditentukan dari istri yang dipilihnya. Karena istri bisa membuat kita semakin mengenal Alloh, bisa juga sebaliknya. Surga dan neraka bisa jadi tergantung istri yang kita pilih." kira-kira seperti itu.
Selain peristiwa ibadah, fiqh, muamalah, sosial, budaya, dsb, semestinya menikah juga merupakan sebuah peristiwa dakwah. Berawal dari proses yang syar’i, pasangan yang kita pilih, hingga rumah tangga seperti apa yang akan kita bangun. Sebagai kader dakwah, ada pertimbangan lain dalam memilih pasangan hidup di samping empat hal yang telah disampaikan Rosululloh berupa harta, keturunan, kecantikan, dan agama. Pertimbangan itu ialah "Carilah pasangan hidup yang bisa memberikan mashlahat besar bagi dakwah". Kita memilih atau tidak memilih ukhti/ akhi anu, bagaimana pengaruhnya terhadap dakwah? Bagi lingkungan kita, keluarga kita, masyarakat sekitar kita, dsb.
Suatu kali ada seorang sahabat yang menikah kemudian ditanyai oleh Rosululloh mengenai istrinya. Rasullah saw bertanya kepada Jabir ra: “Apakah kamu menikahi seorang gadis atau janda?”
Dia menjawab, "Seorang janda."
Lalu beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak menikahi seorang gadis yang kamu dapat bercumbu dengannya dan ia pun dapat mencumbuimu?”.
Jabir ra menjawab: “Wahai Rasullah, saya memiliki saudara-saudara perempuan yang berjiwa keras, saya tidak mau membawa yang keras juga kepada mereka. Janda ini saya harapkan mampu menyelesaikan persoalan tersebut”
“Benar katamu”, jawab Rasullah. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Perhatikan betapa Jabir tidak sekedar mencari istri untuk kepentingan dirinya sendiri tapi juga untuk kepentingan keluarga. Hal tersebut yang saat ini mungkin bisa kita istilahkan dengan mashlahat dakwah. Inilah permisal pecinta Alloh.
Untuk menentukan mashlahat dakwah dalam sebuah pernikahan dibutuhkan pertimbangan jama’ah. Jama’ah itu bisa jadi keluarga, masyarakat, alim ulama’, ustadz, atau elit dakwah. inilah peranan penting musyawarah ketika memilih pasangan. Jika kita memilih dengan selera kita sendiri, peluang was-was syaithon dan syahwat tentunya jauh lebih besar dibanding kita memilih dengan pertimbangan musyawarah. Bahkan ketika kita memilih dengan “sebut nama”, musyawarah tidak bole kita tinggalkan jika kita memang benar mengaku sebagai kader dakwah.
Sekali lagi, “sebut nama” atau tidak ketika memilih pasangan, keduanya masih berada dalam lingkup syar’i. Hanya saja saya pribadi khawatir ketika saya “sebut nama” maka apa yang telah melekat dalam hati bisa dengan mudah menghalangi pandangan objektif saya. Biarlah “pihak berwenang” yang memilihkan, toh saya bisa menolak atau menerimanya dengan alasan syar’i. Agar lillah, billah, fillah bisa sedekat mungkin dengan langkah saya.
Entahlah, saya merasa akan bisa mencintai siapapun istri saya. Kalaupun ternyata belum cinta, insya’alloh cinta bisa ditumbuhkan. Bukankah cinta dengan segala atributnya pada pasangan hidup itu berpahala? Semakin berat ibadah, semakin berat pula timbangan pahalanya? Pembolak-balik hati itu Alloh kan? Yang menurunkan sakinah kepada orang-orang mukmin itu Alloh juga kan? Yang menjadikan kebencian jadi cinta dan sebaliknya? Ya, hanya Alloh... Tengoklah kebencian Umar bin Khoththob pada Muhammad yang berubah drastis menjadi cinta ketika Alloh mewarnai jiwanya dengan celupan Islam. Bukan harta dunia seisinya yang mampu menjadikan hati-hati kita bersatu, tapi Alloh yang kuasa mempersatukan hati-hati kita dalam iman. Terbayang gak sih nikmatnya mencinta hanya karena Alloh? Ah, tak diragukan lagi jika ia menjadi salah satu hal yang membuat kita merasakan lezatnya iman.
Tentunya tidak semua kader dakwah akan kita samaratakan bahwa mereka bisa dengan begitu saja menerima istri pilihan orang lain. Lha terus gimana mas? Yah, semua kembali pada diri kita untuk memilih. Perhiasan dunia terindah dinisbatkan pada wanita sholihah maka kecenderungan terhadap wanita memang sebuah fitroh. Melihat sesuatu yang bisa menjadikan kita tertarik pada calon pasangan pun juga disunnahkan. Cobalah renungkan sekali lagi... Keduanya (sebut nama dan tidak) hanya cara untuk menjemput jodoh. Tak perlu lah kita khawatir perihal jodoh. Alloh sudah mengatur segalanya, berikut kecenderungan-kecenderungan yang menyertainya.
Cernalah sebuah pernyataan yang disampaikan mas Salim A. Fillah dalam sebuah dauroh, “Antum mau lewat BKKBS atau tidak, hal itu sama sekali tidak akan mempengaruhi siapa jodoh antum.”
Bukankah ini masalah aqidah? Jika jodoh, tak akan luput. Jika bukan jodoh, tak akan kena. Lari ke manapun, jodoh kan bertemu. Dikejar ke manapun, bukan jodoh tak kan ketemu. Pena telah diangkat dan tinta telah kering. Mari meminta hanya pada Alloh. Meniatkan segalanya hanya karena Alloh. Satu kata kaya makna yang pastinya kita ingin mengejarnya... Barokah!
Pilihlah sendiri, sebut nama dengan resiko ditanggung sendiri atau biarkan Alloh membuat kita terkejut berbunga-bunga ketika tahu bahwa sang pasangan hidup ternyata memang orang yang sejak lama kita idam-idamkan bahkan jauh lebih baik. Cukuplah kisah ‘Ali bin Abi Tholib dan Fathimah binti Muhammad yang menjadi ibroh bahwa Alloh tak pernah salah menulis jodoh antarhamba-Nya. Bole jadi perasaan cinta tumbuh dengan sendirinya sebelum tiba masa, bole jadi cinta baru akan tumbuh setelah tabir takdir terbuka, yang terpenting bagi kita adalah membingkainya dalam sebuah ikatan suci bernilai ibadah. Semoga atas pertemuan yang tiada alasan selain-Nya, kelak Alloh kan pertemukan kita kembali di surga.
Allohu a'lam...