Laman

Jika Aku Dikaruniai Suatu Ilmu

"Jika aku dikaruniai suatu ilmu oleh Alloh, aku tak ingin dengan ilmu itu orang lain jadi enggan menasihatiku karena itu berarti kehancuran bagiku..."
(Abu Kholid bin Jamal As-Sulaimani)

Masihkah Mencari Rukhshoh?

Aku memilih duduk di pojok kiri depan usai menunaikan dua roka'at sunnah. Ada yang aneh! Kenapa semua jama'ah memilih menunggu iqomat di belakang? Hanya seorang muadzin di barisan terdepan. Kusimpan rasa penasaranku.

Takbir kedua - iqomat membuatku beranjak berdiri satu bahu sebelah kiri di belakang posisi imam. Aku tidak biasa berdiri tepat di belakang imam jika berjama'ah dalam perjalanan. Kagetlah aku, jama'ah yang tadi duduk di belakang tidak semua berdiri, banyak dari mereka menuju shoff pertama sambil duduk. Subhanalloh, ternyata mereka adalah karyawan sebuah yayasan non muslim di dekat masjid itu. Yayasan itu memang menampung, membina dan mempekerjakan orang-orang (maaf) cacat. Rata-rata kaki mereka kurang normal, kurang lengkap, bahkan tiada sama sekali.

Ya Alloh, tiga orang di samping kiriku sholat sambil duduk, di ujung shoff sebelah kanan juga. Anggota jama'ah saat itu sebagian besar merupakan orang cacat. Yang lebih mengagetkan adalah sang imam. Awalnya aku heran kenapa beliau menuju tempat imam dengan "engklek" (berjalan dengan melipat salah satu kaki), ternyata kaki beliau memang hanya satu. Subhanalloh, beliau pun menjadi imam menggunakan gerakan sholat normal, dengan bertumpu pada satu kaki!

Aku merasa "makjlebb", teringat diri yang suka menunda ke masjid menunggu iqomat, teringat malasnya adzan di masjid sendiri karena tak pernah, jarang sekali ada jama'ah merasa terpanggil. Ketika SMA aku sering mengalami cidera kaki. Mungkin lebih dari tiga kali sendi mata kaki kananku dislokasi. Hikmah yang kuambil waktu itu selalu "Mungkin karena aku enggan melangkah ke masjid."

Tak malukah kita pada mereka? Dengan segala keterbatasan mereka masih menyempatkan diri hadir sholat jama'ah bahkan sebelum iqomat berkumandang. Nampaknya mereka jauh lebih pandai mensyukuri nikmat fisik yang terbatas dibanding kita yang dikaruniai nikmat fisik yang begitu lengkap.


Seorang teman pernah menceritakan kisah pemuda bernama Ibrahim. Ibrahim dikaruniai tubuh yang kurang sempurna oleh Alloh. Hebatnya, ia sangat taat. Suatu saat Ibrahim menangis dalam pembaringan. Ia menangis ketika ditemui beberapa masyayikh dan ditanyai perihal keadaannya. "Wahai Ibrahim, apa sekiranya yang akan kau lakukan jika Alloh memberimu jasmani yang sempurna?" kira-kira pertanyaannya seperti itu. 

Sesenggukan Ibrahim, hampir tak kuasa menjawab, lalu ia berkata, "Saya akan lebih banyak lagi beribadah pada Alloh dibanding sekarang."


Kita, dengan segala kesempurnaan penciptaan-Nya, lebih giat atau justru lebih lalai dibanding mereka? Sungguh mahal nikmat yang diberikan-Nya pada kita. Kita diberi cuma-cuma, hanya perlu bersyukur, tapi sepertinya... Ah, yang menulis ini juga masih kurang bersyukur. Semoga Alloh tidak murka, saya berlindung pada Alloh dari keburukan pribadi dan amal saya. Mari kita tingkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita...

(Anda bisa menemui suasana di awal tulisan ini jika sholat jama'ah dzuhur di masjid As-Sa'adah jalan Kaliurang km 13,8. Masjid itu biasa digunakan teman-teman aktivis dakwah kampus UII untuk konsolidasi, kajian, dsb ketika mereka berada di luar kampus)

Bila Rindu Ini Masih Milikmu

Entah kenapa akhir-akhir ini aku agak mencemaskan keberlanjutan dan kondisi "lingkaran kebaikan" sahabat-sahabat dakwahku. Mereka yang pindah tempat tinggal baik melanjutkan perantauan atau kembali ke kampung halaman, masihkah semilitan ketika "melingkar" di sini? Aku tidak terlalu tega untuk mengucapkan "Apakah mereka tetap ikut 'melingkar'?"

Setidaknya ada tiga sahabat di luar Jogja yang kutanyakan kabar "lingkaran kebaikan" mereka. Satu dalam proses penentuan "lingkaran" baru, sebulan vakum. Satu belum tahu prosedur bergabung ke "lingkaran" daerah setempat. Satu kesulitan mengurus proses bergabung dengan "lingkaran" baru tapi alhamdulillah kabar terakhir beliau menyebutkan "sudah ketemu orangnya (penanggung jawabnya)". Saya sendiri sedang dalam proses bergabung dengan "lingkaran kebaikan" yang baru, sebulan belum beres.


Kekhawatiran yang muncul adalah "Apakah ritme tetap terjaga?" dan "Apakah status quo dan kekosongan 'lingkaran' tidak mengubah rasa yang pernah ada?" 

Aku pun bertanya, "Sahabat, masihkah kau menggenggam rindu yang sama? Rindu surga."


Sahabat, di manapun kau berada, apapun aktivitasmu, semoga "lingkaran kebaikan" kita tetap terjaga. Hidayah itu mahal, jangan tukar dengan apapun. Hidayah itu harus dikejar dan didekati terus-menerus. Jangan terlena dengan kesibukan.

Sahabat, ingatlah selalu tiga bintang yang tersemat di pundakmu: bintang DA'I, bintang MUROBBI, dan bintang MUTAROBBI. Da'i tidak melangkah kecuali untuk kebaikan dan perbaikan dalam rangka menegakkan kalimat tauhid. Murobbi selalu membina, mendidik generasi, dan menebar kebaikan di tengah-tengah umat. Mutarobbi selalu menuntut ilmu dan berusaha memperbaiki diri.
Sahabat, saling do'a dalam sujud malam ya...

Dia Sudah Mati

Kupikir juga begitu!
Jika ALLOH jelas-jelas telah menampakkan berbagai keburukan dalam dirinya, argumen apa yang terus diperjuangkan "cinta" untuk tetap menganggapnya baik?

Sebegitu naifkah "cinta"?
Biarkan ia memperbaiki diri dalam masanya, begitu juga kita.

Pantaskan dirimu hanya untuk orang yang pantas untukmu! 

Berhenti meratap!


Mungkin dia memang telah mati 
Bukan, sebut saja syahid 

Kekaguman telah sirna, padam tak lagi menyala 
Hanya kecewa dan kecewa



Ya Alloh, ampunilah ia, tunjukilah ia, hidupkan kembali ia 
Dia yang dulu membuatku tersungkur-sungkur mengiba pada-Mu 
Dia yang dulu ingin sekali aku dijodohkan dengannya oleh-Mu 
Ya Alloh, perlukah kucabut semua doaku?

Istighfarku untuknya ya Alloh...

Maaf, benar aku minta maaf jika menganggapmu sudah mati...

(terinspirasi dari status seorang teman yang tidak bisa dikomentari)

NB: semoga ada yang tersindir, bagi yang sengaja atau tidak telah menghilangkan 'izzah mereka sebagai "muslimah". Boleh jadi kekaguman itu hilang karena jilbab yang memendek, pakaian yang mengecil, tawa yang membahak, lisan yang menjadi tak lagi santun, tingkah yang meliar, kepulangan yang memalam, tontonan yang membioskop, dandanan yang mewangi, pajang foto sana-sini, suara yang meninggi, merendah-rendah tanpa harga diri, menyanyi, karaoke sampai pagi, adab interaksi hilang syar'i, dan masih banyak lagi. Astaghfirulloh, maaf kalo terlalu sarkas dan vulgar, saya hanya sedikit prihatin dengan "segelintir" akhwat masa kini... :(