SUATU PAGI
Beberapa waktu lalu saya membuat sebuah status FB: Pertanyaan kepada para pemuda yg sengaja menunda nikah, "Bagaimana cara Anda menjaga diri (baca: menyalurkan syahwat)?".
Nampaknya status tersebut menuai beberapa komentar. Saya tidak terlalu
suka beradu argumen atau berdebat, biarlah yang mampu menangkap hikmah
menangkapnya, yang antipati silakan saja.
Suatu pagi
ada seorang dokter spesialis obsgin (kandungan, kebidanan) visite ke
salah satu ruang rumah sakit. Sembari sang dokter membubuhkan tanda
tangan di lembar persetujuan tindakan dan rekam medis pasien, sang
dokter menjawab pertanyaan-pertanyaan dari perawat dan mahasiswa
praktikan. Kalau post kuret itu kapan boleh berhubungan suami istri dok?
Faktor BO apa saja dok? Kalau tidak dikuret akibatnya apa dok?
Nampak
sang dokter cukup dalam pemahamannya tentang agama. Pertanyaan tidak
hanya dijawab dari segi ilmu kedokteran tapi juga dari segi fiqh.
Tiba-tiba sang dokter bertanya pada salah satu mahasiswa, "Anda sudah
menikah belum?... Lalu bagaimana Anda menyalurkan libido?"
Pertanyaan tersebut menjadi inspirasi saya untuk menulis status: Pertanyaan kepada para pemuda yg sengaja menunda nikah, "Bagaimana cara Anda menjaga diri (baca: menyalurkan syahwat)?"
Kebetulan
mahasiswa yang ditanya sudah menikah dan menjawab bahwa setiap akhir
pekan ia pulang menemui istrinya. Sang dokter mungkin menebak bahwa
mahasiswa praktikan pasti cukup lama berada di tempat praktikya.
Fitrahnya seorang anak manusia punya kecenderungan seksual terhadap
lawan jenis (libido), harus ada penyalurannya.
MENIKAH HANYA UNTUK MEMENUHI SYAHWAT?
“Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi)
“Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi)
Siapa
yang berani membatah hadits tersebut? Menikah adalah salah satu jalan,
jalan terbaik, jalan berpahala untuk menjaga kemaluan. Tak bisa
dipungkiri bahwa setiap laki-laki dan perempuan punya kecenderungan
(syahwat) terhadap lawan jenis. Islam memberikan tuntunan bagaimana agar
syahwat menjadi halal berpahala yaitu dengan sebuah pernikahan.
Siapa pula berani membantah hadits berikut:
"Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa’i dengan sanad yang Shahih).
Hanya
karena syahwat? Tentu tidak! Sungguh, pernikahan adalah ibadah mulia
yang menjadikannya disebut oleh Rosululloh sebagai separuh agama.
"Barangsiapa
menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah
ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”.
(Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
HAMIL SEBELUM MENIKAH
Termasuk
zina atau bukan? Jelas zina! Jika tidak halal maka haram. Jika selain
istri = haram. Belum jadi isti = selain istri = bukan istri = haram.
Berapa dari pasangan menikah di sekitar kita dilatarbelakangi "terlanjur
hamil"? Sedih, sedih, sedih. Terlepas dari hukum fiqh, dari yang haram
hingga mengambil madhorot teringan, ini jauh dari keinginan Alloh. Menikah tidak akan menjadikan yang tadinya sudah terlanjur haram menjadi halal. Sekali lagi, sedih.
Tidak
mungkin mereka yang belum menikah itu berdoa terlebih dahulu sebelum
berhubungan badan, mau zina koq berdoa dulu? Lalu apa jadinya keturunan
mereka? Dikuasai syetan!
“Jika salah seorang dari kalian
(suami) ketika ingin mengumpuli istrinya, dia membaca doa: “Bismillah.
Allaahumma jannibnaash syaithaa-na wa jannibish syaithaa-na maa
razaqtanaa (Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari
(gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau
anugerahkan kepada kami), kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya)
anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa
mencelakakan anak tersebut selamanya”(Muttafaqun ‘alaihi oleh
Al-Bukhari dan Muslim)
Apa jadinya generasi
berikut? Jika negeri ini didominasi pasangan dan keturunan hasil zina,
bukan tak mungkin iftitah pidato-pidato akan berubah. "Sholawat pada
nabi yang telah mengeluarkan kita dari kegelapan jahiliah menuju cahaya
Islam yang terang benderang, (tapi karena kelalaian kita kini kembali
gelap)."
MENIKAHLAH WAHAI ORANG-ORANG BAIK
Pada
akhirnya, semua akan berujung pada satu nasihat, "Segera menikahlah,
wahai orang-orang baik.". Betapa besarnya rasa syukur kami ketika Alloh
memberi kesempatan untuk bertemu pasangan hidup kami, kami menikah. Kami
ingin Anda juga merasakannya, merasakan menjadi bagian dari umat yang
berusaha mengikuti sunnah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam.
Menjaga diri dari zina, dari tidak sucinya pandangan dan kemaluan,
sebuah ketenteraman luar biasa bagi kami.
Mari penuhi
bumi Alloh ini dengan pasangan-pasangan baik, keturunan baik, yang
mereka bercita-cita baik, beramal baik. Mari ambil bagian dari tugas
kekhalifahan. Setidaknya menikah menjadi salah satu komitmen kita dalam
membangun peradaban yang baik.
Karena menikah bukan
dibebankan kepada yang belum menikah saja, barangsiapa yang mengetahui
bahwa ada orang-orang belum menikah, mereka diperintahkan Alloh,
"Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian (belum menikah) diantara kamu,
dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamuyang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah
akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Surat An-Nur : 32)
Maka izinkan kami untuk selalu mengobarkan semangat para pemuda yang belum menikah agar segera menikah.
BAGI PARA AKTIVIS DAKWAH
Bagi
para aktivis dakwah, da'i muda, tunjukkan komitmen Antum sebagai
seorang da'i dengan menikah. Buktikan bahwa Antum tidak hanya peduli
pada umat, tapi peduli juga pada diri sendiri.
Ketika
dulu belum menikah, bahkan saya mengompor-ngompori beberapa ustadz TPA
yang tak jua menikah. Gemes rasanya, saya belum lulus kuliah, masih
sangat berat untuk menikah, mereka yang saya pandang sudah pantas
menikah, kenapa tidak kunjung mengakhiri masa lajang? Mungkin kata-kata
saya dulu sama dengan kata-kata sekarang, "Orang-orang baik harus segera
menikah, segera punya keturunan baik, sayang jika tidak segera menikah"
Bukankah
tahapan amal setelah memperbaiki diri adalah membina keluarga muslim?
Bagaimana bercita-cita tentang daulah madani jika amal kita tak beranjak
dari memperbaiki diri? Toh memperbaiki diri tak berhenti seketika
menikah. Agar memperoleh pasangan yang baik, benar, tapi kriteria itu
tak akan berujung. Tarbiyah Antum selama inilah yang telah menjadi bekal
Antum. Di suatu tempat telah ditarbiyah juga seorang akhwat, persis
seperti Antum.
Bukankah para sahabat ada yang masuk
Islam setelah menikah? Mereka baru belajar Islam setelah sekian tahun
menikah. Sekian lama Antum tarbiyah, sudah paham perintah menikah, sudah
mampu, apa lagi? Apakah ingin menjadi teman syetan atau teman orang
Nasrani?
Ketika salah seorang sahabat bernama Ukaf bin Wida’ah
al-Hilali menemui Rasulullah saw dan mengatakan bahwa ia belum
menikah, beliau bertanya, “Apakah engkau sehat dan mampu?” Ukaf
menjawab, “Ya, alhamdulillah.” Rasulullah saw bersabda, “Kalau begitu,
engkau termasuk teman setan. Atau engkau mungkin termasuk pendeta
Nasrani dan engkau bagian dari mereka. Atau (bila) engkau termasuk
bagian dari kami, maka lakukanlah seperti yang kami lakukan, dan
termasuk sunnah kami adalah menikah. Orang yang paling buruk diantara
kamu adalah mereka yang membujang. Orang mati yang paling hina di
antara kamu adalah orang yang membujang.” Kemudian Rasulullah saw
menikahkannya dengan Kultsum al-Khumairi. (HR Ibnu Atsir dan Ibnu
Majah)
Apakah ingin disebut dzolim karena
membiarkan bertumpuk biodata akhwat menanti diproses? Apakah ingin
membiarkan para wanita baik menua tanpa kepemimpinan seorang laki-laki
baik? Apakah ingin membiarkan wanita baik menikah dengan keterpaksaan,
"adanya ini".
Ada sebuah ungkapan, "Jika ada laki-laki
tak punya keinginan kuat untuk menikah, maka hanya ada dua kemungkinan:
kelaki-lakiannya dipertanyakan atau dia ahli maksiat."
Mohon
maaf atas segala khilaf, semoga ada hikmah berbuah amal yang bisa
diambil dari tulisan ini. Kepada Alloh kami mohon ampun, kebenaran hanya
dari-Nya, begitu juga hikmah dan hidayah. Allohu a'lam.