Sang Kiai dan Burung Beo Kesayangannya

Alkisah ada seorang kiai yang gemar memelihara burung. Beliau paling suka burung beo. Ada seekor burung beo yang amat beliau sayangi. Selain bisa mengucap dan menjawab salam, burung beo tersebut bisa mengucapkan kalimat-kalimat dzikir. Pak kiai melatihnya mengucapkan “laa ilaaha illalloh”, “astaghfirulloh”, “subhanalloh”, “alhamdulillah”, “allohu akbar”.

Begitu bahagianya pak kiai tiap pagi disuguhi kalimat-kalimat dzikir oleh burung beo itu. Tak heran jika pak kiai memberinya sangkar yang amat indah, makanan yang bergizi, dan perawatan yang berkelas. Burung beo itu benar-benar seperti santri kesayangan pak kiai.

Suatu hari ketika sedang asyik memberi makan sambil mendengarkan si Qoil berdzikir pak kiai dipanggil oleh bu nyai yang memberitahukan bahwa seorang wali santri menelpon perihal anaknya yang tidak mau kembali ke pondok. Pak kiai langsung menyongsong bu nyai dan segera menjawab telepon tanpa sadar pintu sangkar si Qoil belum ditutup. Si Qoil pun terbang keluar dari sangkar.

Sadar bahwa si Qoil lepas dari sangkar pak kiai meminta beberapa santri yang kebetulan sedang jadwal piket di ndalem untuk mengejar. Para santri sigap segera mengejar beo yang seperti mendapat kebebasan itu. Beo tersebut terus terbang, sesekali hinggap di pohon lalu terbang lagi sampai akhirnya sebuah motor menabraknya ketika ia terbang rendah.

“Masyaalloh!” seru para santri serentak ketika melihat burung beo itu tertabrak dan terlempar terkapar di pinggir jalan.
“Bagaimana ini kita harus melapor pada pak kiai?” seorang santri gugup ketakutan.
Ternyata Qoil si burung beo sekarat hingga menemui ajalnya.

Setiba kembali di pondok santri-santri yang tadi mengejar si Qoil saling dorong untuk melapor kejadian yang menimpa si Qoil.
“Mohon maaf pak kiai, kami tidak berhasil menangkap burung beo pak kiai,” lapor seorang santri.
“Alhamdulillah, semoga ia bebas di alam luas. Sampai mana kalian mengejar?” tanya pak kiai.
“Anu kiai, anu, kami mengejar sampai jalan raya,” jawab santri itu gagap.
“Oh, yasudah. Si Qoil terbang terlalu cepat ya? Apa yang akhirnya membuat kalian memutuskan untuk berhenti mengejar?” tanya pak kiai lagi.
“Anu, anu, anu pak kiai, inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, si Qoil mati tertabrak motor pak kiai,” seorang santri senior menjawab ketika santri yang melapor tadi terdiam.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Bagaimana ia mati?” selidik pak kiai.
“Waktu itu kami melihat dia hinggap di pohon, kami mau memanjat pohon tapi tiba-tiba dia terbang ke arah jalan raya dengan kecepatan tinggi dan ketinggian yang sangat rendah lalu bertabrakan dengan motor. Kami bingung pak kiai,” wajah santri senior itu semakin ketakutan.
“Adakah dia sakaratul maut? Atau langsung mati?” pak kiai penasaran.
“Setelah tertabrak si Qoil terlempar dan terkapar di pinggir jalan. Kaakh, kaaakh, kaaaaakh! Lalu kami dekati dan Qoil sudah mati pak kiai,” santri tersebut menjelaskan.
“Baiklah, tidak apa-apa, silakan kalian kembali beraktivitas,” pak kiai nampak merenung dan berkata-kata dengan nada datar.

Beberapa hari setelah kematian Qoil si burung beo ada yang berbeda dari pak kiai. Pak kiai nampak murung dan merenung. Tiga hari berturut-turut pak kiai puasa. Tiga hari berturut-turut pak kiai mengurangi tidur malam, diganti sholat dan dzikir. Kondisi tersebut membuat para santri bertanya-tanya. Mereka merasa ada yang janggal. Apakah kiai mereka belum cukup maqom sehingga hanya karena kehilangan burung beo menjadi begitu murung.

Salah seorang santri senior memberanikan diri menemui pak kiai. Ia mengajak beberapa santri termasuk para santri yang ikut mengejar Qoil hingga burung beo itu menemui ajalnya.
“Pak kiai, adakah yang pak kiai inginkan, adakah yang bisa kami lakukan untuk pak kiai?”
“Aku sedih nak, mengenang si Qoil.”
“Bukankah Qoil hanya makhluk pak kiai, ciptaan Alloh yang pasti mati. Apa yang membuat pak kiai sedih?”
“Aku terngiang-ngiang bagaimana kalian mengisahkan kematian si Qoil.”
“Apa yang menjadikan pak kiai terngiang-ngiang?”
“Sesungguhnya kita semua ini akan mati, dan yang kita inginkan khusnul khotimah bukan?”
“Betul pak kiai.”
“Si Qoil begitu fasih melafalkan kalimat-kalimat dzikir ketika hidup, namun bagaimana keadaannya ketika sakaratul maut? Kalian mengatakan bahwa dia hanya teriak ‘Kaakh, kaaakh, kaaaaakh!’ Tak ada jamina n bagi seseor    ang yang senantiasa fasih wiridan kelak akan meninggal dengan kalimat wiridnya. Makanya kita terus minta pada Alloh agar diberi kemudahan sakaratul maut dan diizinkan meninggal khusnul khotimah.”
Para santri hanya tertunduk mendengar keterangan dari kiai mereka.