Laman

Mushaf Wasiat untuk Sahabat

Sebuah mushaf Al Qur'an memang hanya lembaran-lembaran Al Qur'an biasa namun berbeda dengan mushaf yang dimiliki santri itu. Mushaf berukuran seperempat folio itu bertuliskan wasiat khusus pak Kiai untuk sang santri. Di halaman belakang mushaf itu ada tulisan tangan pak Kiai.

Saat acara perpisahan santri seasrama secara khusus sang santri meminta pak Kiai memberikan nasihat untuknya di mushaf kesayangannya. Pak kiai memilih halaman belakang mushaf yang ada ruang kosongnya untuk diberi tulisan untuk sang santri.

"Semoga kita terus dipersatukan Alloh dalam wihdatul 'aqidah, wihdatul fikroh, dan wihdatul manhaj."

Kurang lebih seperti itu wasiat pak Kiai untuk sang santri. Bagaimanapun orang yang membaca mengartikannya, kalimat itu dirasa begitu dalam oleh sang santri.

Begitu para prajurit dipertemukan oleh Alloh, mereka berjuang bersama, mereka merasakan susah senang bersama, mereka memilih cita-cita yang sama, tentu perasaan enggan berpisah akan menggelayuti hati-hati manusiawi para jundi. Tidak demikian dengan cara pak Kiai melepas para santri.

"Saya justru senang Antum semua sudah tidak akan di sini. Orang-orang baik harus menyebar. Tidak selayaknya orang-orang sholih hanya berkumpul di satu tempat. Bangunan itu kokoh bukan karena ditopang satu tiang besar tapi tiang-tiang yang menyebar menanggung beban bersama."

Kehidupan sang santri berlanjut di luar asrama pondok. Mushaf bertuliskan wasiat pak Kiai senantiasa menemani hari-hari santri itu di segala situasi. Ketika mengaji, "mengisi", dan di saat-saat sendiri santri itu berusaha untuk terus berinteraksi dengan mushaf Kalam Ilahi.

Pengembaraan sang santri sampai pada kesimpulan bahwa pada akhirnya semua dai harus kembali. Mereka harus kembali ke sya'bi, istilah untuk kampung pribumi. Ya, dai-dai hasil didikan kampus mau tak mau harus pulang kampung.

Sang santri pulang kampung. Ia menjauhi gemerlap publisitas kampus menuju ke alam sunyi. Sya'bi, di sana pergerakan dakwah berputar lebih lambat, sangat lambat. Terus bersabar, terus mengaji, berusaha memahami, insyaalloh itulah kunci. Menjadi dai artinya memperbaiki diri sendiri.

Sembari terus mengaji memperbaiki diri para santri saling mengintrospeksi. Di forum pekanan mereka ada seorang santri yang selalu jebol target tilawahnya. Berbagai macam alasan dari padatnya kegiatan hingga mushaf ketinggalan mewarnai pembelaan diri sang santri. Tak hanya sepekan dua pekan, mungkin ada dua bulan hingga malam itu sesuatu terjadi.

"Qur'an saya hilang..."

Saat santri itu berharap 'afwannya kembali diijabah oleh sang guru dan nampaknya sang guru telah geleng-geleng kepala, seorang santri memecah kebekuan dengan menyodorkan sebuah mushaf pada santri itu.

"Akh, ini buat Antum. Ini mushaf kesayangan saya. Di dalamnya ada tulisan ustadz saya, pesan beliau waktu kami perpisahan asrama. Dibaca ya."

Entah bagaimana kabar mushaf itu berikutnya, yang ada dalam harapan sang santri pemilik mushaf wasiat hanyalah semoga sahabatnya tidak lagi terhambat membaca Al Qur'an, semoga ada kebaikan datang dari Alloh dengan sebab Al Qur'an, dan yang paling penting semoga tidak ada kecintaan berlebih pada sebuah makhluk berupa mushaf Al Qur'an bertanda tangan.

Beberapa pekan sebelum sang santri memberikan mushaf Al Qur'an pada sahabatnya ia sering memikirkan apa itu cinta, bagaimana mencintai yang tidak melebihi cinta seseorang pada Alloh, kenapa puncak kebaikan itu memberikan apa-apa yang kita cintai untuk saudara atau menginfakkan di jalan Alloh, seperti apa cinta yang berlebihan, bagaimana menghapus penyakit cinta dunia, bagaimana mengolah cinta dan mengendalikannya, dan sebagainya. Santri itu menyimpulkan semua itu dengan sederhana, "Jangan terlalu lama memiliki sesuatu."

Terlepas benar atau salah kesimpulan sang santri, akhirnya ia memaksakan diri untuk tidak lagi memiliki mushaf wasiat pak Kiai. Ia memberikannya pada sahabatnya. Agar cintanya hanya untuk Alloh, agar cintanya tidak ternoda cinta pada sebentuk makhluk berupa mushaf, ia terus berupaya memurnikan cinta.

Kita terkenang bagaimana mudahnya Rosululloh memberikan pakaian yang disukai sahabatnya. Kita terngiang kaum Anshor menolong, memberi, membagi-bagi segalanya dengan kaum Muhajirin. Kita teringat bagaimana para sahabat Nabi di jalan Alloh menginfakkan harta mereka bahkan jiwa. Rasanya memang benar, kita ini masih terlalu cinta dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar