Laman

Pesawat, Pilot, dan Penumpangnya

Pada masanya manusia ingin bisa terbang. Dua orang bersaudara saling bantu melakukan eksperimen untuk terbang dan menerbangkan sesuatu. Memang otot dan kerangka tubuh manusia tidak didesain untuk terbang, harus ada suatu alat yang dinaiki agar bisa terbang.
"Apakah kamu melihat pada burung yang bisa terbang? Siapakah yang menahannya agar tetap di angkasa?"
"Tembuslah langit! Tidaklah kamu bisa menembusnya kecuali dengan kekuasaan."
"Maha suci Alloh yang telah memperjalankan hambanya pada suatu malam dari Masjidil Harom ke Masjidil Aqsho..."
Umat manusia mungkin memang dikondisikan memiliki mimpi untuk bisa terbang, menembus langit, dan menempuh jarak yang jauh dalam waktu singkat. Alloh seakan memancing-mancing nalar kritis manusia melalui kalam-Nya, "Carilah cara untuk bisa terbang!"
Tidak hanya memancing, Alloh menantang manusia untuk bisa terbang.

Setelah menemukan cara untuk bisa terbang sendiri manusia ingin bisa terbang bersama-sama manusia lain, sebanyak mungkin kalau bisa. Setelah bisa terbang bersama banyak orang ternyata mereka mulai menyadari bahwa semestinya mereka terbang tidak hanya untuk hepi-hepi. Ada banyak hal bisa diraih dengan terbang. Akhirnya arah tujuan terbang mereka berbeda-beda.
Terlalu lama jika kemana-mana harus selalu bersama. Mereka pun berusaha membuat pesawat dengan ukuran yang lebih kecil untuk memenuhi kebutuhan arah tujuan penumpang yang berbeda-beda itu. Kelak manusia akan kembali mencari cara agar bisa terbang sendiri-sendiri.
Jika boleh membandingkan, mungkin bangsa Indonesia juga mengalami perjalanan sebagaimana yang dialami oleh perkembangan pesawat. Berbagai suku bangsa di Nusantara bersatu untuk mengusir penjajah. Setelah menyatakan diri merdeka pesawat Indonesia mengangkut penumpang yang sangat banyak. Energi untuk menerbangkannya cukup besar, biaya pun besar, waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan berbagai urusan menjadi cukup lama. Hanya ada satu kemudi dan semua orang harus mengikuti sang kapten yang ada di belakang kemudi.
Penumpang mulai gelisah dan menghendaki pesawat mendarat sejenak. Gaya mengemudi sang kapten dirasa nggak asyik. Maka diserahkanlah kemudi pada ahlinya ahli merancang pesawat.
"Indonesia ini cocoknya dijelajahi dengan pesawat-pesawat yang tidak terlalu besar," orang-orang mulai berani berbicara.
Beberapa kelompok orang pun akhirnya diberi kendali kemudi untuk mengemudikan pesawat yang lebih kecil dari maskapai yang sama. Beberapa yang lain memilih melompat dari pesawat dengan menggendong parasut.

"Kita masih terlalu lambat," bisik orang-orang.
"Pilotnya harusnya kita pilih sendiri, biar perjalanan kita lebih terasa kebersamaannya," yang lain menimpali.

Di antara para penumpang ada pilot-pilot berbakat yang tidak mendapat kesempatan memegang kemudi. Untuk mereka maskapai menyediakan pesawat kecil yang bukan merupakan pesawat penumpang. Mereka boleh mengemudikan pesawat tempur dengan kemampuan terbang cepat untuk melakukan manuver-manuver yang tidak bisa dilakukan oleh pesawat penumpang.
Pada suatu ketika kita harus menjadi penumpang yang duduk manis mengikuti kemana pesawat airbus diarahkan, atau menjadi pilotnya. Airbus terbang dengan kecepatan lambat, perjalanan sangat jauh, hampir tak terasa bergerak sama sekali. Para penumpang menjalani hidup di atas pesawat. Mereka makan, minum, tidur, ee, mencari penghidupan, dan melakukan apa saja di dalam sana.
Pada saat yang lain kita harus terbang dengan pesawat-pesawat kecil. Guncangan dan turbulensi udaranya lebih terasa mendebarkan. Kecilnya kapasitas tangki bahan bakar memaksa pesawat hanya mampu menempuh jarak yang tak terlalu jauh. Penumpang harus siap lebih sering naik turun pesawat di tempat-tempat transit.
Ada kalanya kita harus bergerak cepat menggunakan pesawat tempur. Hidup mati terletak di antara panel-panel kemudi dan navigasi. Pilot pesawat tempur harus siap terbang seorang diri. Hilangnya komunikasi bisa diasumsikan gagal misi. Jika tak kembali otomatis dianggap telah mati.
Tentu seorang pilot pesawat airbus tak boleh menerbangkan pesawatnya dengan gaya pesawat tempur. Pesawat kecil juga tak akan tepat penggunaannya jika dikemudikan layaknya airbus. Pesawat tempur menjadi sia-sia kemampuannya jika dikemudikan layaknya pesawat penumpang.
Pada akhirnya sampailah kita pada kesimpulan bahwa sesungguhnya tak ada pemimpin terbaik sepanjang masa. Yang ada hanyalah pemimpin yang nampak hebat karena hadir di tempat dan saat yang tepat, dengan cara memimpin yang membuat seisi pesawat terbang berhasil mengangkasa dan mendarat dengan selamat. Masing-masing kita adalah pilot pesawat. Pertanyaannya, saat ini kita sedang berada di pesawat yang mana?
__________________
ABDI Consulting
Lembaga Konsultasi Manajemen Sumber Daya Manusia, Bisnis, dan Kepribadian
+6281904403366
Jalan Kaliurang km 12,5 Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar