Sebuah perintah bagi mereka yg beriman pada Alloh dan hari akhir, memuliakan tamu. Maka kisah kaum anshor menyambut mujahirin menjadi kisah teladan bagi kita. Tak perlu panjang dibahas di sini karena ini saat mengupas suatu seni memuliakan tamu di tanah Jawa, Jogja, khususnya kampung halamanku tlatah bumi Sapen Umbulmartani Ngemplak Sleman. Seni itu dinamai "sinoman", dari kata "sinom" yg sebenarnya adalah nama daun pohon asam. Kemiripan "sinom" dg kata "anom" yg berarti muda menjadikan sinom sebagai istilah sebutan bagi kaum muda atau "kadang wiranem".
"Nyinom", istilah untuk melakukan pekerjaan sinom dilakukan umumnya oleh pemuda-pemudi di suatu perkampungan. Biasanya keluarga yg mempunyai hajat alias ewuh meminta tolong pada para pemuda untuk menjadi "pramuladi". Pramuladi merupakan istilah lain sinoman yg sama-sama bermakna pelayan tamu. Begitu perhatiannya orang Jawa dalam menyambut dan melayani tamu, sampai-sampai segalanya dipersiapkan secara detail. Bukan menyusahkan diri tapi mengusahakan "ngajeni" tamu sehingga mereka merasa benar-benar dimuliakan dan dilayani.
Yg perlu kita pahami adalah bahwa tiap daerah belum tentu sama dalam hal gaya dan aturan. Misal dalam membawa nampan, di sini harus dg kedua tangan, di tempat lain boleh dg satu tangan, ada yg dibawa di depan kepala, ada yg dibawa di samping kepala. "Deso mowo coro, negoro mowo toto", "lain ladang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya", tiap tempat punya aturan, "al'aadatu muhakkamatun". Selama tidak menerjang syari'at atau memupuk maksiat, suatu adat bisa jadi ketentuan hukum di daerah tertentu.
Hmm... Bisa ditulis jadi sebuah buku nih. Zaman dulu dan sekarang pun bisa berbeda, meski satu wilayah adat. Pemuda-pemudi di kampungku saat ini sedang banyak menekuni dan menggali kembali budaya sinoman yg beberapa waktu lalu sempat pudar. Pergantian generasi menuntut kami mengadakan pelatihan sinoman tiap dua bulan sekali agar seni memuliakan tamu ala Jawa ini tak hilang dimakan "modernisasi" budaya barat. Humm... Nantikan kisah selanjutnya... =)