Dalam pelajaran sejarah kita menemukan peristiwa Rengas Dengklok yang dilanjutkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Golongan muda mendesak golongan tua agar segera memproklamasikan kemerdekaan ketika Indonesia mengalami status quo. Status quo terjadi setelah Jepang mendapat serangan dari Amerika di Hirosima dan Nagasaki. Luluh lantaknya dua kota di Jepang itu membuat cengkraman Jepang terhadap Indonesia melemah. Akhirnya tidak ada kekuatan pasti yang mengklaim dirinya sebagai penjajah dan penguasa Indonesia, tidak Jepang tidak pula Belanda. Kekosongan kekuasaan tersebut yang dimanfaatkan sebagai momen oleh golongan muda untuk bangkit, mengajak seluruh Indonesia bangkit memproklamasikan kemerdekaan bangsa.
Seperti dalam politik, status quo bisa terjadi dalam keimanan seseorang. Iman tidak sedang naik atau turun, tidak sedang taat atau maksiat, diam. Yah, hati tidak sedang berpihak pada kebaikan, tidak pula pada keburukan. Kita semua tentu pernah mengalaminya.
Suatu saat ghiroh keislaman kita turun, futur. Ibadah-ibadah terasa hambar dan membosankan. Enggan rasanya diri kita memberi kemanfaatan bagi umat. Syuro jumud tanpa ide dan usul sama sekali. Pertanda akan berakhir kah "karir" kita sebagai seorang muslim? Inikah saat seorang dai harus menyambut masa pensiun yang datang lebih dini sebelum mati? TIDAK! Katakan TIDAK! Sekali-kali TIDAK! Harapan itu masih ada!
Apa yang bisa kita lakukan saat terjadi status quo pada keimanan kita?
Pertama, yakinlah bahwa kefuturan itu termasuk salah satu cara Alloh mentarbiyah kita. Bayangkan seorang dai yang tidak pernah futur, boleh jadi ia akan menjelma sebagai manusia super sombong. Alloh menakdirkan kita futur, syukurilah. Mungkin itu diberikan Alloh agar kita kembali ingat bahwa kita ini dhoif, tiada daya dan upaya kecuali dari Alloh.
Kedua, yakinlah bahwa kita akan bisa "melompat lebih tinggi" setelah masa futur kita habis. Insya'alloh futur ada batasnya, pasti. Selagi kita menyadari bahwa kita sedang futur, selama kita masih rindu hidayah, selama nostalgia dakwah masa lalu masih membuat kita terharu, berarti Alloh masih menginginkan kebaikan dan perbaikan dalam diri kita. Futur merupakan masa bagi seorang dai untuk introspeksi diri. "Tak semestinya aku begini, dulu aku melakukan kebaikan lebih dari ini, aku harus bisa lebih baik lagi!"
Melompatlah lebih tinggi! Kematangan pribadi akan kita peroleh setapak demi setapak. Jika pasca futur kita bisa kembali seperti dulu lagi, itu artinya lebih baik. Kondisi yang sama sebelum futur dengan sesudah futur itu tidak sama. Kondisi pasca futur insya'alloh bernilai lebih baik meskipun secara dzohir sama. Itu karena tempaan futur telah memperbaiki makna dan ruh menjadi lebih matang. Inilah tarbiyah, senantiasa ada perbaikan.
Ketiga, paksa! Iman seseorang pasti diuji. Jika kita berhasil melewatinya berarti kita lulus. Dengan memaksa diri agar tetap istiqomah dan tidak semakin futur, kita termasuk golongan mujahidin, mereka yang berjihad dan bersungguh-sungguh. Terkadang fisik atau jasad yang sudah merasa tidak mampu bisa tetap bertahan ketika jiwa pemiliknya tetap merasa mampu. Sesungguhnya kita sendiri yang membuat batasan tidak mampu pada diri kita. Jika kita memaksa, batasan itu bisa kita perlebar dan seterusnya. Prinsip kerja otot binaraga yang semakin besar itu adalah merusak sel-sel yang ada lalu membiarkan sel baru yang lebih kokoh untuk menggantikannya. Pada saat "merusak" memang akan terasa sakit dan terkesan memaksa diri namun hasilnya adalah jaringan otot baru yang lebih kokoh dan besar. Sekali lagi, perbaikan!
Keempat, ganti aktivitas 'ubudiyah nafilah dengan sunnah nafilah yang lain. Sungguh, ibadah sunnah dalam Islam amatlah banyak. Dzikir, sholat, puasa dan ibadah lain yang diajarkan Rosululloh jumlah dan macamnya sangat bervariasi. Kita bebas memilih ibadah tambahan apa yang ingin kita kerjakan. Ini boleh-boleh saja selama ibadah tersebut benar dituntunkan oleh Rosululloh. Misalnya sedang bosan puasa senin kamis, ganti dengan sholat dhuha, ganti dengan dzikir. Bosan sholat dhuha, ganti dengan baca alqur'an dan sebagainya. Seorang ulama pernah mengatakan bahwa beliau pernah tidak sholat malam selama empat puluh (hari/ tahun), maksudnya beliau mengganti sholat malam tersebut dengan ibadah nafilah lain. Dalam sebuah hadits (kalau tidak salah) disampaikan bahwa Alloh membagi amal kebaikan pada manusia sebagaimana membagi rizki. Jadi, variasikan ibadah kita karena tidak mungkin semua amalan sunnah bisa kita lakukan seluruhnya.
Kelima, jangan pernah tinggalkan yang wajib! Pada kondisi keimanan yang sangat rendah, pastikan bahwa kewajiban-kewajiban kita pada Alloh menjadi batasan minimal aktivitas 'ubudiyah kita. Sefutur-futurnya seorang muslim, ibadah wajib tidak boleh ditinggalkan. Sefutur-futurnya seorang dai, halaqoh pekanan tidak boleh ditinggalkan. Kewajiban itulah yang mungkin akan menjaga kita tetap dalam Islam dan istiqomah di jalan hidayah, sekalipun sedang futur.
Keenam, pertahankan status quo! Jika kita benar-benar tidak punya ghiroh sama sekali untuk melakukan kebaikan, jangan melakukan kemaksiatan atau keharoman. Tetaplah diam pada kondisi itu, jangan ganti kebaikan dengan maksiat. Dalam hadits Arba'in Nawawi ada yang berbunyi "...wa atbi'issayyiatal hasanata tamhuhaa...", ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan itu menghapus keburukan. Bagaimana kira-kira jika kebaikan diikuti atau diganti dengan keburukan? Benarlah perumpamaan hati bagai sebuah cermin bening, tiap kali bermaksiat akan muncul satu noktah hitam dan seterusnya hingga akhirnya hati kian buram dan mati. Jadi tetaplah pertahankan status quo, tidak berbuat baik, tidak juga bermaksiat, diam.
Ketujuh, lakukan hal-hal mubah untuk menghibur diri sekadarnya. Konon jika para masyayikh sedang jumud dan turun semangat ibadahnya, mereka mengundang teman-teman mereka yang lain untuk berpesta dan makan-makan. Ada tapinya, tapi setelah itu mereka bergegas kembali pada tugas utama dan melejitkan ibadah melebihi sebelumnya. Poin penting yang perlu kita perhatikan adalah silakan mengerjakan hal-hal mubah sekadarnya lalu kembali kepada tugas utama. Silakan makan, tidur, berhibur halal, jalan-jalan, rihlah, silaturohim, bernasyid, nonton TV, film, dsa tapi segera pula kembali pada kemerdekaan iman.
Mari kita nikmati masa-masa futur kita tapi segera manfaatkan status quo untuk memproklamasikan diri meraih iman yang lebih matang. Status quo memang sunnatulloh, semua manusia pasti mengalaminya, bahkan Rosululloh. Mungkin kita ingat sejarawan menulis dan mengistilahkan 'Ammul Huzni dalam perjalanan dakwah Rosululloh. Kesedihan Rosululloh ketika kehilangan dua orang yang amat dicintai dalam waktu yang berdekatan menjadikan dakwah nampak lesu bahkan wahyu dari Alloh tidak kunjung datang. Setelah kesedihan atas meninggalnya paman dan istri beliau Khodijah yang keduanya merupakan pendukung dakwah Rosululloh, Alloh kemudian memberikan perjalanan wisata luar biasa pada Rosululloh.
Rosululloh dihibur dan ditarbiyah melalui Isro' Mi'roj yang sudah kita ketahui bersama kedahsyatannya. Status quo berubah berpihak pada dakwah seusai kejadian itu. Turunnya perintah sholat lima waktu tentu menjadikan iman umat muslim ketika itu melejit. Bisa kita bayangkan jika masa itu adalah masa dakwah yang cukup redup, seketika dalam semalam berubah menyala-nyala karena ada instruksi langsung dari Alloh berupa perintah sholat beserta narasi perjalanan Rosululloh dari Makkah ke Baitul Maqdis lalu ke Sidrotul Muntaha, dalam satu malam! Allohu akbar!
Harapan itu masih ada! Akan selalu ada! Selama hayat masih di kandung badan!
Allohu a'lam...
Luruskan niat, terus berkarya dan tetap semangat! :D
(inspired by KRPH Masjid Mardliyah with ustadz Sholihun, 30/01/2010)