Laman

Guru Oemar Bakrie

By: Iwan Fals


Tas hitam dari kulit buaya

"Selamat pagi!", berkata bapak Oemar Bakri

"Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali!"

Tas hitam dari kulit buaya

Mari kita pergi, memberi pelajaran ilmu pasti

Itu murid bengalmu mungkin sudah menunggu




(*)




Laju sepeda kumbang di jalan berlubang

S'lalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang

Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang

Banyak polisi bawa senjata berwajah garang

Bapak Oemar Bakri kaget apa gerangan 

"Berkelahi Pak!", jawab murid seperti jagoan

Bapak Oemar Bakri takut bukan kepalang

Itu sepeda butut dikebut lalu cabut, kalang kabut, cepat pulang

Busyet... Standing dan terbang




Reff. 

Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri

Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi 

Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri

Oemar Bakri... Profesor dokter insinyur pun jadi 

Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri




Kembali ke (*)




Bapak Oemar Bakri kaget apa gerangan 

"Berkelahi Pak!", jawab murid seperti jagoan

Bapak Oemar Bakri takut bukan kepalang

Itu sepeda butut dikebut lalu cabut, kalang kabut

Bakrie kentut... Cepat pulang

Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri

Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi 

Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri

Oemar Bakri... Bikin otak orang seperti otak Habibie 

Kestabilan Pergerakan Dakwah

Tidak ada gerakan dakwah yang tidak mengalami guncangan. Tabiat dakwah sendiri mengharuskan banyaknya halangan menjadi salah satu dinamikanya. Dengan berbagai fitnah cobaan yang menyertainya dakwah selalu saja bisa bertahan.

Dakwah terus bertahan dalam terpaan badai selain karena Alloh menghendaki demikian juga karena Alloh menurunkan pertolongan-Nya kepada para da'i. Turunnya pertolongan Alloh menjadi berita gembira bagi para pejuang yang senantiasa berusaha menjaga kestabilan gerakan dakwah. Ada hal-hal yang berada di wilayah ikhtiar manusia sebelum Alloh mengokohkan dakwah dengan pertolongannya.

Untuk menjaga kestabilan pergerakan dakwah setidaknya ada lima (5) hal yang harus kita usahakan agar kelimanya bisa terus berada dalam kondisi stabil. Dengan menjaga kestabilan lima hal berikut insyaalloh akan turun pertolongan Alloh untuk mengokohkan kestabilan sebuah pergerakan dakwah. Pertama, kita jaga kestabilan jiwa-jiwa kita. Kedua, kita jaga kestabilan keluarga-keluarga kita. Ketiga, kita jaga kestabilan masyarakat sekitar kita. Keempat, kita jaga kestabilan struktur dakwah kita. Kelima, kita jaga kestabilan aktivitas dakwah kita.

1. Istiqrorun nafsi
Sebuah bangunan yang kokoh tentu tersusun dari material-material berkualitas. Jiwa-jiwa yang stabil dan tenang muncul akibat ketakwaan pada Alloh. Pendekatan diri pada Alloh memegang peranan penting dalam proses menuju kestabilan jiwa. Seorang dai mutlak berusaha menjaga kebaikan hubungannya dengan Alloh.

2. Istiqrorul a'ili
Alloh menciptakan manusia saling berpasangan. Salah satu tujuan Alloh menjadikan manusia seperti itu dan menggariskan syariat pernikahan ialah agar pasangan-pasangan manusia bisa menggapai sakinah. Kestabilan keluarga menjadi penting bagi sebuah pergerakan dakwah. Keluarga berperan sebagai basis pergerakan.

Seorang dai perlu dukungan istri dan anak-anak dalam berdakwah. Sekedar panggilan apel siaga di hari libur atau permintaan mengisi majlis ta'lim di jam keluarga bisa memunculkan konflik jika sebuah keluarga tidak memiliki kestabilan. Posisi keluarga sangat strategis untuk menumbuhkan kestabilan pergerakan dakwah sehingga sebuah gerakan dakwah yang stabil senantiasa menjaga kestabilan keluarga kadernya. Termasuk dalam lingkup menjaga kestabilan keluarga ialah mendorong dan mengarahkan bagaimana para kader membentuk keluarga sesuai karakteristik yang dibutuhkan oleh gerakan dakwah. Mencarikan jodoh menjadi bagian dari upaya tersebut.

3. Istiqrorul ijtima'i
Dakwah akan terganggu kestabilannya jika lingkungan yang menjadi tempat tumbuh kembang gerakan dakwah tidak stabil. Hal ini mengharuskan dakwah tidak saja mengurusi masjid namun juga masalah-masalah keumatan di luar masjid. Sebisa mungkin para dai dan masyarakat ibarat singa dan hutan. Hutan menjadi sarang singa. Ketika posisi dakwah terancam, masyarakat akan membelanya.

4. Istiqrorut tandzimi
Sebuah bangunan kokoh tidak hanya membutuhkan material-material berkualitas, ia perlu struktur yang kuat. Struktur menjadi pokok penopang banyaknya material yang berikatan satu sama lain agar tidak saling merobohkan. Beban seberat apapun akan bisa ditopang kerangka-kerangka kecil asal perhitungan dan peletakan posisi strukturnya tepat. Struktur yang stabil berfungsi menghindarkan gerakan dakwah dari roboh akibat guncangan-guncangan tektonik. Bahkan jika seluruh bangunan hancur namun strukturnya masih kokoh, ia akan bisa dibangun ulang mengikuti struktur yang ada.

5. Istiqrorud da'awi
Hidup mati sebuah pergerakan dakwah nampak dari hidup matinya aktivitas dakwah. Sebaik dan sekokoh apapun kader, keluarga, masyarakat, dan struktur dakwah, tanpa stabilnya aktivitas dakwah ibarat rumah megah tak berpenghuni. Dakwah dan amar ma'ruf nahi mungkar harus senantiasa tegak. Selama aktivitas dakwah terus dijaga agar stabil, selama itu pula pergerakan dakwah akan melaju.

Sebuah sepeda akan berjalan stabil dan penumpang-penumpang di atasnya tidak akan terjatuh apabila ia terus bergerak melaju. Semakin cepat dan fokus laju sepeda, guncangan-guncangan di jalan berlubang tidak akan terlalu dirasa menyakitkan oleh para penumpang. Memang ada kalanya sepeda perlu berjalan melambat, namun ini strategi, bukan isyarat untuk berhenti.

Semoga kita bisa menjaga pergerakan dakwah agar terus dalam kondisi stabil dengan menjaga kestabilan diri, keluarga, masyarakat, struktur, dan dakwah itu sendiri.

Keluarga Ideologis

Selasa 22 April 2014 saya mengantar bapak dan ibu mertua saya ke komplek Kementrian Agama Kabupaten Sleman. Siang itu diadakan acara pengukuhan juara Keluarga Sakinah Teladan tingkat kabupaten Sleman. Mertua saya mewakili kecamatan Cangkringan hingga akhirnya menjadi tiga besar se-Sleman. Dari seleksi administrasi, wawancara, sampai penilaian kunjungan rumah menempatkan mertua saya pada perolehan nilai tiga besar tertinggi.

Hari sebelumnya tanggal 21 April 2014 ramai dibincangkan orang sebagai Hari Kartini. Di berbagai media muncul nuansa wanita dan ibu dikemas menjadi berita menarik terkait peranan wanita dan emansipasi. Hari itu teman sekantor saya mencari model untuk ditampilkan dalam salah satu marketing tools. "Saya butuh keluarga muslim untuk dijadikan model cover produk"

Tanpa panjang saya menimpali, "Keluarga biologis atau keluarga ideologis?

Hari sebelumnya dalam sebuah grup chatting yang saya ikuti muncul sedikit sentimen bujang-berkeluarga-anak. Saya menutup topik pembicaraan itu dengan pernyataan, "Anak biologis maupun ideologis"

Terminologi biologis dan ideologis (baca : agamis, Islami) saya ambil untuk membuka cakrawala pandang kita mengenai pengertian keluarga dan anak. Bahwa ada keluarga serta anak biologis, ada keluarga serta anak ideologis, akan kita bahas bersama. Apa maksud penggunaan istilah biologis dan ideologis?

Nabi Nuh, Luth, Ibrahim, Ismail, Muhammad 'alaihimussholatu wassallam akan menjadi model kita dalam memahami makna biologis dan ideologis. Saya kira sebagian besar dari kita telah memahami bagaimana istri dan anak kandung nabi Nuh tidak berada di pihak sang suami ketika diuji oleh Alloh. Begitu pula istri nabi Luth justru menentang sang suami. Keluarga nabi Ibrahim berbeda dengan sang ayah namun keturunannya ke bawah menjadi tauladan kita betapa sebuah keluarga bisa sangat kompak menaati Alloh, juga keluarga nabi Ismail dan seterusnya hingga ditutup kisah dahsyat nabi Muhammad.

Benar bahwa sebuah keluarga kelak akan bisa berkumpul di surga namun bagaimana dengan istri, anak, orang tua, dan keluarga para nabi yang ternyata tidak seideologi dengan sang nabi? Di sinilah berlaku firman Alloh "Harta dan keturunan tidak bermanfaat". Jika maut memisahkan sebuah keluarga dalam keadaan berbeda ideologi, niscaya di akhirat mereka tidak akan bertemu.

Rosululloh bersabda dan benarlah sabda beliau, "Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah umatku dibanding nabi-nabi lain di akhirat kelak." Begitu sabda beliau atau sebagaimana beliau bersabda, mari kita endapkan. Ada beberapa clue agar tidak sempit kita memaknai kata-kata. Semoga ini bukan cara memahami hadits secara asal-asalan. Saya hanya ingin membuka wawasan agar tak ada yang berpotensi terpojokkan.

Pertama, NIKAH, lalu wanita penyayang, ketiga banyak anak, terakhir banyaknya jumlah umat Muhammad menjadi clue hadits tersebut menurut saya. Ide utama kalimat hadits tersebut bukanlah nikah, wanita penyayang, maupun banyak anak, namun jumlah umat Muhammad. Kembali merujuk kepada kisah para nabi, ternyata pernikahan, keluarga, keturunan, anak dan sifat baik tidak menjadi jaminan kebersamaan suami istri atau sebuah keluarga di akhirat. Dengan kata lain itu semua bukan faktor penentu "menambah jumlah", namun bisa jadi sangat menentukan. Mohon diluruskan jika saya salah. Saya akan membahas satu per satu clue di atas.

1. Nikah
Pernikahan menjadi ibadah atau sunnah yang menyempurnakan separuh agama. Luar biasa keutamaan orang yang menikah semestinya menarik minat para lajang untuk bersegera dan berjuang mati-matian menuju pernikahan. Bersyukurlah mereka yang telah menikah.

Kita ingat kembali main goal yang dipesankan oleh Nabi, jangan sampai main goal ini luput. Target utama dari pernikahan dalam hadits yang kita bahas ialah banyaknya jumlah umat Muhammad, kita catat itu. Pernikahan merupakan salah satu sarana mencapai target itu. Jadikan ia washilah semata.

Dengan persepsi bahwa pernikahan semata washilah, tak ada alasan bagi pemuda dan pemudi yang belum menikah untuk tidak "menambah jumlah". Adapun jika sudah mampu menjemput takdir pernikahan, itu jauh lebih baik insyaalloh. Cara pandang ini insyaalloh akan menyederhanakan geliat hati mereka yang masih dalam masa penantian menjemput atau dijemput.

2. Wanita penyayang
Al-waduud yang bermakna penyayang mewakili sifat-sifat baik sebagai prasyarat seseorang untuk menghadirkan "penambahan jumlah". Sifat ini tidak hanya melekat pada seorang wanita, pria pun sangat mungkin memiliki sifat waduud. Dengan sifat penyayang tentu menyertainya sifat sabar, azam, visioner, dan tekun. Sifat-sifat ini mutlak dimiliki seorang aktivis "penambah jumlah".

Wanita penyayang sangat ideal dinikahi (untuk menambah jumlah). Tabiat dasar wanita ialah penyayang, jika saat ini bermunculan wanita-wanita tak sesuai fitrah, barangkali ini efek kumulatif berbagai program "pengurangan jumlah". Seorang sahabat pernah diinterupsi oleh Rosululloh ketika sahabat tersebut hendak menikahi seorang janda. "Kenapa tidak dengan gadis?"

"Keluarga saya rata-rata bertabiat keras, saya butuh wanita seperti dia untuk mengimbangi dan melunakkan."

Nampak betul keinginan sang sahabat melakukan taghyir penambahan jumlah. Bukan sekedar kesenangan duniawi atau hitung-hitungan jumlah matematis. Sifat lembut sekali lagi hanya sarana untuk "menambah jumlah". Pria maupun wanita amat pantas memiliki sifat waduud.

3. Banyak anak
Ketika sepintas membaca hadits yang kita bahas mungkin orang langsung mengerucutkan topik pada bab nikah sub bab kriteria calon pasangan ideal. Jika tidak, orang akan mengarahkan pembahasan pada keutamaan menikah dan banyak anak. Tak salah memang kedua pandangan itu namun saya berusaha mengendapkan lalu menarik garis bawah pada kata "banyaknya jumlah umat Muhammad". Frasa tersebut bukan sekedar artifisial pelengkap kalimat tentang banyak anak namun justru menjadi pokok kalimat yang melatarbelakangi kalimat tentang banyak anak.

Logika sederhananya tentu jika banyak anak dan terdidik dengan baik maka jumlah umat Muhammad semakin banyak. Dengan menikahi wanita yang banyak anak satu washilah teroptimalkan. Raw material telah siap tersedia untuk diolah.

Pertanyaan yang muncul, "Bagaimana cara mengetahui bahwa seorang wanita banyak anak?"

Jawaban mudah dan sangat kasat mata, "Nikahilah janda yang banyak anaknya"

Luar biasa heroik andai kita benar-benar terobsesi "menambah jumlah" lalu menikahi janda-janda beranak banyak. Tengoklah Rosululloh, tercatat hanya 'Aisyah rodhiyallohu 'anha yang dinikahinya dalam kondisi masih gadis. Tak perlu bersusah payah menunggu, bahan baku penambah jumlah telah siap olah. Apalagi jika janda itu penyayang, pastilah anak-anaknya merupakan bahan baku pilihan.

Ingat, para nabi pun tak bisa menjamin kesamaan ideologi para putra kandung mereka. Putra tiri seideologi akan lebih menambah jumlah daripada putra kandung tak seideologi. Hubungan darah hanya sarana agar upaya penambahan jumlah menjadi lebih natural.

Sejenak kita simak kisah nabi Ibrahim yang akhirnya beliau menikah untuk kedua kali dengan salah satu latar belakangnya yaitu ketiadakunjungan hadirnya putra. Beliau berikhtiar menikah lagi atas saran sang istri hingga akhirnya setelah istri kedua melahirkan Ismail disusul istri pertama melahirkan Ishaq. Seakan Alloh ingin menunjukkan pada kita bahwa keturunan dan anak adalah sama ghoib misteriusnya dengan perihal jodoh. Menanti kepastian keturunan sama dengan menanti kepastian jodoh dan pernikahan.

Mari terbang ke Palestina dan ke beberapa negeri konflik yang saya juga belum pernah ke sana. Konon di sana penambahan jumlah mujahid ialah dengan mengusahakan kelahiran sebanyak mungkin. Angka pernikahan dan kelahiran ditingkatkan. Di wilayah-wilayah inilah perintah memaksimalkan jumlah dua tiga dan empat barangkali menjadi wajib.

Di negeri hidden conflict seperti Indonesia strategi penambahan jumlah (dengan menambah) anak dan pernikahan sama masyru'. Ada kesamaan syariat meskipun karakter antarnegeri berbeda-beda. Disyariatkan pria menikahi dua tiga empat atau satu saja wanita yang disukainya. Bukan, bukan sekedar jumlah anak biologis yang menjadi tujuan pernikahan pertama kedua dan seterusnya.

Sangat manusiawi dan merupakan solusi syar'i apa yang dicontohkan nabi Ibrahim. Ketika bersama istri pertama tak kunjung berputra beliau menikahi istri kedua. Sekali lagi bukan sekedar anak biologis harapannya. Simak saja doa-doa beliau dalam Al-Quran, bukan doa pribadi. Bahkan beliau berdoa menembus generasi hingga dikabulkan doa beliau oleh Alloh beribu tahun kemudian dengan lahirnya Muhammad.

Ada banyak manusia lain yang juga telah renta namun tetap dikaruniai putra oleh Alloh. Siti Maryam tak menikah namun dikaruniai putra oleh Alloh. Semuanya menjadi cara Alloh menegakkan eksistensi dan menambah jumlah khalifah di muka bumi.

Lagi-lagi perkara anak menjadi urusan Alloh. Bukan wilayah kita menentukan berapa jumlah anak. Hanya ikhtiar manusiawi yang bisa kita lakukan. Tinggal bagaimana kita mengisi kertas-kertas putih karunia Alloh menjadi kertas warna-warni Ilahiyah.

Kalaupun harus menunggu kehadiran anak biologis, hal itu bukanlah berarti "penambahan jumlah" tidak bisa terjadi dalam masa menunggu. Logika penambahan jumlah anak biologis ialah logika matematis sederhana tentang deret ukur. Tanpa penambahan faktor luar, faktor internal saling dikalikan menjadi berlipat-lipat.

Penambahan jumlah bisa melalui deret ukur maupun deret hitung. Deret hitung memungkinkan penambahan jumlah dari luar. Kita mengenalnya dengan istilah rekruitmen. Deret ukur yang merupakan perkalian internal kita kenal sebagai kaderisasi. Efek deret ukur memang jauh lebih berlipat dari deret hitung, wajar saja karena prosesnya juga lebih berat. Dengan menggabungkan deret hitung dan deret ukur insyaalloh penambahan jumlah akan signifikan.

Tak sedikit orang-orang sholih ditakdirkan berada dalam kondisi menunggu hadirnya seorang Ishaq. Ketika pilihan mengarah pada jalan nabi Ibrahim menikahi Siti Hajar, bukan peristiwa mudah bagi banyak orang. Tidak mudah menerima pilihan itu bagi suami maupun istri, terlebih keluarga besar dan lingkungan sekitar.

Hadirnya Ismail dan Ishaq menjadi sebentuk reward Alloh atas cinta mereka kepada Alloh yang melebihi cinta mereka kepada selain-Nya. Selama ini banyak kalangan menyudutkan pria dalam bab ta'adud. Tidakkah terbayang dalam benak kita bahwa suami istri yang memilih jalan itu sama-sama merasakan berat? Hingga mereka lebih mencintai Alloh, Rosul dan Jihad, mereka terus berusaha mengolah cinta kepada pasangan menjadi sebentuk ketaatan. Jika harus direndahkan mereka akan merendah tunduk pada ketentuan Alloh dan Rosul-Nya. Yang ada dalam dasar hati mereka bukan semata-mata kesenangan dan kehadiran anak.

Sangat manusiawi seorang anak manusia merindu hadirnya dzurriyyah yang menyejukkan hati. Akan tetapi itu bukan tujuan utama sebuah pernikahan. Bisa disimpulkan bahwa ending dari semuanya ialah banyaknya jumlah umat Muhammad, bukan banyaknya jumlah istri atau anak. Begitu pentingnya anak ideologis, sampai-sampai nabi Ya'qub kembali harus memastikan ideologi anak-anaknya menjelang beliau wafat. "Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?"

4. Jumlah umat Muhammad
Semacam penutup pembahasan kita, kita kembali mengingat keinginan Rosululloh membanggakan jumlah umatnya yang lebih banyak dibanding nabi-nabi lain di akhirat kelak. Semua clue menjadi sunnah tak terbantahkan. Sebisa mungkin seluruh sabda nabi kita iyakan dan kita amalkan.

Dari semua yang bisa kita upayakan ada hal-hal di luar kendali yang tidak bisa kita pastikan untuk mencapai goal "banyaknya jumlah umat Muhammad". Pernikahan dan anak menjadi misteri dan rahasia Alloh tersendiri. Kasih sayang dan "penambahan jumlah" menjadi wilayah ikhtiari yang bisa diusahakan sesiapa saja tanpa melihat status berkeluarga atau belum, berputra atau belum.

Dari uraian panjang kita semoga kita bisa memposisikan lebih jernih apa itu keluarga dan anak biologis, apa itu keluarga dan anak ideologis. Keduanya (biologis dan ideologis) menjadi elemen penting dalam upaya "penambahan jumlah umat Muhammad" namun yang jauh lebih penting ialah elemen ideologis. Sedekat apapun hubungan darah, ideologi yang akan menyatukan atau memisahkan mereka di akhirat.

Allohu a'lam...

Salafy Mempersilakan PKS Memimpin


Sudah jamak kita temui antar gerakan dakwah Islam terjadi gesekan-gesekan. Berbagai perbedaan pandangan tentu wajar karena metode dakwah yang dijadikan jalan perjuangan juga berbeda. Gerakan dakwah Salafy yang berusaha memurnikan aqidah menghidupkan sunnah menghapus bid’ah dan anti demokrasi acapkali berselisih pendapat dengan gerakan dakwah Tarbiyah yang berusaha meletakkan kesempurnaan Islam di seluruh sisi kehidupan melalui partai politik yang dibentuknya yaitu PKS.

Jika kader Salafy membaca tulisan ini mungkin akan muncul kegeraman tersendiri terhadap PKS begitu juga sebaliknya. Masing-masing kalangan elit mereka boleh jadi tidak terlalu detail menanggapi isu-isu yang sensitif dan rawan memicu perpecahan. Bagi mereka semua itu adalah bumbu-bumbu perjuangan, satu sama lain sudah saling faham. Lain dengan para elit, kalangan akar rumput biasanya lebih sering bersitegang.

Sesungguhnya kedua gerakan dakwah ini yaitu Salafy dan PKS mempunyai potensi besar jika bekerja sama. Bila mereka bisa berkolaborasi dalam hal yang mereka sepakati dan bisa bertoleransi dalam hal yang mereka tidak sepakati, niscaya gelombang dakwah akan semakin menggulung tinggi dengan gegap gempita membahana. Mimpi yang sulit terwujud mungkin mengingat keduanya bagaikan air dan minyak, sama-sama cair namun sulit bercampur.

Pada dasarnya air dan minyak sulit bercampur namun dalam eksperimen sains keduanya bisa saling berikatan ketika diberi sabun. Barangkali sabun ini merupakan katalis yang bisa melarut di air maupun di minyak. Kelak sabun-sabun akan dan bahkan sudah meliputi Salafy dan PKS. Adab ta’aruf, tabayyun, tawashou, dan ta’awun mulai nampak dari keduanya.

Kini orang Salafy dan orang PKS tak segan berkolaborasi dalam dakwah yang sama-sama mereka sepakati. Dalam hal memakmurkan masjid, menggemakan al-quran, menolong sesama, keduanya memiliki pandangan yang sejalan. Tak lama lagi, insyaalloh keduanya akan berkoalisi dalam sebuah kepemimpinan Islam yang baik di negeri Indonesia, semoga.

Ada yang menarik dari fenomena trend saling memberi perhatian dan saling mendekat dari Salafy dan PKS. Ternyata Salafy mempersilakan PKS memimpin. Ketika masih menjadi aktivis dakwah di kampus saya dapati teman saya yang notabene Salafy mempersilakan teman saya yang berafiliasi dengan PKS untuk memimpin lembaga dakwah. Teman Salafy saya menjadi seorang kepala bidang sedangkan teman PKS saya menjadi seorang mas’ul padahal di awal syuro keduanya adalah calon mas’ul.

Saat saya kebetulan memegang sebuah lembaga dakwah al-qur’an independen, teman saya yang Salafy mempersilakan dan dengan begitu ridho menerima ditempatkan sebagai manajer sedangkan saya sebagai direktur. Saya berafiliasi dengan PKS. Kami menjalani dakwah dengan berbagai strategi dan perjuangan bersama. Kami saling menjaga pendapat masing-masing dan sudah saling tahu bagaimana semestinya bersikap satu sama lain.

Beberapa saat yang lalu saya begitu tersentuh dengan satu peristiwa sehingga akhirnya saya menuangkan pemikiran saya dalam tulisan ini. Peristiwa tersebut mendorong saya menyimpulkan bahwa “Salafy mempersilakan PKS memimpin”. Semoga setelah membaca tulisan ini ada sedikit pencerahan bagi kita. Tak diragukan lagi, meskipun Salafy begitu anti dengan gerakan dakwah di ranah politik praktis yang digencarkan oleh PKS, sesungguhnya mereka sangat rela dan mempersilakan PKS memimpin.

Siang itu menjelang adzan Dzuhur waktu kami tiba di sebuah rumah sakit khusus ibu dan anak di Yogyakarta. Kami sedang duduk di bawah pohon saat sebuah mobil berhenti di depan pintu masuk rumah sakit. Dari mobil itu keluar seorang wanita bercadar mengeluarkan beberapa barang bawaan. Menyusul tiga atau empat anak kecil dan seorang pria berjenggot tebal bercelana cingkrang keluar dari mobil tersebut.
“Salafy,” pikir saya.

Usai sholat Dzuhur setelah mendaftar dan diperiksa oleh seorang bidan istri saya mengabarkan bahwa dia sudah harus mondok. Bismillah, kami memutuskan untuk menyambut kelahiran anak kedua kami di rumah sakit itu. Di ruang bersalin yang terdapat dua tempat tidur itu sudah ada satu tempat tidur yang terpakai. Beberapa saat kemudian pasien itu pindah ke ruang lain. Ternyata pasien itulah yang tadi turun dari mobil bersama suami dan beberapa anaknya.

Begitu jam dinding menunjukkan sekitar pukul 18.00 dari ruang sebelah terdengar tangisan bayi. Rupanya sang ibu tadi sudah melahirkan. Menyusul pada pukul 18.10 istri saya melahirkan. Anak mereka perempuan, anak kami laki-laki. Segera kami mengabarkan kepada keluarga lalu pergi ke mushola untuk sholat Maghrib.

Berikut ini adegan berulang-ulang yang membuat saya tersentuh. Di mushola rumah sakit yang tidak terlalu luas sang bapak Salafy beserta anak-anaknya menunggu untuk sholat jama’ah bersama. Di lain kesempatan saya menunggu untuk sholat jama’ah bersama. Saya tersentuh ketika berkali-kali kesempatan sholat jama’ah bapak itu mengumandangkan iqomat dan mempersilakan saya menjadi imam sholat.

Saya merasa tidak lebih pantas menjadi imam dibandingkan sang bapak Salafy. Saya kalah umur, kalah jumlah anak, kalah panjang jenggot dan kalah cingkrang. Setidaknya ukuran-ukuran fisik tersebut membuat saya sedikit minder untuk menjadi imam. Saya merasa faham fiqh sholat, bacaan alquran saya lumayan tidak kurang dari standar, maka bismillah saya maju meskipun sempat saling dorong mempersilakan menjadi imam.

Dari banyak peristiwa yang saya alami saya merenungkan bahwa sesungguhnya orang-orang Salafy begitu tawadhu. Mereka tidak suka mengambil jabatan sebagai pemimpin. Bukan karena mereka tidak mampu namun mungkin karena kepemimpinan selalu dimintai pertanggungjawaban oleh Alloh dan itu berat. Allohu a’lam, dalam berbagai kesempatan saya lebih sering bertemu orang Salafy yang suka memberi kesempatan orang lain berada di depan mereka.

Mereka siap berada di shof terdepan, siapapun imamnya mereka akan taat. Tak terhitung sholat jama’ah yang saya lalui bersama orang-orang Salafy yang demikian. Subhanalloh, sepertinya berbagai kejadian seperti ini bisa digeneralisasikan bahwa orang Salafy siap dipimpin siapa saja. Betapapun keras mereka terhadap orang-orang PKS, ketika PKS memimpin mereka akan sami’na wa atho’na. Dalam wilayah kepemimpinan umat, sekritis-kritis orang Salafy terhadap PKS, sesungguhnya Salafy mempersilakan PKS memimpin. Insyaalloh mereka akan sangat lebih ridho dipimpin oleh orang PKS daripada dipimpin oleh orang kafir. Insyaalloh.

Abu Mursyid bin Jamal As-Sulaimani

Sang Kiai dan Burung Beo Kesayangannya

Alkisah ada seorang kiai yang gemar memelihara burung. Beliau paling suka burung beo. Ada seekor burung beo yang amat beliau sayangi. Selain bisa mengucap dan menjawab salam, burung beo tersebut bisa mengucapkan kalimat-kalimat dzikir. Pak kiai melatihnya mengucapkan “laa ilaaha illalloh”, “astaghfirulloh”, “subhanalloh”, “alhamdulillah”, “allohu akbar”.

Begitu bahagianya pak kiai tiap pagi disuguhi kalimat-kalimat dzikir oleh burung beo itu. Tak heran jika pak kiai memberinya sangkar yang amat indah, makanan yang bergizi, dan perawatan yang berkelas. Burung beo itu benar-benar seperti santri kesayangan pak kiai.

Suatu hari ketika sedang asyik memberi makan sambil mendengarkan si Qoil berdzikir pak kiai dipanggil oleh bu nyai yang memberitahukan bahwa seorang wali santri menelpon perihal anaknya yang tidak mau kembali ke pondok. Pak kiai langsung menyongsong bu nyai dan segera menjawab telepon tanpa sadar pintu sangkar si Qoil belum ditutup. Si Qoil pun terbang keluar dari sangkar.

Sadar bahwa si Qoil lepas dari sangkar pak kiai meminta beberapa santri yang kebetulan sedang jadwal piket di ndalem untuk mengejar. Para santri sigap segera mengejar beo yang seperti mendapat kebebasan itu. Beo tersebut terus terbang, sesekali hinggap di pohon lalu terbang lagi sampai akhirnya sebuah motor menabraknya ketika ia terbang rendah.

“Masyaalloh!” seru para santri serentak ketika melihat burung beo itu tertabrak dan terlempar terkapar di pinggir jalan.
“Bagaimana ini kita harus melapor pada pak kiai?” seorang santri gugup ketakutan.
Ternyata Qoil si burung beo sekarat hingga menemui ajalnya.

Setiba kembali di pondok santri-santri yang tadi mengejar si Qoil saling dorong untuk melapor kejadian yang menimpa si Qoil.
“Mohon maaf pak kiai, kami tidak berhasil menangkap burung beo pak kiai,” lapor seorang santri.
“Alhamdulillah, semoga ia bebas di alam luas. Sampai mana kalian mengejar?” tanya pak kiai.
“Anu kiai, anu, kami mengejar sampai jalan raya,” jawab santri itu gagap.
“Oh, yasudah. Si Qoil terbang terlalu cepat ya? Apa yang akhirnya membuat kalian memutuskan untuk berhenti mengejar?” tanya pak kiai lagi.
“Anu, anu, anu pak kiai, inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, si Qoil mati tertabrak motor pak kiai,” seorang santri senior menjawab ketika santri yang melapor tadi terdiam.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Bagaimana ia mati?” selidik pak kiai.
“Waktu itu kami melihat dia hinggap di pohon, kami mau memanjat pohon tapi tiba-tiba dia terbang ke arah jalan raya dengan kecepatan tinggi dan ketinggian yang sangat rendah lalu bertabrakan dengan motor. Kami bingung pak kiai,” wajah santri senior itu semakin ketakutan.
“Adakah dia sakaratul maut? Atau langsung mati?” pak kiai penasaran.
“Setelah tertabrak si Qoil terlempar dan terkapar di pinggir jalan. Kaakh, kaaakh, kaaaaakh! Lalu kami dekati dan Qoil sudah mati pak kiai,” santri tersebut menjelaskan.
“Baiklah, tidak apa-apa, silakan kalian kembali beraktivitas,” pak kiai nampak merenung dan berkata-kata dengan nada datar.

Beberapa hari setelah kematian Qoil si burung beo ada yang berbeda dari pak kiai. Pak kiai nampak murung dan merenung. Tiga hari berturut-turut pak kiai puasa. Tiga hari berturut-turut pak kiai mengurangi tidur malam, diganti sholat dan dzikir. Kondisi tersebut membuat para santri bertanya-tanya. Mereka merasa ada yang janggal. Apakah kiai mereka belum cukup maqom sehingga hanya karena kehilangan burung beo menjadi begitu murung.

Salah seorang santri senior memberanikan diri menemui pak kiai. Ia mengajak beberapa santri termasuk para santri yang ikut mengejar Qoil hingga burung beo itu menemui ajalnya.
“Pak kiai, adakah yang pak kiai inginkan, adakah yang bisa kami lakukan untuk pak kiai?”
“Aku sedih nak, mengenang si Qoil.”
“Bukankah Qoil hanya makhluk pak kiai, ciptaan Alloh yang pasti mati. Apa yang membuat pak kiai sedih?”
“Aku terngiang-ngiang bagaimana kalian mengisahkan kematian si Qoil.”
“Apa yang menjadikan pak kiai terngiang-ngiang?”
“Sesungguhnya kita semua ini akan mati, dan yang kita inginkan khusnul khotimah bukan?”
“Betul pak kiai.”
“Si Qoil begitu fasih melafalkan kalimat-kalimat dzikir ketika hidup, namun bagaimana keadaannya ketika sakaratul maut? Kalian mengatakan bahwa dia hanya teriak ‘Kaakh, kaaakh, kaaaaakh!’ Tak ada jamina n bagi seseor    ang yang senantiasa fasih wiridan kelak akan meninggal dengan kalimat wiridnya. Makanya kita terus minta pada Alloh agar diberi kemudahan sakaratul maut dan diizinkan meninggal khusnul khotimah.”
Para santri hanya tertunduk mendengar keterangan dari kiai mereka.