Laman

Mushaf Al-Qur'an yang Tergadai

Pagi itu seorang ustadz berangkat menuju lokasi pengajian dengan bergegas. Kali itu lokasi pengajian lumayan jauh. Sesampai di lokasi pengajian panitia telah menyambut sang ustadz. Jamaah pengajian pun sudah siap.

Pengajian berlangsung hingga siang hari. Para jamaah nampak antusias. Pengajian berjalan cukup interaktif.

Usai pengajian panitia menjamu sang ustadz dengan makan siang. Seorang panitia menyerahkan sebuah amplop. Awalnya sang ustadz menolak namun akhirnya beliau menerimanya setelah dikatakan bahwa itu sudah dianggarkan dan menjadi amanah panitia untuk menyampaikan pada sang ustadz.

Sepulang dari lokasi pengajian sang ustadz baru ingat bahwa ia harus mampir di sebuah warung. Ia mampir di sebuah warung di pinggir jalan dimana pada pagi harinya ia membeli bensin eceran. Dalam perjalanan berangkat menuju lokasi pengajian tadi pagi ia mendapati indikator bensin motornya menunjukkan bahwa bensin hampir habis.

Pagi itu sang ustadz tidak membawa uang untuk membeli bensin. Ia harus berutang pada penjual bensin. Ia memberikan mushaf Al Quran miliknya sebagai jaminan. Dengan sedikit ragu penjual bensin menerima mushaf sang ustadz sebagai jaminan. Atas izin Alloh siang hari itu juga sang ustadz melunasi bensinnya.

"(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui."
(Al Baqarah: 273)

Di Mana Mushaf Ustadz?

Seperti biasa ustadz itu datang ke majlis pengajiannya dengan naik angkot. Ibu-ibu dan jamaah pengajian telah menunggunya memberikan ceramah. Usai ceramah panitia mengucapkan terima kasih pada sang ustadz. Ustadz itu tak pernah mau diberi upah atas ceramahnya.

Pekan setelahnya ada yang berbeda dari sang ustadz. Ustadz itu memang datang ke majlis pengajiannya naik angkot namun ia berjalan kaki saat pulang. Panitia merasa perlu untuk memberikan sekedar ongkos transport jika sang ustadz tidak mau menerima upah. Panitia menyusun sebuah rencana untuk pengajian pekan berikutnya.

Saat itu pengajian berjalan seperti biasa hingga sang ustadz undur diri karena ada hajat. Melihat mushaf sang ustadz tergeletak di atas meja dengan sigap salah seorang panitia segera menyelipkan uang transport untuk beliau.

"Semoga ustadz tidak marah."

Sang ustadz tak pernah marah. Hanya saja pekan-pekan berikutnya panitia tak pernah lagi mendapatkan kesempatan melihat mushaf sang ustadz terlepas dari penjagaan. Rupanya sejak saat itu sang ustadz selalu berusaha menyembunyikan mushafnya ketika mengisi pengajian. Para panitia pun kapok mencari-cari cara memberikan upah kepada sang ustadz.

"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Alloh, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: 'Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Quran).' Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh alam.
(AL-AN'AAM: 90)

Mushaf Wasiat untuk Sahabat

Sebuah mushaf Al Qur'an memang hanya lembaran-lembaran Al Qur'an biasa namun berbeda dengan mushaf yang dimiliki santri itu. Mushaf berukuran seperempat folio itu bertuliskan wasiat khusus pak Kiai untuk sang santri. Di halaman belakang mushaf itu ada tulisan tangan pak Kiai.

Saat acara perpisahan santri seasrama secara khusus sang santri meminta pak Kiai memberikan nasihat untuknya di mushaf kesayangannya. Pak kiai memilih halaman belakang mushaf yang ada ruang kosongnya untuk diberi tulisan untuk sang santri.

"Semoga kita terus dipersatukan Alloh dalam wihdatul 'aqidah, wihdatul fikroh, dan wihdatul manhaj."

Kurang lebih seperti itu wasiat pak Kiai untuk sang santri. Bagaimanapun orang yang membaca mengartikannya, kalimat itu dirasa begitu dalam oleh sang santri.

Begitu para prajurit dipertemukan oleh Alloh, mereka berjuang bersama, mereka merasakan susah senang bersama, mereka memilih cita-cita yang sama, tentu perasaan enggan berpisah akan menggelayuti hati-hati manusiawi para jundi. Tidak demikian dengan cara pak Kiai melepas para santri.

"Saya justru senang Antum semua sudah tidak akan di sini. Orang-orang baik harus menyebar. Tidak selayaknya orang-orang sholih hanya berkumpul di satu tempat. Bangunan itu kokoh bukan karena ditopang satu tiang besar tapi tiang-tiang yang menyebar menanggung beban bersama."

Kehidupan sang santri berlanjut di luar asrama pondok. Mushaf bertuliskan wasiat pak Kiai senantiasa menemani hari-hari santri itu di segala situasi. Ketika mengaji, "mengisi", dan di saat-saat sendiri santri itu berusaha untuk terus berinteraksi dengan mushaf Kalam Ilahi.

Pengembaraan sang santri sampai pada kesimpulan bahwa pada akhirnya semua dai harus kembali. Mereka harus kembali ke sya'bi, istilah untuk kampung pribumi. Ya, dai-dai hasil didikan kampus mau tak mau harus pulang kampung.

Sang santri pulang kampung. Ia menjauhi gemerlap publisitas kampus menuju ke alam sunyi. Sya'bi, di sana pergerakan dakwah berputar lebih lambat, sangat lambat. Terus bersabar, terus mengaji, berusaha memahami, insyaalloh itulah kunci. Menjadi dai artinya memperbaiki diri sendiri.

Sembari terus mengaji memperbaiki diri para santri saling mengintrospeksi. Di forum pekanan mereka ada seorang santri yang selalu jebol target tilawahnya. Berbagai macam alasan dari padatnya kegiatan hingga mushaf ketinggalan mewarnai pembelaan diri sang santri. Tak hanya sepekan dua pekan, mungkin ada dua bulan hingga malam itu sesuatu terjadi.

"Qur'an saya hilang..."

Saat santri itu berharap 'afwannya kembali diijabah oleh sang guru dan nampaknya sang guru telah geleng-geleng kepala, seorang santri memecah kebekuan dengan menyodorkan sebuah mushaf pada santri itu.

"Akh, ini buat Antum. Ini mushaf kesayangan saya. Di dalamnya ada tulisan ustadz saya, pesan beliau waktu kami perpisahan asrama. Dibaca ya."

Entah bagaimana kabar mushaf itu berikutnya, yang ada dalam harapan sang santri pemilik mushaf wasiat hanyalah semoga sahabatnya tidak lagi terhambat membaca Al Qur'an, semoga ada kebaikan datang dari Alloh dengan sebab Al Qur'an, dan yang paling penting semoga tidak ada kecintaan berlebih pada sebuah makhluk berupa mushaf Al Qur'an bertanda tangan.

Beberapa pekan sebelum sang santri memberikan mushaf Al Qur'an pada sahabatnya ia sering memikirkan apa itu cinta, bagaimana mencintai yang tidak melebihi cinta seseorang pada Alloh, kenapa puncak kebaikan itu memberikan apa-apa yang kita cintai untuk saudara atau menginfakkan di jalan Alloh, seperti apa cinta yang berlebihan, bagaimana menghapus penyakit cinta dunia, bagaimana mengolah cinta dan mengendalikannya, dan sebagainya. Santri itu menyimpulkan semua itu dengan sederhana, "Jangan terlalu lama memiliki sesuatu."

Terlepas benar atau salah kesimpulan sang santri, akhirnya ia memaksakan diri untuk tidak lagi memiliki mushaf wasiat pak Kiai. Ia memberikannya pada sahabatnya. Agar cintanya hanya untuk Alloh, agar cintanya tidak ternoda cinta pada sebentuk makhluk berupa mushaf, ia terus berupaya memurnikan cinta.

Kita terkenang bagaimana mudahnya Rosululloh memberikan pakaian yang disukai sahabatnya. Kita terngiang kaum Anshor menolong, memberi, membagi-bagi segalanya dengan kaum Muhajirin. Kita teringat bagaimana para sahabat Nabi di jalan Alloh menginfakkan harta mereka bahkan jiwa. Rasanya memang benar, kita ini masih terlalu cinta dunia.

Mengajarkan Rukun Islam pada Anak

Mengajarkan Rukun Islam pada Anak

Rukun Islam menjadi bagian dari pokok ajaran Islam yang pertama-tama harus diajarkan kepada Anak. Bagaimana cara mengajarkan rukun Islam pada Anak? Tentu kita perlu mengajarkan rukun Islam pada anak sesuai kemampuan mereka.

Kali ini mari kita bahas cara mengajarkan rukun Islam pada anak melalui media syair. Terlepas dari perbedaan pendapat boleh tidaknya lagu dijadikan media belajar, semoga lagu yang bermaksud mengajarkan rukun Islam pada anak ini menjadi salah satu sarana belajar anak.

Seorang anak barangkali belum bisa mencerna banyak dalil aqli maupun naqli sehingga cukup kenalkan pada mereka kalimat-kalimat kunci terkait rukun Islam. Rukun Islam yang lima bisa diajarkan pada anak melalui syair berikut:

Rukun Islam
(disenandungkan dengan nada "Balonku")

Rukun Islam yang lima
Syahadat, Sholat, Puasa,
Zakat untuk si Papa,
Haji bagi yang kuasa

Siapa belum Sholat?
DOR!!!
Siapa belum Zakat?
Kan rugi di akhirat
Nanti Alloh melaknat

Semoga syair untuk mengajarkan rukun Islam pada anak ini bermanfaat bagi Anda. Silakan like & share jika Anda menyukainya...