Laman

Ketika Manusia Berbuat Dosa

Dahulu nabi Adam beserta Siti Hawa hidup tenteram di surga. Segala kebutuhan bisa dihadirkan sekejap mata. Makanan dan minuman terhidang tanpa usaha. Buah-buahan tinggal ambil saja.

Setelah mereka berdua melanggar larangan-Nya, Alloh mengutus mereka ke dunia. Hukuman sekaligus amanah dipikulkan kepada penghulu manusia. Sejak saat itu kehidupan mereka menjadi berbeda.

Kenikmatan dan rizki tak lagi bisa dinikmati cuma-cuma. Karena berbuat dosa, mereka harus mencari, memetik, dan mengumpulkan makanan untuk kehidupan mereka. Tetumbuhan dan buah-buahan silih berganti tumbuh dan menghasilkan makanan untuk manusia.

Manusia kembali berbuat dosa. Buah-buahan yang dahulu mereka cukup memetik kini mereka harus menanamnya. Tak ada lagi tanaman yang bisa diambil manfaatnya begitu saja. Mereka harus lebih keras berusaha. Lahan yang sempit dipaksa menghasilkan bahan makanan sebanyak-banyaknya.

Tak berhenti manusia berbuat dosa. Mereka tak bisa lagi menanam buah-buahan untuk diambil manfaatnya. Kini mereka harus membelinya. Orang lain menanam lalu dijual dengan harga. Bahan makanan hanya bisa ditemui di tempat-tempat tertentu saja.

Tak kapok manusia berbuat dosa, kesusahan dunia tak membuat mereka jera. Akhirnya mereka tak bisa lagi membeli makanan mereka. Mereka harus berutang untuk membelinya. Ada yang harus mereka jual terlebih dahulu agar bisa makan. Harus meminjam kepada orang lain agar mereka bisa membeli makanan.

Memang benar manusia itu dzolim dan bodoh. Mereka seakan mengekalkan perbuatan dosa mereka. Kini mereka tak bisa lagi berutang untuk makan. Tak ada lagi yang bisa dijual atau digadaikan. Mereka harus gali lobang tutup lobang. Manusia berutang untuk bayar utang, juga mereka berutang untuk diutangkan. Akhirnya mereka saling makan dan dimakan.

Kelak suatu hari manusia tak akan bisa lagi gali lobang tutup lubang. Mereka tak bisa lagi makan makanan dan minuman. Dzikir dan doa satu-satunya makanan mereka. Saat hari itu tiba, mungkin itulah akhir kisah perjalanan hidup manusia. Manusialah makhluk ciptaan Alloh yang terus menerus berbuat dosa namun Alloh cinta untuk mengampuni mereka.

Manusia akan kembali menghadap Sang Pencipta untuk mempertanggungjawabkan amanah pertobatan mereka. Barangkali manusia pulang mengumpulkan banyak dosa namun mereka memiliki satu do’a yang diajarkan ayah dan bunda mereka. Mereka akan berdo’a sebagaimana manusia pertama dan kedua berdo’a,

“Robbanaa dzolamnaa anfusanaa wa inlam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minalkhoosiriin.”

Ya Alloh, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, sungguh kami akan menjadi bagian dari orang-orang yang merugi.

Semoga kita selalu sadar bahwa kehidupan kita ini hanyalah sebuah perjalanan untuk menebus dosa, bukan untuk menambah dosa.


Sleman, 29 Juni 2015
Akhid Nur Setiawan

Kenapa Halaman Masjid Agung di Jawa Ditanami Pohon Sawo?

Jika Anda mengunjungi dan mengamati masjid-masjid agung di pulau Jawa, Anda akan menemukan fenomena unik yaitu halaman masjid rata-rata ditanami pohon sawo. Tahukah Anda kenapa halaman masjid agung di Jawa ditanami pohon sawo? Atau Anda tak pernah mempertanyakan hal itu? Atau justru Anda baru tahu?

Orang Jawa selalu penuh filosofi. Segala sisi kehidupan masyarakat Jawa seakan tak pernah lepas dari makna dan "wewarah". Guru bahasa Jawa saya saat SMP selalu mengajarkan untuk bertanya. "Yen ora ngerti, kabeh kui, opo wae perlu ditakonke." Inilah jalan ilmu sebagaimana Alloh berfirman, "Fasalil ahladz dzikro in kuntum laa ta'lamuun." alias tanyalah ahlinya jika kalian tidak mengetahui.

Berkebalikan dengan stigma bahwa budaya Jawa penuh dengan mitos dan pembodohan, jika kita mau dan berani bertanya kepada ahlinya, niscaya kita akan menemukan sebentuk ketinggian peradaban manusia yang pernah ada. Kearifan budaya melekat dalam setiap sisi kehidupan orang Jawa. Orang Jawa tidak pernah sembarangan. Segala sesuatu ada tata cara dan paugerannya.

Dalam hal tata kota masyarakat Jawa khususnya raja atau sultan biasa menempatkan alun-alun sebagai poros kota. Keraton ada di sebelah selatan alun-alun, masjid di sebelah baratnya, pasar di sebelah utaranya, sedang sebelah timur lebih fleksibel, berupa pemukiman, tempat hiburan, atau sarana pelayanan publik. Memang tak semua seperti itu namun masjid dan lapangan hampir selalu bersanding.

Dalam sejarah Islam nabi Muhammad saw juga membangun tata kota dengan masjid dan lapangan berdampingan. Lapangan di depan masjid berfungsi sebagai pasar. Masjid dan pasar seakan menjadi elemen penting dalam sebuah peradaban. Masjid melambangkan kehidupan ukhrowi dan pasar melambangkan kehidupan duniawi. Keduanya tak boleh timpang.

Lebih dalam membahas masjid, kenapa halaman masjid agung di Jawa ditanami pohon sawo? Percaya atau tidak, itu karena kebiasaan ucapan para imam sebelum melaksanakan sholat jama'ah, "Shawwuu shufufakum! Shawwuu!"
Ucapan itu terdengar seperti sang imam meminta buah Sawo, "Sawoo!"
Ditanamilah halaman masjid agung Jawa dengan pohon sawo agar sebelum masuk masjid masyarakat sudah diingatkan untuk "Shawwuu" alias meluruskan dan merapatkan barisan sholat. Akhirnya jama'ah akan dengan sendirinya meluruskan shof tanpa diperintah.

Inilah Jawa, banyak hal bisa disederhanakan meskipun banyak yang memandang budaya Jawa itu rumit dan merepotkan. Banyak "sanepo" dan "condro" yang memaksa orang berpikir. Cara komunikasi semacam ini mengajak orang memandang makna yang lebih dalam, bukan semata apa yang dzohir. Orang Jawa berbicara tanpa kata, berperang tanpa senjata.

Allohu a'lam...