Laman

Perginya Bidadari


Sekian lama aku menunduk 
Menghindari bertemu pandang 
Kuberi balutan kencang agar hatiku tak kian meradang 
Iskemi mengancam, sesekali kulonggarkan 
Leherku pegal, kugerakkan kiri kanan 
Aku tak berani mendongak 
Aku tak mau dihantuinya kembali 
Aku sudah cukup tenang dg semua ini



Waktu berlalu... 
Kupikir aku sudah cukup kuat utk kembali belajar berjalan tegak, tak menunduk 
Nyatanya nyeri akut serentak menusuk jantung menembus paru 
Aaarrgh!!
Aku berpegangan namun terhuyung 
Nafasku tiba-tiba tersengal 
Kucoba teknik nafas dalam, kubayangkan hal terindah yg pernah kulalui dalam hidup 
Aaauuww!! 
Tengkukku kaku, kram, seketika menjalar ke pundak & deltoidku 
"Mati aku!" pikirku 

Jantung yg memompa darah kian cepat membuatku sangat lemas 
Aku pun pingsan...


Kubuka mata... 
Aku terbaring mengambang di lautan 
Kubiarkan tubuhku terbawa gelombang 
Kunikmati saja 

Di atas sana nampak segumpal awan 
Aku tahu itu awan di mana bidadari yg pernah membuatku "gila" suka mencuri pandang 
Bukan, akulah yg mencuri pandang 
Ah, tidak, entah siapa tapi dulu kami memang sering tak sengaja bertemu pandang


Aku merasa penglihatanku kabur, kata dokter Junaidi memang kedua mataku minus setengah & yg kiri astigmat arah jam sebelas 

Apakah separah ini? 
Kumemejam & mengucek dg tangan kanan 
Kembali kulihat awan tadi 
Klaaapp! 
Cahaya putih membutakanku 
Aku tak bisa merasa apapun 
Aku henti nafas! 
Henti jantung! 
Mediiikk!!!



Hah! Hah! Hah! Hah! 
Seperti terbangun dari mimpi buruk 
Kini aku berada di atas awan 
Putihnya ternoda oleh dadaku yg berdarah-darah hingga ke punggung 
Ingin rasanya kumelompat dari awan itu 
Karena kutahu awan itu adalah kediaman bidadari yg hampir membuatku lalai pd Robb-ku


Hmmmpph... 

Aku tak bisa bangun 
Tuhan, tolong aku! 
Bawa aku pergi dari sini! 
Lalu aku mencari tepian awan itu, berharap bisa terbang agar tak perlu bertemu bidadari 
Mustahil! 
Awan ini tak bertepi! 

Kutelusuri empat mata angin & aku menyerah


Kubersujud minta petunjuk-Nya 
Hingga kusadari bidadari telah pergi 
Tak peduli ke mana 
Awan, kini kau milikku! 

Hahaha! 
Aku tertawa...

Keluarga Muslim Cendekia Medika: Gak Ada Matinye...


“Kita tidak punya istilah ’mantan PH KaLAM’. Sampai kapanpun kita tetap PH KaLAM. Hanya saja penyebutannya adalah dengan ‘PH KaLAM tahun sekian’. Pak Faishol tetap PH KaLAM tapi PH KaLAM tahun 2004, Pak Eka juga tetap Mas’ul KaLAM tahun 2005, begitu seterusnya. Jadi tidak ada yang menjadi mantan atau berhenti dari jabatan PH KaLAM.”
(Arum Puspita Sari, Sekretaris Jenderal KaLAM 2005)

–maaf kalo kutipan tidak sama persis dengan pernyataan yang bersangkutan, tapi intine ngono lah... v^.^ -


Aku Masih di Sini untuk Setia


Mba Aruuummm... gimana kabar Dzaki??? \(^o^)/ 
Jadi kangen ditanya-tanyain sama Mba Arum... “Gimana Dek?” Hmm... mba Arum tu punya mata-mata apa ya, semua masalahku sepertinya diketahui sama PH yang satu ini, sampai masalah kuliah dan nilai-nilaiku yang pernah terpuruk, hehe... Punk! >.< Awass!!! 

Entah di Musyawarah Besar KaLAM tahun berapa setelah sekitar satu setengah tahun kami selesai mengurusi Ma’had KaLAM dan bahkan sudah dipertanggunjawabkan di hadapan “konstituen” mba Arum masih nagih disein sertifikat... Gubrakkk!!! 

“Ini mba, pas kebetulan takbawa koq, bawa flashdisk kan? Oya, diprint di kertas ijo ya...”


Benar, ini bukan sekedar organisasi, ini bukan sekedar program kerja, ini bukan sekedar kaderisasi, ini KaLAM, Keluarga Muslim Cendekia Medika. Singkatan yang aneh, memang... @_@ 
Jika kalian tak merasakah ukhuwahnya, jika kalian tak merasakan semangatnya, jika kalian tak merasakan perjuangannya, jika kalian tak merasakan nikmat ilmu-Nya, jika kalian tak merasakan “jayus”nya, salahkan PH! Haha! 

“Gimana kabar KaLAM Dek? Cuma ngurus KaLAM ya? He... Oiya, Akhid kan rumahnya di KaLAM...”



Janji Suci a.k.a. Bai’at

Masalah yang satu ini memang memunculkan pembahasan panjang. Pada dasarnya kita mengenal dua macam bai’at: bai’at pada Alloh dan bai’at pada pemimpin. Apakah dalam sebuah organisasi (keagamaan) diperlukan bai’at? Itu tidak akan kita jadikan perdebatan di sini.


Dalam surat Al-A’rof ayat 172 (hafalan Dauroh Marhalah I untuk angkatan 2004, Kalikuning, dauroh yang romantis karena diiringi hujan gerimis rintik-rintik, hehe...) kita mendapati fakta bahwa sesungguhnya sebelum kita terlahir ke dunia kita telah bersumpah setia dan bersaksi bahwa Alloh adalah Robb kita. Mau tidak mau kita telah bersumpah, dalam makna yang lebih luas kita telah menyatakan bahwa kita ridho jikalau Alloh sebagai Robb kita, ridho jikalau Islam sebagai dien kita, ridho jikalau Muhammad sebagai Rosul-Nya untuk kita...

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"... (Al-A’rof: 172)

Bai’at pada pemimpin belum bisa kita laksanakan karena saat ini kita belum mempunyai pemimpin umat dalam sebuah jama’ah yang satu. Sumpah setia untuk mendengar dan taat dalam keadaan susah maupun senang, selain maksiat... Ah, coba baca pejuangperadaban.blogspot.com saja dengan judul “Cara Syar’i Memilih Pemimpin Negara”.


Pada suatu kesempatan seorang guru ngaji menanyakan hal ini pada binaannya, “Sudah pernahkah antum mengikrarkan diri untuk berada di jalan dakwah ini? Kapan dan siapa yang menyaksikannya?” 

Rata-rata dari kita mungkin akan mengingat pertama kali menguatkan azam dan bertekad bahwa kita adalah bagian dari dakwah, kitalah rijaludda’wah, dalam keadaan berat maupun ringan kita akan memperjuangkan dakwah. Bahwa kita perlu berkontribusi demi tegaknya dien ini, demi tegaknya kalimatulloh, demi murninya tauhidulloh, telah kita yakini dan tentu saja senantiasa kita usahakan terlahir dalam kata, sikap dan perilaku. Ketika itu saya masih SMP... Waktu dilantik jadi pengurus rohis di SMA... Waktu dilantik jadi PH KaLAM... Apapun jawaban kita, saat ini kita sudah memikul amanah itu, kita telah sadar sepenuh jiwa bahwa semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Tak ada alasan lagi...



Allohu ghoyatunaa... 
Ar-Rosulu qudwatunaa... 
Al-Qur’anu dusturunaa... 
Al-jihaadu sabiilunaa... 
Al-mautu fii sabiilillahi asma amaaninaa...



Dinda, dimanakah kau berada?

Kaderisasi adalah sebuah keniscayaan dalam dakwah. Regenerasi adalah sebuah keharusan dalam lembaga dakwah kampus. Tidak selamanya mahasiswa berada di kampus untuk mengemban amanah dakwah. Selalu ada generasi baru yang perlu kita kembangkan potensinya, kita warnai coraknya, kita bina ruh, akal dan jasadnya hingga suatu saat masa kerja kita selesai, telah ada yang siap menggantikan. Begitu juga KaLAM, orang-orang datang dan pergi, pengurus dan staf silih berganti, dengan harap bahwa roda dakwah terus bergulir.


Semakin banyak merekrut maka semakin banyak kebaikan yang kita tanam. Jika KaLAM sebuah madrasah, semakin banyak lulusan yang akan dihasilkan. Logika mudah yang sering disampaikan dalam dauroh tentang urgensi dakwah kampus adalah sebagai berikut: mahasiswa dari berbagai daerah berkumpul di kampus, jika mereka dibina dan berhasil menjadi kader dakwah, mereka akan kembali ke kampung halaman dan menumbuhkan gerakan dakwah baru di sana. Sebuah pohon pisang akan menumbuhkan tunas-tunas baru, membentuk rumpun dan berbuah. Satu tunas dipindah, akan membentuk tunas dan rumpun baru, begitu seterusnya.

Setelah menyelesaikan amanah di KaLAM banyak kader dakwah yang melanjutkan kontribusinya di washilah dakwah lain. AAI, MER-C, BSMI, profetik, sya’bi, siyasi, dan entah apa lagi yang jelas masing-masing punya kecenderungan terhadap salah satu washilah sebagai bagian dari kerja besar dakwah. Bukan karena “nggak lucu” kalau seorang aktivis dakwah pensiun dini dari kegiatan dakwah tapi karena semua itu memang telah melekat dalam diri kita, “kita adalah da’i sebelum apapun”. Sungguh, kerja-kerja dakwah sangat banyak, jalannya begitu panjang berliku, pengusungnya sangat sedikit, rintangannya pun bejibun (iki jane boso ngendi to cah? Artine opo?) jadi sekali lagi tak ada alasan bagi lulusan KaLAM untuk bersantai karena merasa amanahnya sudah tuntas.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)


Semata mencari hujjah di hadapan Alloh, semata memperbaiki diri sendiri, semata menjaga agar diri kita tetap istiqomah di atas jalan hidayah, semata kita memikirkan ayat ini: 

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Al-Anfaal: 25)



Kan kujaga nyalamu selalu, rembulan di langit hatiku...

“Mas, ternyata amanah ki menjaga yo?” 
Awalnya pertanyaan di atas merupakan sebuah kalimat aneh... bukankah lebih bagus kalimat ini? “Amanah itu harus dijaga ya, Mas?” 

Tidak, coba perhatikan kenyataan bahwa pertanyaan pertama jauh lebih bagus dan mendalam. Setelah kita cerna dan renungi pertanyaan retoris dari seorang adik tersebut barulah kita akan bersimpul, “Memang benar adanya wahai Dinda (^_^)”. Ternyata amanah telah ikut membantu menjaga diri kita. Ketika kita menjadi aktivis dakwah dengan posisi “terpandang”, tak akan main-main kita bertingkah, tak akan seenak bibir kita berucap.


Kita ingat Imam Ahmad pernah disiksa dan dipaksa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Beratnya siksa tak menggoyahkan keyakinan bahwa Al-Qur’an bukan makhluk, tetaplah bahwa Al-Qur’an adalah firman Alloh. Apa yang dipikirkannya? Bukankah kita diperbolehkan mengatakan suatu kalimat kekafiran jika hal tersebut sangat terpaksa dan sebatas kita tidak meyakini apa yang kita ucapkan? Subhanalloh... hafidzohullohu wa rohimahulloh... Di luar sana ribuan orang bersiap menuliskan apa yang akan dikatakan Imam Ahmad dan itu tidak sebanding dengan siksa yang dirasakan. Karena itulah Imam Ahmad memilih tetap pada pendirianya. Allohu a’lam...

Ada kisah unik dari seorang kawan tentang “penyelamatan” Alloh terhadap beliau dengan memberikan amanah sebagai ketua rohis waktu SMA. Singkat saja, beliau hampir terkena fitnah berupa wanita (biasa kan anak SMA... :P) dan pada saat-saat terendah beliau justru Alloh menjadikan predikat ketua rohis melekat dalam diri beliau. Hasilnya, qodarulloh amanah itu menjaga beliau untuk tidak macam-macam. Kan ra mutu babar blas nek ketua rohis koq kena kasus sama akhowat? Hehe... Apa kata dunia..??? v^_^


Bagi yang mempunyai kelompok binaan (AAI misalnya) mungkin pernah merasakan teguran halus dari Alloh melalui adik-adik yang kita bina. Pertanyaan-pertanyaan lugu mereka, curhat mereka, materi yang harus kita sampaikan, pastilah kita ingat firman Alloh ini: 

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shoff: 2-3)


“In a great power, there’s a great responsibility” kata Peter Parker si Spiderman.

Kata Rosululloh, artinya, “Sesungguhnya Alloh meminta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin terhadap apa yang dipimpinnya, dia pelihara atau dia sia-siakan? Hingga dia pun ditanya tentang keluarganya. (H.R. Ibnu Hibban)

Sebenarnya hidup ini sendiri sudah merupakan suatu amanah, dengan derivat yang beraneka. Bayangkan jika kita tidak mempunyai amanah atau tanggungan... Godaan untuk berbuat seenak perut tentu lebih besar daripada ketika kita mengelola amanah yang banyak dan berat. Ada banyak hikmah dalam kata “amanah”. Pernah mendengar ungkapan (kalau tidak salah dari ustadz Rahmat Abdullah), “Alloh akan menguji kita di titik terlemah kita agar kita menjadi lebih kuat di sana”?

Ah, bagaimanapun juga kita tetap meminta pada Alloh agar tidak dibebani sesuatu melampaui kemampuan kita dan hal itu sebenarnya juga merupakan janji Alloh. Coba buka kembali ayat terakhir surat Al-Baqoroh...


Robithoh

Semoga tulisan ini bisa sebagai cambuk hati, penawar lelah pengemban dakwah, madrasah jiwa perindu surga (Lha koq judul buku kabeh Mas?). Ayo teriakkan, “Gue Never Die!!!” (Lhah! Judul buku lagi Mas?) atau “Saksikan bahwa aku seorang muslim! Di jalan dakwah aku menikah!” Hehe... baarokalloh buat akh Fajrin... maaf kaya’e waktu itu ga ada PH 2006 yang bisa datang pas walimah ya? Tapi do’a kita tetap maqbul insya’alloh... :P Bole lah kapan gitu kita dikumpulin, makan-makan (walimah spesial :D kan kita punya proker Kajian Spesial?? –Opo hubungane Mas??- Hehe...)


Saudaraku, dimanapun antum semua berada, aktivitas apapun yang antum lakukan saat ini, tetaplah berada di jalan Alloh, tetaplah istiqomah di jalan dakwah. Semoga Alloh meridhoi semua langkah kita...

Maaf kalau selama ini ana punya banyak khilaf...

Yassarollohu lanaa alkhoiro ainamaa kunna... 
Semoga Alloh memudahkan kebaikan bagi kita dimanapun kita berada...


Yaa muqollibal quluub, tsabbit quluubanaa ‘alaa diinik, ‘alaa tho’atik...

“Ya Alloh sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam taat pada-Mu, telah bersatu dalam da’wah pada-Mu, telah berjanji setia untuk membela syari’at-Mu. Kokohkanlah, Ya Alloh, ikatan pertaliannya. Kekalkanlah cintanya. Tunjukilah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati ini dengan nur cahaya-Mu yang tidak pernah pudar. Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal kepada-Mu. Hidupkanlah dengan ma’rifat pada-Mu dan matikanlah dalam syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Ya Alloh... Aamin... sampaikanlah kesejahteraan ya Alloh, pada junjungan kami Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabatnya, limpahkanlah kepada mereka keselamatan...”

Ana uhibbukum fillah, billah, lillah...

Bagaimana Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak?


Oleh:
Ustadz Didik Purwodarsono
(Da’i populer, pemerhati keluarga sakinah & pembina yayasan Pelita Umat Yogyakarta)
Suraji Munawir
(Dosen & Kepala sekolah Play Group & RA Kreatif Al Baraakah)


I. Berawal Dari Do’a
Setiap manusia yang normal pasti menyadari sebagai makhluk ALLOH yang paling sempurna. Salah satu wujud kesempurnaannya adalah cita-cita atau idealisme. Namun pada tahapan tertentu dalam prosesnya, sekitar 20 tahun, biasanya muncul pesimisme, tidak semua yang diharapkan akan terealisasi. Maka muncullah pemikiran atau bergumam “anak-anak saya harus punya nilai lebih daripada saya”. Bagi seorang muslim tentunya tidak asing tentang bimbingan Islam dalam bercita-cita tentang anak. Di samping ketika kita mati harus menggoalkan tiga hal diantaranya, “anak sholeh yang bisa mendoakannya” kita juga mengenal doa-doa tentang anak: Q.S. 25:74, Q.S. 37:100, Q.S. 46:15. Doa adalah harapan, permohonan, obsesi dan impian. Untuk merealisasikannya itu harus ada ikhtiar yang maksimal.



II. Carikan Calon Bapak Dan Ibunya
Ibarat orang yang ingin sukses dalam berkebun agar mendapatkan hasil yang memuaskan tentunya tidak boleh meremehkan kualitas benih yang akan disemaikan. Secara teoritis kita sulit mengharapkan tanaman yang berkualitas sementara benih yang kita semaikan adalah benih yang sembarangan. Apalagi berharap memiliki anak yang berkualitas tentunya siapa yang akan menjadi calon bapak dan calon ibunya harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Ketika kita akan menikah, di samping mempertimbangkan apakah seorang ibu layak menjadi pasangan bagi saya sekaligus kita harus mulai mempertimbangkan apakah seseorang itu juga cocok menjadi calon bapak atau calon ibu bagi calon anak-anak saya nanti. Q.S. 2:221, Q.S. 24:26, dll.



III. Siapkan Keluarga Sakinah
Benih tanaman yang berkualitas untuk menjadi tanaman berkualitas haruslah disemaikan di lahan yang kondusif. Lahan yang kondusif itu adalah keluarga sakinah, mawaddah, rahmah, dan barokah (SAMARABA). Yaitu suatu keluarga yang ditegakkan sebagai suatu organisasi yang solid. Organisasi yang solid dibentuk untuk mencapai tujuan bersama dengan cara kerja sama bukan sama-sama kerja. Apapun peran laki-laki dan perempuan di sektor publik, di rumah tetap memiliki kedudukan yang tidak boleh diotak-atik, laki-laki sebagai suami dan bapak, wanita sebagai istri dan ibu dengan segala hak dan kewajibannya masing-masing. 

Keluarga yang ideal menurut Al-Qur’an adalah keluarga Nabi Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim As dalam Q.S. 66:21-40, Q.S. 60:4-6, Q.S. 25:74. Bukan keluarga Fir’aun Q.S. 66:11 apalagi keluarganya Abu Lahab Q.S. 111:1-5. Atau mencontoh perilaku burung merpati, bukan ayam, puyuh, apalagi itik.



IV. Disyukuri Kehadirannya
Terlepas dari pertimbangan ekonomi, politik dan budaya yang bisa berubah-ubah, pada dasarnya anak adalah anugrah, ni’mat bahkan dalam do’a berhubungan suami-istri anak diistilahkan dengan “rizki”. Kenikmatan itu pada dasarnya adalah hal yang positif tetapi dalam kenyataannya bisa positif bisa negatif tergantung bagaimana kita menyikapinya (Q.S. 14:7) termasuk anak. Bersyukur adalah menyikapi kenikmatan secara positif dan kufur adalah menyikapi kenikmatan dengan negatif. Apabila kita syukuri dengan benar sesuai dengan tuntunan yang memberi nikmat (Islam), bukan mengikuti tradisi atau budaya barat. Insya’alloh anak kita akan tumbuh kembang sebagaimana kita harapkan (Q.S. 25:74) dan tidak akan menjadi fitnah (Q.S. 64:15) musuh (Q.S. 64:15) atau sekedar perhiasan dunia semata (Q.S. 3:14, Q.S. 18:4). Di antara tuntunan syari’at menyambut kehadiran anak adalah dengan Aqiqah pada hari ke-7nya.



V. Fahami Sifat Dasarnya
Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, yaitu memiliki potensi insaniyah yang masing-masing diproses (pertumbunhan dan perkembangan) sebagai makhluk yang paling sempurna (Q.S. 17:70), paling tidak manusia memiliki lima dasar kecerdasan. RQ (Reflective Quotient= naluri), LQ (Libido Quotient= syahwat), IQ (Intelligence Quotient= nalar), EQ (Emotional Quotient= rasa), dan SQ (Spiritual Quotient= rohani). 
Meskipun setiap anak dianugerahi lima potensi tadi namun setiap anak adalah pribadi yang unik. Oleh karena itu setiap anak memiliki bakat yang nanti akan bermanfaat dalam hidupnya (Q.S. 17:84). Oleh karena itu orang tua harus mengenal betul dimensi mana yang paling menonjol di antara lima dimensi di atas. Anak jangan dipaksa untuk tumbuh kembang menyimpang dari kelebihan yang sudah dibawa sejak lahir. Namun anak juga jangan dibiarkan berkembang di atas kemenonjolannya tanpa diimbangi oleh dimensi yang lainnya. Keseimbangan itu lebih bermanfaat daripada kemenonjolan.



VI. Pentingnya Nama Yang Baik
Sebagai pribadi yang unik, maka sudah menjadi kebiasaan setiap anak setelah kelahirannya pasti diberi nama. Rasululloh SAW dalam hal itu bersabda “...Fa ahsinyy asmaakum= karena itu pilihlah nama yang baik bagi kalian” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud). Bahkan beliau sering mengganti nama orang apabila nama aslinya dianggap jelek. Pemberian nama yang baik, yang kita barengkan dengan Aqiqah paling tidak di dalam nama itu mengandung tiga hal yaitu: 1. Nama sebagai identitas, merk atau brand sebagai panggilan yang baik. 2. Nama sebagai assesori, perhiasan, mahkota yang dengannya anak merasa percaya diri, bangga, minimal tidak malu atau minder. 3. Nama sebagai doa atau harapan yang memiliki makna sesuai dengan potensi yang dibawa. Setelah diberi nama yang baik pada saatnya anak harus dijelaskan tentang apa makna nama yang dimilikinya agar memiliki dorongan untuk memiliki kepribadian sesuai dengan namanya.



VII. Butuh Tiga Ibu Dan Cukup Satu Bapak
Ketika Rasululloh SAW ditanya tentang siapa yang harus dimuliakan oleh anak, beliau menjawab “Ibumu” tiga kali dan “Bapakmu” sekali. Hal ini bisa dipahami bahwa seorang ibu memiliki tiga hak dan bapak satu hak. Karena dalam proses tumbuh kembang anak, ibulah sosok yang paling dominan. Ibu yang sempurna seharusnya berjuang maksimal untuk bisa berperan sebagai ibu kandung, ibu susu, dan ibu guru. Idealnya anak berhak nyaman dan aman dalam kandungan 9 bulan 10 hari , mendapat ASI dua tahun penuh dan mendapat pendidikan dasar tiga tahun pertama dalam hidupnya. Sedangkan bapak yang satu bertanggung jawab menciptakan sistem yang kondusif yang memungkinkan istrinya bisa secara optimal menjalankan tiga peran keibuan tersebut (Q.S. 2:223, Q.S. 46:15, dll).



VIII. Kenalkan Masa Depan Yang Sempurna
Perbedaan orang yang kafir dan yang beriman di antaranya adalah konsep tentang “masa depan”. Masa depan orang kafir sekedar sebelum mati sedangkan masa depan mu’min meliputi sebelum dan sesudah mati (Q.S. 2:200-201). Masa depan sebelum mati sifatnya mungkin sedangkan masa depan sesudah mati sifatnya pasti. Masa depan sesudah matu harus diseriusi sedangkan masa depan sebelum mati jangan dilupakan (Q.S. 28:77). Siapa yang sungguh-sungguh mencari akhirat akan mendapat kemungkinan duniawi namun siapa yang hanya sibuk mencari dunia jangankan mendapat kepastian masuk surga, bagian di duniapun belum tentu mendapatkannya. Bisa jadi mati mendadak atau hidup menderita komplikasi.



IX. Bekali Ilmu Yang Memadai
Pada dasarnya setiap anak dilahirkan tanpa memiliki ilmu (Q.S. 16:78) dan setiap manusia harus hidup berdasarkan ilmu (Q.S. 17:36). Maka kewajiban orang tua di samping memenuhi kebutuhan pertumbuhan maka harus dipenuhi pula kebutuhan perkembangannya. Paling tidak setiap anak berhak untuk dibekali dengan tiga disiplin ilmu yaitu ilmu syar’i atau agama untuk menghidupkan hatinya, ilmu profesi untuk menghidupkan otaknya, dan ilmu beladiri untuk menghidupkan ototnya. Setiap anak berhak untuk diantar menjadi takwa, cerdas, dan terampil sehingga mampu menghadapi tiga masalah hidup yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia yaitu: moralitas, relativitas, dan kriminalitas. Oleh karena itu idealnya anak kita berhak untuk dididik menjadi Ulil Albab yaitu sosok pribadi yang memiliki kemampuan sebagai ahli dzikir, ahli fikir, dan ahli ikhtiar (Q.S. 3:190-191). Siap untuk menjadi aktivis masjid, sekolah, dan lapangan. Terpadunya aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik. Untuk itu kita bgersyukur sudah banyak lembaga-lembaga pendidikan islam terpadu yang siap membantu kita, tinggal kita saja yang harus banyak duitnya sebab pendidikan ini belum mendapat perhatian dari pemerintah. Mungkin dibutuhkan kemampuan kita untuk berjuang di dalam politik pendidikan.



X. Diringankan Beban Eksternalnya
Anak-anak kita yang lahir dengan fitrahnya seharusnya dibantu oleh kekuatan-kekuatan eksternal sehingga tumbuh kembang menjadi manusia yang ideal. Namun kenyataannya anak kita justru dibingungkan oleh enam kekuatan eksternal yuang kontradiktif atau belum memiliki kesamaan orientasi. Keenam kekuatan itu adalah rumah, sekolah, dakwah, media, dan kebijakan politik. Agar anak-anak kita menjadi ringan bebannya seharusnya kita berusaha membantunya yaitu dengan membangun kerja sama yang baik antara rumah, sekolah, dan dakwah untuk memiliki sikap yang sama terhadap pengaruh media, pergaulan, dan kebijakan politik yang tidak terkendali (Q.S. 5:2).



XI. Ajari Hidup Dari Realitas Dan Kendalikan Fasilitas
Hidup adalah perjuangan, setiap manusia diciptakan untuk menghadapi kesulitan sekaligus diberi naluri untuk menemukan kemudahan. Antara kesulitan dan kemudahan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan (Q.S. 94:5-6). Oleh karena itu agar anak kita bisa mudah menghadapi kesulitan-kesulitan hidup mereka harus kita ajari hidup realistis. Setiap yang dia dapatkan hendaknya sebagai hasil dari ikhtiarnya. Kita perlu menghidupkan lagi pepatahyang mengajarkan berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Ajari mereka menjadi perintis bukan menjadi pewaris, ajari mereka sebagai pengais bukan sebagai pengemis, ajari mereka sebagai pelopor bukan sebagai pengekor, ajari mereka sebagai penggerak bukan sebagai penggertak, ajari mereka sebagai pemain bukan sebagai mainan. Jangan mentang-mentang kita sukses secara ekonomi dan mampu memanjakan mereka lantas kita perlakukan mereka sebagai ayanm sayur yang besar dari fasilitas bukan dari realitas, sehingga mereka menjadi sosok yang steril tetapi tidak imun, ada kesulitan sedikit seakan-akan dunia sudah kiamat. Mungkin kita perlu mengambil ibrah dari bagaimana ayam kampung mengantar anak-anak mereka untuk menjadi penakluk yang tahan banting.



XII. Ajari Mereka Memahami Tahapan Kedhidupan (Manajemen Umur)
Hidup sebagai proses haruslah dilewati tahap demi tahap (Q.S. 84:19). Bila sudah menyelesaikan suatu tahapan cepat bersiap untuk memasuki tahapan berikutnya (Q.S. 94:7-8). Secara sederhana tahapan itu bisa dikaitkan dengan ukuran umur. Umur anusia sekarang memiliki harapan hidup antara 60-70 tahun. Paling tidak agar anak kita dapat melewati tahapan-tahapan yang benar kita beri pengarahan melewati tahapan hidup per 20 tahunan. Tahapan pertama usia 0-20 tahun titik tekannya adalah untuk penguasaan teori-teori kehidupan atau mencari ilmu yang meliputi ilmu syar’i, profesi, dan beladiri (Q.S. 16:78, Q.S. 17:36). Tahapan kedua usia 20-40 titik tekannya untuk menguasai materi sebagai citra dunia atau perhiasan dunia sehingga usia 40 sudah memiliki status al amin atau yang dapat dipercaya di masyarakatnya (Q.S. 3:14). Tahapan yang ketiga usia 40-60 titik tekannya pada penguasaan nilai-nilai kehidupan agar hidup terhormat, mulia, bahagia, dan berwibawa (Q.S. 46:15-16). Tahapan yang keempat usia 60 sampai akhir hayat, titik tekannya untuk persiapan masa transisi belajar meninggalkan dunia bersiap ke akhirat dengan berusaha memiliki prasasti dan presasti (Q.S. 36:12) paling tidak ketika mati memiliki peninggalan berupa shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan (H.R. Muslim)



XIII. Kenalkan Pendidikan Seks Sejak Dini
Meskipun laki-laki dan perempuan secara substansi sama (Q.S. 49:13) namun harus diakui secara eksistensial mereka jelas berbeda (Q.S. 3:36) paling tidak yang mudah kita kenal perbedaan itu meliputi perbedaan biologis, psikologis, dan anggapan sosiologis. Oleh karena itu kita harus mendidik anak laki-laki untuk menjadi laku-laki dan mendidik anak perempuan untuk menjadi perempuan. Sekarang ada kecenderungan banyak anak laki-laki tidak mengenal kelelakiannya dan banyak anak perempuan yang tidak mengenal keperempuanannya. Banya laki-laki yang kewanita-wanitaan dan banyak wanita kelelaki-lakian. Seharusnya laki-laki dan wanita diciptakan untuk menjadi pasangan, sering berperan menjadi saingan. Pergaulan laki-laki dan perempuan yang seharusnya saling melengkapi kenyataannya justru saling mengalahkan.



XIV. Ajari Menyikapi Situasi Trilematis
Anak kita hidup dalam sebuah realitas di simpang tiga nilai atau peradaban. Secara geografis mereka lahir di masyarakat timur yang masih tradisional, primitif, dan mistis. Secara historis mereka hidup di abad 21 puncak peradaban barat, modern yang menjadi pengarah arus globalisasi. Mau tidak mau mereka ikut budaya materialistic, hedonistic, individualistic, dan permisif. Sedangkan secara teologis anak-anak kita beragama Islam yang harus memiliki gaya hidup khas sesuai tuntunan alQur’an dan AsSunnah. Dalam kondisi semacam itu anak kita sering menghadapi kebingungan nilai-nilai mana yang harus diikuti. Oleh karena itu setiap orang tua dituntut untuk memeberikan pengarahan agar nilai-nilai islami diletakkan di atas nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai sekuler (Q.S. Alfatihah)



XV. Bekali Dengan Tiga Prinsip Hidup Muslim
Agar mereka menjadi orang yang sukses dunia akhirat bekalilah dengan tiga prinsip hidup muslim untuk meraih kemuliaan dan kemenangan yaitu iman, hijrah, dan jihad atau keyakinan, perubahan, perjuangan atau cinta, proses, dan pengorbanan (Q.S. 9:20, Q.S. 2:218)


(Disalin dari buletin Media Learning Family edisi perdana Play Group & RA Kreatif Al Baraakah, www.albaraakahcreative.com)

Ada Cahaya di Sana

Harapan itu masih ada, gelap bukan berarti karena tak ada cahaya tapi karena ada sesuatu yang menghalangi cahaya itu...

Saat kumelihat arah timur seusai shubuh, pagi yang dahsyat penuh energi. subhanalloh...

Jembatan baru teknik UGM, arah barat, pada suatu senja...

Foto dari adek waktu plesir ke Bali...

Istikhoroh

“Do’a istikhoroh ini kalian semua harus hafal karena ini penting. Suatu saat kalian pasti membutuhkan do’a ini. Banyak pilihan dalam hidup yang perlu istikhoroh. Pilihan-pilihan besar dan menentukan, misalnya apa? Selain kalau mau nikah memilih calon pasangan hidup? Nanti kalian akan memilih jurusan kuliah. Apa lagi? Memilih pekerjaan, memilih tempat tinggal atau rumah. Semua itu memerlukan istikhoroh. Tidak hanya dihafal tapi artinya juga harus difahami.”

Kira-kira seperti itu pesan guru agama kami waktu SMA. Pak Hamid Supriyatna memaksa kami menghafal do’a istikhoroh yang ternyata tidak terlalu dipaksakan untuk dihafal di kelas lain. Akhirnya satu per satu siswa kelas kami dites untuk melafalkannya tanpa teks alias hafalan. Benarlah nasihat beliau, banyak hal yang pada waktunya kudo’ai dengan do’a ini, bahkan ketika memilih jawaban ujian multiple choice, hehe...


Landasan syar’i disunnahkannya istikhoroh dalam memutuskan pilihan-pilihan dalam hidupdiriwayatkan oleh Bukhori dari Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhu. Adapun teks Arabnya silakan cari di buku-buku do’a, berikut ini hanya artinya: 

Jabir bin Abdillah rodhiyallohu 'anhu berkata: Adalah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengajari kami sholat istikhoroh untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana mengajari surah Al-Qur'an. Beliau bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah melakukan sholat sunnah dua roka'at selain sholat fardhu, kemudian bacalah do'a ini: 'Ya Alloh, sesungguhnya aku minta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu pengetahuan-Mu dan aku mohon takdir-Mu dengan kemahakuasaan-Mu, aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau berkuasa, sedang aku tidak berkuasa. Dan Engkau mengetahui sedang aku tidak mengetahui. Dan Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang ghoib. Ya Alloh, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaklah menyebut persoalannya) baik untukku, dalam agamaku dan penghidupanku dan akibatnya terhadap urusanku -atau Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: di dunia atau akhirat (terdapat keraguan perawi hadits), maka takdirkanlah untukku dan permudahlah bagiku lalu berkahilah bagiku di dalamnya. Dan apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, dalam agamaku dan penghidupanku dan akibatnya terhadap urusanku, maka jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah aku darinya dan takdirkanlah untukku kebaikan bagaimanapun keadaannya lalu buatlah aku ridho dengannya.'" (H.R. Bukhori 7/162)



Apakah harus mimpi?

Tidak ada satu keterangan pun yang menjelaskan bahwa hasil dari shalat istikharah berupa sebuah mimpi. Sejumlah ulama di antaranya Imam An-Nawawi menyatakan bahwa pilihan akan diberikan kepada orang yang melaksanakan shalat tersebut adalah dengan dibukakan hatinya untuk menerima atau melakukan suatu hal. 

Tetapi pendapat ini ditentang oleh sejumlah ulama di antaranya Al-'Iz ibn Abdis-Salam, Al-'Iraqi dan Ibnu Hajar. Bahwasanya orang yang telah melaksanakan shalat istikharah hendaklah melaksanakan apa yang telah diazamkannya, baik hatinya menjadi terbuka maupun tidak tidak. 

Ibnu Az-Zamlakani berkata bahwa bila seseorang melaksanakan shalat istikharah dua rakaat karena sesuatu hal, maka hendaklah ia mengerjakan apa yang memungkinkan baginya, baik hatinya menjadi terbuka untuk melakukannya atau tidak. Karena sesungguhnya kebaikan ada pada apa yang dia lakukan meskipun hatinya tidak menjadi terbuka. Beliau berpendapat demikian karena dalam hadits Jabir tidak dijelaskan adanya hal tersebut. Untuk lebih jelasnya masalah ini silahkan rujuk kitabThabaqat Asy-Syafi'iyah oleh Ibnu As-Subki pada jilid 9 halaman 206. 

Sedangkan hadis Anas bin Malik yang dijadikan landasanoleh Imam An-Nawawi didhaifkan oleh sejumlah ulama, sebagaimana disebutkan di dalam kitab penjelasan shahih Bukhari, yaitu kitab Fathul Bari jilid 11 halaman 187. (Ahmad Sarwat, eramuslim.com)



Sudah istikhoroh koq masih bingung...

Jika sudah istikhoroh, yang perlu didengarkan bukanlah suara-suara di luar sana tapi suara di dalam “sini”! (ini pendapat saya)


Sebenarnya ada dua hal penting ketika kita dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit dan sangat berarti dalam hidup. Kita bisa menentukan pilihan terbaik dengan ISTISYAROH dan ISTIKHOROH.

Istisyaroh memungkinkan kita mengetahui kebaikan-kebaikan serta berbagai keburukan suatu opsi dengan memusyawarahkannya, mendengar pendapat sana-sini diramu dengan pendapat kita pribadi. Pada tahap ini bisa saja muncul kecenderungan terhadap salah satu pilihan atau bahkan sama sekali masih juga ragu.

Selanjutnya kita perlu istikhoroh. Inilah saat kita benar-benar minta dipilihkan oleh ALLOH. Apakah hati harus benar-benar netral terhadap pilihan-pilihan yang ada? Tidak juga! Silakan cenderung jika memang kita sudah memberatkan pada salah satu pilihan yang mungkin muncul setelah musyawarah. Yang terpenting adalah ketulusan dan keikhlasan hati dalam meminta petunjuk pada Alloh. Adapun pintu musyawaroh terhadap manusia bisa dikatakan sudah tertutup sejak kita mengakhirkan pilihan kita pada Alloh. Jika ada pendapat-pendapat lagi dari manusia, hakikatnya itu adalah petunjuk Alloh tapi yang jelas setelah istikhoroh kita hanya perlu berdialog dengan Alloh, dengarlah suara yang masuk melalui hati, mantapkan hati.

Satu hal yang cukup penting direnungi bahwa jika kita melakukan istikhoroh, pilihan kita sesungguhnya tidak terlalu berpengaruh terhadap takdir Alloh tentang pilihan kita. Bisa jadi pilihan kita memang sudah sesuai dengan apa yang di mata Alloh terbaik untuk kita, agama kita, penghidupan kita, akibat dari urusan-urusan kita, serta akhirat kita tapi bisa jadi pilihan kita belum sesuai dengan berbagai kebaikan tersebut. Inilah peranan istikhoroh! Seakan tidak pernah ada pilihan salah karena pilihan manapun yang kita ambil, ALLOH pasti menunjukkan yang terbaik.

Kesungguhan kita minta dipilihkan oleh ALLOH akan menentukan jalan bagi mudahnya kita menemui takdir terbaik. Pilihan kita bisa jadi dipersulit sehingga akhirnya kita dengan mudah menemui pilihan yang pada awalnya tidak kita pilih. Allohu a’lam...

Kesimpulannya, ISTISYAROH (bermusyawarohlah) lalu ISTIKHOROH (menyerahkan/ mengakhirkan pilihan kita pada ALLOH) lalu MEMILIH, BERAZAM dan TAWAKKAL. Sabarlah jika ternyata yang ditakdirkan ALLOH tidak sesuai keinginan kita karena ALLOH jauh lebih mengetahui yang terbaik daripada kita.


Firman Alloh: 
“...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqoroh: 216)


Apapun takdir yang akhirnya kita temui dalam pilihan kita, sesungguhnya ilmu pengetahuan Alloh itu mutlak, qodar dan kehendak Alloh itu mutlak, keadilan Alloh itu mutlak, dan hikmah Alloh itu mutlak.

Renungi kembali makna doa istikhoroh, sungguh doa yang dahsyat! Inilah ISLAM!

Allohu a’lam... Baarokallohu fiik...

Kami Bukan Teroris

By I.R.A.

“The only solution for the murtadin alyahuud, the only solution for them is the face, the swords, is the murder”


Kami bukan teroris 
Kami hanya aktivis 
Kami cinta perdamaian 
Berpedoman pada Al-Qur’an



Islam bukan teroris 
Jangan sampai apatis 
Islam rahmat s’luruh alam 
Yang menegakkan kebenaran



Kami bukan teroris 
Seperti kaum Zionis 
Kedzoliman penindasan 
Bertentangan dalam Islam



Islam bukan teroris 
Semua rekayasa yang sadis 
Fitnah juga penghinaan 
Untuk menjatuhkan Islam



Jihad! Jihad fii sabiilillah! 
Jihad! Jihad fii sabiilillah! 
Jihad! Jihad fii sabiilillah! 
Jihad! Jihad fii sabiilillah!



Pengorbanan dalam jihad 
Bukti satu kebenaran 

Jihad! Jihad fii sabiilillah! 
Jihad! Jihad fii sabiilillah!



Bersatulah umat islam 
Untuk menghadapi kaum kuffar 

Jihad! Jihad fii sabiilillah! 
Jihad! Jihad fii sabiilillah!



Laa ilaaha illalloh 
Laa ilaaha illalloh 
Laa ilaaha illalloh 
Laa ilaaha illalloh


Laa ilaaha illalloh 
Muhammadarrosululloh


Laa ilaaha illalloh 
Jihad fi sabilillah

Pesantren; Padepokan Para Pendekar


"Kalian semua adalah calon muslimah, calon istri untuk suami kalian tercinta, dan calon ibu untuk anak-anak yang kalian sayangi. Surga menurut janji Alloh, ada di bawah telapak kaki kita, perempuan. Tapi jangan lupa satu hal bahwa Alloh juga memberikan manusia kebebasan. Mau jadi apapun kalian nanti, pilihlah jalan Alloh dengan rasa bebas dan dengan hati yang ikhlas. Dengan begitu insya’alloh kita akan hidup dengan tenang dan tanpa rasa benci."
(Annisa-Perempuan Berkalung Sorban)



Apa yang dimaksud dengan pesantren?

Pesantren berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan pe- dan akhiran –an sehingga menjadi kata pesantrian atau lebih mudah kita ucapkan sebagai pesantren yang maknanya kurang lebih tempat para santri. Santri merupakan orang yang dengan khusus menuntut ilmu agama pada seorang atau beberapa orang guru/ ustadz di suatu tempat dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya kita menyebut pesantren dengan pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan salah satu sarana pendidikan non formal yang sudah ada sejak berpuluh bahkan mungkin beratus tahun yang lalu dan sampai saat ini keberadaannya masih diakui pemerintah sebagai pendukung tujuan negara “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Secara khusus pesantren disebut oleh para calon presiden ketika kampanye atau debat di televisi sebagai sisi yang juga perlu dibina di samping pendidikan formal, kejar paket serta kursus.



Macam-macam pesantren

Pesantren sangat beraneka macam namun pada dasarnya terbagi menjadi tiga:

  1. Pesantren tradisional. Pesantren yang semua metode pembelajaran dan kitab yang dipelajarinya merupakan kitab-kitab lawas (kitab kuning). Banyak yang menamakan diri sebagai pesantren salafiyyah namun perlu dikaji lagi makna-makna di balik kata salafiyyah ini. Stigma yang muncul adalah pesantren salaf kurang bisa menerima pendapat baru atau hal-hal yang berbau modernisasi ala barat. Bahasa yang digunakan untuk pembahasan kitab biasanya bahasa Arab.
  2. Pesantren moderen. Pesantren yang pengelolaan dan kitab yang dipelajari tak semata karangan ulama terdahulu tapi juga ulama masa kini. Bahasa pengantarnya bahasa Indonesia bahkan Arab dan Inggris.
  3. Pesantren tradisional-moderen. Pesantren yang merupakan campuran antara tradisional dan moderen. Kitab-kitab yang dikaji bisa jadi kitab lama tapi pengelolaan dan pengembangannya dimanajemen secara moderen dan mngikuti perkembangan zaman.
Biasanya masing-masing pesantren mempunyai ciri khas baik dari segi ilmu yang didalami sebagai spesialisasi, santri yang tinggal, maupun output santri yang dihasilkan. Misalnya pesantren khusus penghafal al-qur’an, pesantren du’afa’, pesantren wirausaha, pesantren pemimpin muda, pesantren pencetak da’i, pesantren anak, pesantren mahasiswa, pesantren ilmu alat (cara baca kitab gundul), dan sebagainya. Meskipun memiliki kekhususan, tiap pesantren tetaplah mengajarkan ilmu-ilmu dasar dan utama dalam agama seperti aqidah, akhlaq, fiqh, baca tulis al-qur’an, bahasa arab, dan lain-lain.


Konsep pesantren

Dijelaskan oleh salah satu ustadz dalam OP3NU (Orientasi dan Pengenalan Pondok Pesantren Nurul Ummah) yang sempat saya ikuti pada pertengahan tahun 2004 bahwa pondok pesantren minimal mempunyai lima elemen. Kelima elemen tersebut di antaranya:

  1. Kiyai/ pengasuh 
    Kiyai mempunyai peranan yang sangat besar dalam sebuah pesantren. Layaknya guru besar dalam sebuah padepokan silat, kiyai menjadi pemimpin, sumber ilmu utama, tauladan, orang tua, sekaligus penanggung jawab atas segala yang ada dalam pesantren. Kiyai menjadi seorang yang paling disegani oleh santri dan seluruh warga pesantren. Bagaimanapun juga, kiyai bukanlah orang suci yang perlu dikultuskan sehingga semestinya tak ada istilah “sabdo pandito ratu” (apapun yang dikatakan kiyai adalah kebenaran yang harus diikuti). Tantangan yang sangat besar pada pesantren tradisional adalah dekatnya santri dengan kebiasaan taqlid atau mengikut tanpa dasar. Memang antara taqlid dan tsiqoh/ percaya mempunyai kesamaan yang sebenarnya berbeda. Ketinggian ilmu kiyai akan sangat menggoda santri atau pengikutnya membenarkan segala yang dikatakan sang kiyai. Hal tersebut tentunya tidak salah mengingat kita dianjurkan mengilmui sebelum berkata-kata dan berbuat, pada kenyataannya kiyai memang ilmunya jauh lebih mumpuni dari santri. Yang perlu dilakukan kiyai adalah mengajarkan apapun pada santrinya disertai penjelasan atau alasan yang mendasarinya.
  2. Santri/ Siswa 
    Tentu saja tidak dinamakan pesantren jika tidak ada santri, hehe... Bagian terbesar dari sebuah pesantren adalah santri. Santri lah yang digembleng dan dididik dalam sebuah pesantren. Biasanya santri berasal dari kota yang justru jauh dari lokasi pesantren misal pesantren di Jogja, santri berasal dari Lampung, Jawa Barat, Magelang, Jawa Timur, dan sebagainya. Pluralitas santri dari berbagai daerah inilah yang menjadikan pesantren sebagai tempat pendidikan yang benar-benar unik dan kompleks. Banyak hal yang bisa dipelajari santri selain dari para ustadz. Ada pesantren yang hanya menerima santri putra namun ada juga yang hanya menerima santri putri atau keduanya. Tentunya kompleks santri putra dan putri selalu terpisah.
  3. Masjid 
    Rosululloh Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam membangun peradaban kota Madinah dari sebuah masjid. Inilah yang semestinya kita ikuti, menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Konon Universitas Al-Azar di mesir berawal dari masjid yang meluas dilengkapi perpustakaan dan seterusnya menjadi tempat pengkajian ilmu sampai akhirnya menjadi universitas besar seperti sekarang ini. Contoh masjid di Jogja yang mulai meluas kegiatannya menjadi pusat pendidikan adalah masjid Syuhada’ Kotabaru. Masjid memang selayaknya menjadi elemen penting dalam sebuah pesantren. Di masjid didirikan sholat jama’ah lima waktu, proses pembelajaran, sosialisasi antarwarga pesantren, sampai fungsinya sebagai mercusuar dan sarana syi’ar pesantren. Bagaimana mungkin sebuah pesantren tidak memiliki masjid atau jama’ah di masjidnya sepi, tentu akan menjadi sebuah ironi. Makmurnya masjid bisa jadi salah satu indikator keshalihan masyarakat di sekitarnya.
  4. Pondokan/ asrama 
    Salah satu elemen penting pesantren adalah adanya pondokan atau asrama bagi para santri. Asrama memungkinkan kontrol lingkungan dalam rangka membentuk karakter santri. Tidak semua santri wajib mondok, ada istilah santri kalong untuk mereka yang karena kondisi tidak bisa tinggal di pondok. Santri kalong ini biasanya ikut ngaji hanya pada waktu-waktu tertentu. Kebanyakan dari mereka mengikuti kegiatan pesantren khusus malam hari seusai rutinitas harian. Inilah salah satu alasan mereka disebut santri kalong karena pergi ke pesantren waktu malam hari seperti kalong/ kelelawar yang mencari makanan di malam hari. Pondok putra dan putri selalu dipisah agar tidak terjadi hal-hal yang dilarang. Hal ini tidak sekedar masalah fiqh dan adab tapi banyak hikmah yang ada di balik pemisahan asrama putra dan putri ini.
  5. Sistem pembelajaran/ madrasah 
    Semua sarana pendidikan pasti mempunyai tujuan atau output yang ingin dicapai. Bagaimana tujuan akan dicapai akan diterjemahkan dalam sebuah kurikulum. Kompetensi apa saja yang wajib bagi lulusan, kompetensi tambahan, ingin dikreasi seperti apa para santri yang mondok di pesantren, seluruhnya dituangkan dalam sistem pembelajaran. Tanpa sistem pembelajaran dan indikator yang jelas tentu capaian santri akan susah diukur/ dicapai. Sistem pembelajaran pesantren disebut madrasah diniyyah. Selain itu ada sistem kultur yang peranannya dalam mendidik santri juga tak bisa dikesampingkan. Yang jelas masing-masing pesantren punya sistem dan aturan main sendiri dalam tujuannya mendidik para santri.

Aliran dana pesantren

Sebuah pesantren tidak akan berjalan tanpa ada pendanaan baik untuk kegiatan, operasional, maupun pembangunan dan pengembangan. Rata-rata pesantren didanai secara swadaya. Dana swadaya tersebut bisa berasal dari sang kiyai, sumbangan, bantuan, usaha pesantren, koperasi pesantren, donatur, dan berbagai sumber dana halal lainnya. Tidak menutup kemungkinan pesantren didanai oleh pemerintah melalui Departemen Agama. Juga bisa saja pesantren mendapat dana dari luar negeri khususnya dari bangsa timur temah. Kerjasama beasiswa bisa juga dilakukan sebuah pesantren dengan universitas timur tengah atau dalam negeri sendiri. Yang terpenting dalam dana ini adalah kehalalan dana dan barokah yang diharapkan dari segala dana tersebut. Sebenarnya kita akan selalu heran dengan cara Alloh membagi-bagikan rizki, pesantren seakan tidak pernah kehabisan dana dalam tumbuh kembangnya. Kalau ada pesantren yang gulung tikar, mungkin perlu dipertanyakan landasan pendiriannya, niat pendirinya, dan sebagainya. Allohu a’lam...



Kegiatan rutin tahunan

Tiap pesantren pasti mempunyai kegiatan tahunan baik penerimaan santri baru, pelepasan santri yang sudah lulus, akhir tahunan, khataman, maupun kegiatan yang bertujuan untuk melakukan syi’ar kepada masyarakat sekitar. Pesantren akan mengundang kiyai dari pesantren lain untuk mengisi pengajian akbar atau santri pesantren lain untuk mengisi acara. Sholawat diiringi rebana menjadi hiburan khas acara pesantren.


Kegiatan tahunan ini merupakan ajang berkumpulnya santri alumni untuk silaturahim dan mengenang masa-masa prihatin jadi seorang santri. Santri pesantren lain pun akan datang dengan truk atau bis sehingga suasana benar-benar ramai. Bagi masyarakat sekitar kegiatan ini bisa menambah penghasilan dengan membuka kios karena pesantren dan jalan-jalan di sekitar kontan tak ubahnya pasar malam yang begitu ramai dipadati manusia. Decak kagum dan subhanalloh akan keluar dari mulut kita ketika melihat “dipajangnya” pada hufadz di panggung acara, motivator dahsyat untuk santri lain dan pengunjung yang datang.


Keunikan pesantren

Banyak hal yang kita temukan di pesantren dan tak akan kita temukan di tempat lain. Sarung, baju koko, dan kopyah; pakaian khas pesantren yang menjadi simbol umat muslim Indonesia. Guyup; satu kata yang menggambarkan betapa senasip sepenanggungannya para santri. Hal ini akan nampak ketika ada “jajan” atau makanan, jumlah tak akan jadi masalah, semua santri biasanya tetap mendapat bagian. Nampak juga rasa guyup itu dalam kebiasaan berbagi makan di nampan lebar dengan sekian banyak santri mengelilinginya. Seorang santri yang baru saja mudik seakan wajib membawa oleh-oleh dan memang itulah adabnya, “Jajane ndi Kang?” 

Santri baru akan diplonco atau digojlok oleh teman sekamar atau sekomplek dengan cara unik pula meskipun pesantren secara formal sudah mengadakan masa orientasi. Mulai dari didiamkan, disuruh-suruh, dimarah-marahi, diminta bawa jajan, yang jelas untuk menguji mental “cah anyar”. Setelah berlalu setahun dan ada santri baru, predikat “cah anyar” baru akan pudar dan seterusnya.


Ah, rasanya terlalu banyak keunikan yang ada di pesantren tapi tidak ada di tempat lain. Kurang dari setahun pengalaman saya di Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede telah menanamkan sejuta kesan. Silakan tulis juga pengalaman Anda terkait pesantren di kolom komentar.


Santri, petinju dan pendekar

Analogi ini saya dapatkan dari ustadz pengelola asrama Pondok Pesantren Mahasiswa Islamic Centre Al-Muhtadin Seturan ketika beliau menyampaikan masalah dakwah kampus. Pak Apri mengumpamakan aktivitas dakwah dengan aktivitas seorang petinju. Seorang petinju tentunya mempunyai sasana tempatnya berlatih dan lawan-lawan yang perlu dikalahkannya agar akhirnya mendapatkan gelar juara. Pesantren layaknya sasana dan mad’u beserta masalah-masalah dakwah sebagai lawan tanding. Di sasana petinju selalu mempunyai pelatih, sangsak dan ring juga sarana latihan lain untuk meningkatkan kemampuan. Dalam pertandingan petinju selalu mempunyai lawan dengan berbagai jurus dan karakter.


Ketekunan berlatih seorang petinju di sasana dikombinasikan dengan pengalaman bertandingnya akan menjadi faktor tercapainya gelar juara. Sebagai santri hendaknya tidak terkurung di pesantren bagai katak dalam tempurung tapi juga banyak bertanding alias berdakwah menyebarkan ilmu dan mengaplikasikannya di masyarakat. Jika hal tersebut tidak dilakukan, bukan tidak mungkin santri hanya akan sholih secara pribadi tapi tidak sholih secara sosial sehingga ketika keluar dari pesantren santri akan kolaps menghadapi tantangan dakwah yang tidak senyaman di pesantren.

Rata-rata pesantren mempunyai sarana “latih tanding” untuk menambah pengalaman santri sebagai da’i di masyarakat. Entah namanya apa, pada intinya santri diajarkan untuk menerapkan ilmunya di masyarakat. Ada yang mempunyai desa binaan, sekolah binaan, atau program lain di luar pesantren. Pesantren biasanya menjadi “jujugan” ketika masyarakat membutuhkan penceramah, sebuah “pertandingan” juga tentunya.

Pendekar akan mengembara membasmi kejahatan serta menegakkan kebenaran dan keadilan setelah berhasil menguasai seluruh ilmu dari gurunya. Ini berlaku bagi santri ketika sudah lulus dari pesantren. Santri yang sudah lulus ada yang langsung pulang kampung dan ada yang mengajar di pesantren tempatnya menuntut ilmu. Seorang santri haruslah memanfaatkan ilmunya, mengajarkannya, serta menggunakannya untuk kemaslahatan umat.


Lulusan pesantren

Zaman dulu umumnya lulusan pesantren akan mendirikan pesantren juga tapi entah sekarang karena pesantren sudah banyak. Setidaknya seorang lulusan pesantren akan menjadi pelita di daerah asalnya masing-masing. Satu lagi analogi yang saya dapat dari obrolan santri Nurul Ummah, “Sampeyan neng kene ki bagaikan lampu lima watt di antara lampu berpuluh-puluh watt jadi gak kelihatan terang. Di tempat lain, lampu lima watt kelihatan sangat terang dan berguna.” Nyantri itu seperti pergi dari kegelapan menuju cahaya, menyalakannya dalam diri lalu membawa pulang kembali ke tempat gelap sehingga kegelapan itu sirna.


Lulusan pesantren mempunyai ikatan batin yang kuat dengan pesantren jadi silaturahim akan tetap dijaga dengan berkunjung setahun sekali atau ketika ada acara pesantren besar-besaran. Pak Kiyai atau Bu Nyai akan selalu menanyakan keadaan alumni santri ketika berkunjung kembali, biasanya terkait keluarga, karir dan penerapan ilmu. Tak jarang pula lulusan komplek putra berjodoh dengan lulusan komplek putri, nostalgia akan semakin seru... :D


Permasalahan pesantren masa kini

Seiring dengan perubahan zaman pesantren pun mengalami perubahan dan menghadapi berbagai permasalahan yang belum pernah ada sebelumnya. Perempuan Berkalung Sorban menjadi gambaran stigma terhadap pesantren yang berhasil difilmkan. Pesantren digambarkan kolot dan anti teknologi, bahkan membaca buku non agamis dilarang sampai akhirnya Annisa mendirikan perpustakaan di pondok pesantren tersebut. Ada benarnya tapi rasanya tidak se-ekstrim itu...


Sengaja saya jadikan kutipan kata-kata Annisa tokoh utama film Perempuan Berkalung Sorban sebagai pembuka tulisan ini karena saya ingin menyampaikan kepada para pembaca bahwa hakikatnya pesantren bukanlah tempat mengurung anak-anak nakal agar “sembuh” dan menjadi baik. Pesantren bukan tempat memasung ide dan kreatifitas. Pesantren bukan tempat menutup diri dan mengisolasi pergaulan. Pesantren menjadi pilihan dan justru kebebasan akan kita temukan di pesantren, kebebasan dari segala keburukan dunia menuju lingkungan yang baik. Pembebasan diri dari segala thoghut dunia dan berusaha menempatkan dunia pada tempatnya untuk mendapatkan akhirat.

Pondok Pesantren Ngruki yang diasuh oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir menjadi salah satu contoh bagaimana pesantren dianggap sarang teroris. Tak ada kaitan sama sekali pesantren dengan terorisme. Bab terorisme tak ada dalam kurikulum pesantren. Adapun jihad memang sebuah kewajiban dalam islam tapi jihad sama sekali berbeda dengan terorisme. Keburukan yang dilakukan seorang alumni tidak bisa langsung dihubungkan dengan pesantren. Tidak semua lulusan pesantren baik, sekali lagi hidayah adalah kepunyaan dan hak Alloh. Ada santri yang lulus lalu merasa bebas dari penjara pesantren sehingga kembali “mbambung” tapi jauh lebih banyak yang tetap istiqomah. Logika media dan intelijen kadang memang menyakitkan bagi mereka yang benar-benar berada di lapangan dan mengetahui apa yang sebenarnya.

Salah satu pesantren di Jawa Timur belakangan juga menjadi berita di televisi karena puluhan santrinya diduga terserang flu burung. Personal hiegyne dan kebiasaan-kebiasaan tidak care pada kesehatan memang sering menjadi masalah sebuah pesantren. Hal ini perlu ditindaklanjuti dan diadakan kerjasama atarinstansi agar berbagai macam penyakit tidak timbul di pesantren-pesantren lain. Terkadang sakit menjadi sarana tarbiyah juga, bagaimana santri satu sama lain saling ngrumat. Penyakit psikologis, psikosomatis, dan sebagainya sebenarnya boleh jadi hanya karena adaptasi lingkungan karena jauh dari keluarga, harus berbagi dan lain-lain.

Mungkin masih banyak permasalahan pesantren yang belum bisa disebutkan di sini dan masing-masing pesantren tentu punya cara tersendiri untuk mengatasi masalah. Kebijakan pemerintah dan kerjasama masyarakat pastinya sangat membantu perbaikan pesantren di masa kini dan yang akan datang.


Pesantren masa depan

Mungkin kita pernah mendengar pesantren virtual atau pesantren online. Hal tersebut merupakan pengembangan pesantren yang telah ada. Karena keterbatasan waktu dan tempat, muncul inovasi bahwa nyantri tidak perlu mondok atau tinggal di asrama dan tidak perlu bertemu dengan ustadz secara langsung. Apa ini tidak bertentangan dengan kebiasaan dan membuat sesuatu yang baru? Menuntut ilmu yang dicontohkan oleh para sahabat, perowi hadits dan para tabi’in memang bertemu langsung dengan sumber ilmu, menghadapi kitab dan sang guru menjelaskan isi kitab atau mendengar penuturan langsung dari perowi ilmu. Saat ini sepertinya hal tersebut semakin jarang dilakukan oleh para penuntut ilmu yang memiliki kesibukan tinggi dalam kehidupan sehari-harinya.


Alhamdulillah sekarang sudah ada teknologi yang bisa banyak membantu dan mempermudah kita menuntut ilmu alias nyantri. Tentunya pahala payah tidak ada lagi ketika semuanya kian mudah. Kita bisa mengaji dengan sekedar ketik REG (spasi) NGAJI, putar potensio radio, pencet remot televisi, mengetik alamat website, baca buku ini itu dan sebagainya. Sarana yang kian mudah ini semoga tidak mengurangi nilai mujahadah para penuntut ilmu (santri). Bukan tidak mungkin semua orang adalah santri dan masyarakat kita menjadi sebuah komunitas santri, kota kita menjadi kota santri.


Jogja Kota Santri 2020

Ini adalah mimpi dari seorang Akhid Nur Setiawan Abu Kholid bin Jamal Assulaimani karena kerinduannya pada suasana pesantren dan kota santri yang digambarkan dalam sebuah lagu yang sangat terkenal.


“Suasana di kota santri asyik senangkan hati. Tiap pagi dan sore hari muda-mudi berbusana rapi menyandang kitab suci hilir mudik silih berganti pulang pergi mengaji.” (Kota Santri)

“Suasana pengajian petang seperempat malam pertama, riuh rendah suara hafalan atau cemeti hukuman. Hening hanya decahan kala epik dipaparkan, liku-liku perjuangan para pahlawan Islam yang gagah perkasa di medan perjuangan yang tak takut mati untuk meraih kemuliaan Islam.” (Kenangan Bersama Ayah)

Kriteria Jogja sebagai kota santri bukan hanya semakin maraknya didirikan pondok pesantren dan kajian di Jogja namun juga kepribadian masyarakat Jogja yang kembali ramah, santun, berpakaian dan berakhlak islami, gemar menuntut ilmu, mengaji alqur’an, berdakwah dan saling menasihati di segala tempat, serta segala kriteria negeri madani lainnya.

Semoga “Jogja Kota Santri 2020” bukan hanya angan. Mari berperan serta dengan menebarkan segala kebaikan di lingkungan sekitar kita. Serulah orang lain sembari memperbaiki diri. Jadilah da’i sebelum apapun.


Penutup

Semoga tulisan ini bisa menambah khasanah ilmu pengetahuan kita tentang PESANTREN dan memacu kita untuk mewujudkan pribadi santri di manapun kita berada.


Silakan bergabung di grup “Jogja Kota Santri 2020” melalui link berikut ini: http://www.facebook.com/group.php?gid=139301800863 . Ajak semua teman untuk menjadi bagian dari perubahan peradaban ke arah yang lebih baik.

Jangan lupa kunjungi juga http://pejuangperadaban.blogspot.com.

Tulisan ini tidak mewakili pemikiran fikroh atau organisasi tertentu, ini murni pendapat dan penemuan saya pribadi.

Biru Langit

Beberapa hasil jepretan dengan kamera MPIX 5.0 mega pixel

Pandanglah langit biru nan luas, maka hati akan terasa luas... Hehe... Ho'o pho mas?

Meranggas... bukan berarti mati...

Jadilah seperti pohon pisang... Ia selalu meninggalkan tunas-tunas kebaikan, dan begitu seterusnya, ia akan senantiasa menumbuhkan tunas baru, sekalipun berpindah-pindah tempat hidup...

Tanaman jagung memberi pelajaran pada kita bahwa hidup hanya sebentar, berilah kemanfaatan pada orang lain... :D

Gunung merapi... segagah apapun ia... akan hancur pada masanya karena kuasa Sang Pencipta... Subhanalloh...

Janur kuning... rasanya semua orang bisa mendeskripsikan ini... ^_^

Ai Shiteru


Nostalgia ah...


Apa itu Ai Shiteru?
Ai Shiteru berasal dari kosa kata bahasa Jepang yang kurang lebih artinya "aku cinta kamu". Antara tahun 2002 sampai 2005 Ai Shiteru terkenal sebagai nama sebuah komunitas yang mendalami bidang seni musik. Yah, Ai Shiteru adalah nama grup band yang terdiri dari siswa-siswa SMA 3 Yogyakarta generasi kedua kelas Akselerasi (SENSATION= Second Aks Generation). Awalnya Ai Shiteru beranggotakan lima orang yaitu Vina pada vokal, Arseto pada gitar melodi, Radit pada gitar ritem, Akhid pada gitar bas dan Toro pada drum, selanjutnya menjadi enam orang dengan masuknya Nico pada keyboard.


Personil
  1. Vina
  2. Arseto
  3. Radit
  4. Akhid
  5. Toro
  6. Nico

Lagu terkenal Ai Shiteru
Berikut ini dua lagu yang pernah menjadi single hits Ai Shiteru:



Kau Terindah
by Ai Shiteru


Lelah sudah hatiku menunggu 
Telah kutiti lamanya waktu 
Percuma slama ini kupercaya padamu


Pergi saja kau dari hatiku 
Ku tak kan lagi mengharapkanmu 
Walau slama ini kau yang terindah di hatiku


Reff
Tak akan pernah kulupa kau terindah dalam mimpiku
Kucoba untuk menapakkan kakiku di atas duri tajam


Lelah sudah hatiku menunggu 
Dan telah habis kesabaranku 
Tak akan lagi kusia-siakan waktuku


Reff
Tak akan pernah kulupa kau terindah dalam mimpiku
Kucoba untuk menapakkan kakiku di atas duri tajam
Walau sebagian hatiku tertinggal padamu, abadi dalam kenangmu
Kini ku kan coba tuk jalani hidupku, tinggalkan masa lalu


Lagu di atas direkam pada tahun 2004 di Chorus Music Studio. Syair dan lagu disusun oleh Toro, sepertinya sih menceritakan kisah cintanya yang kandas tak dianggap. Toro sering menyebut wanita itu "SH" alias Sweet Heart. Ha3x, miss u bro...



Pangeranku
by Ai Shiteru


Denting waktu coba pisahkan diriku dan dirimu 
Mengancamku kan bawa kau pergi dari diriku


Setiap hela nafasku cemas akan cintamu 
Jangan pernah kau tinggalkanku


Reff
Kaulah sang pangeranku
Bangunkanku dari tidurku
Selamatkanku dari abadiku


Bawa ku terbang melayang
Di balik sayap yang kekal
Biarku damai mencintamu


Mencintamu oh kasihku 
Seperti hati yang hembuskan nafasku, hanya semu 
Tapi ku rela slalu merindumu


Lagu "Pangeranku" disusun oleh Radit sedangkan syairnya dirangkai oleh Vina. Ini adalah lagu perpisahan, direkam sebelum personil Ai Shiteru benar-benar menjalani kehidupan di tempat yang berbeda-beda, Vina di Teknik Industri UGM, Arseto di Teknik Elektro UGM, Radit di Teknik Mesin ITB, Akhid di Ilmu Keperawatan UGM, Toro di Teknik Fisika ITS, dan Nico di Kedokteran UNS. Akhir tahun 2005 ketika mendekati Idul-Adha Ai Shiteru latihan di sebuah studio musik lalu hari berikutnya langsung rekaman karena sebenarnya lagu ini sudah lama dibuat.

Ternyata rekaman lagu ini menghabiskan waktu yang lebih lama dari rekaman lagu pertama, selain lagunya lebih panjang, ada instrumen tambahan yaitu keyboard, juga kendala personil yang sudah satu tahun tidak latihan bareng, satu hal lagi, irama bas pada reffrain lagu juga diubah sehingga total rekaman sampai editing dan mixing hampir enam jam (22.00 WIB-04.00 WIB). Sejak rekaman terakhir pada tahun 2005 Ai Shiteru tidak pernah latihan bersama, mungkin satu atau dua kali dengan personil yang seadanya waktu libur kuliah.


Base Camp
Samirono, rumah Arseto menjadi base camp Ai Shiteru ketika itu (Hah! hampir lupa kalau gitaris "dabuk" ini lebih terkenal dengan Bejo alias Bejah -kalian perlu melihat gitaris ini ketika beraksi, tak se-silent tampang jeniusnya, kami sering menyebutnya "dabuk" karena sungguh dahsyat luar biasa ketika Bejah sedang memainkan gitarnya, dabuk adalah plesetan dari kata "mabuk", yah, mabuk melodi-). Sampai sekarang tempat itulah yang menjadi rujukan ketika Ai Shiteru mengadakan reuni, akustikan maupun sekedar makan-makan dan saling berkisah tentang kehidupan.



Manajer
Oya, ada dua orang manajer yang hobi ikut latihan Ai Shiteru yaitu Askha dan Achuel. Mereka berdua sering diminta membawa, memegangi Walkman untuk merekam latihan kami di atas pita kaset. Iya, kami merekamnya lalu biasanya kami mendengarkannya bersama-sama di base camp untuk dikomentari, terutama untuk dtertawakan. Pernah suatu masa di mana kami mengganti Walkman dengan alat perekam yang lebih dahsyat. Percayakah? Atau tidak? Kami membawa Tape Simba sebesar guling ke studio musik untuk mendapatkan hasil rekaman yang lebih bagus. Tape Simba kepunyaan Radit itu biasanya membuat beberapa personil sengaja datang telat tidak bersamaan dengan si pembawa tape karena malu, ha3x! Datang telat ini adalah ide Vina si vokalis dengan suara timah panas -lebih berharga dari suara emas karena dengan timah panas bisa merampok toko emas =P-.



Studio musik
Studio musik yang biasa kami gunakan untuk latihan: Alamanda, Chorus, Spider, atau Kana.



Prestasi
Pengalaman paling mendebarkan adalah ketika mengikuti LKCL (Lomba Karya Cipta Lagu) di SMA 3 Yogyakarta, sekolah kami sendiri.



The Story
Tulis di komen bro... OK?!