Laman

Jangan Menyerah Bunda

Jangan Menyerah Bunda

Oleh Akhid Nur Setiawan


Suatu saat seorang ibu benar-benar merasa telah habis segala upayanya demi memperbagus sikap dan perilaku putranya. Mungkin lebih tepatnya ibu itu merasa deadlock atau terkunci mati, menghadapi jalan buntu untuk memperbaiki atau membalik keadaan sang putra. Betapa sulitnya ananda mendengarkan nasihat orang tuanya, betapa menjengkelkannya tingkah laku kesehariannya, betapa susah diaturnya ia oleh guru-gurunya.


Datanglah ibu itu ke salah satu ustadz. "Bacakan ia Al Qur'an," pesan sang ustadz.

"Saya tidak bisa membaca Al Quran, Ustadz," jawab ibu itu.

"Bacakan apa saja yang ibu bisa dari Al Quran," kata ustadz itu.


Dengan seluruh harap pada Yang Maha Membolak-balik hati, dengan segenap cinta pada sang buah hati, suatu siang sang ibu menunggu ananda di depan pintu. Saat ananda pulang sekolah, ibunda bukakan pintu rumah. Seketika, disambut dan dipeluknya ananda erat-erat. Dibisikkannya Al Fatihah, Ayat Kursi, dan surat-surat pendek apa saja yang dihafalnya. Setelah itu ananda diciuminya, ditumpahkannya semua kasih sayang yang dicurahkan Allah untuk seorang ibu pada anaknya.


Maasyaaallah, laa quwwata illaa billaah. Atas izin dan kehendak Allah, hari demi hari ananda mulai berubah. Tiba-tiba hatinya seperti melunak usai dibisiki ayat-ayat Al Quran oleh ibunda. Tak henti doa ibunda bagai air yang terus membasuh batu cadas. Semakin lembut ia, semakin halus ia, semakin terasahlah kepribadiannya.


Jangan menyerah Bunda. Ia milik-Nya. Sentuh hatinya dengan ayat-ayat-Nya. Sampaikan pada putra-putrimu walau satu ayat yang dibisa, apa yang telah Allah titipkan padamu. Insyaallah satu ayat itu akan menerangi setiap sudut ruang hatinya, membebaskannya dari gulita.


Dengan kuasa Allah, satu ayat itu akan bekerja menggemburkan hati mereka, insyaallah. Hati mereka akan kian subur, siap menerima benih-benih kebaikan, siap menumbuhkan dan memelihara kebaikan, bahkan menyebarkan kebaikan, insyaallah.


-----***-----

Ikuti Webinar Parenting!

GRATIS

"Agar Anak Sukarela Terbiasa dan Bahagia Melakukan Kebaikan"

Ahad 12 Desember 2021

Pukul 09.00-11.00 WIB

Daftarkan diri Anda melalui

www.kreasilila.com/webinar

bit.ly/webinarngaglik

wa.me/6281904403388

Jangan Jadikan Mereka Tabulampot

Jangan Jadikan Mereka Tabulampot

Oleh Akhid Nur Setiawan


Jika kita melihat kegigihan keluarga para ulama menjalani kehidupan mereka hingga lahir permata-permata di zamannya, selain memuji atas kebesaran Allah tentu kita menjadi bertanya apakah keluarga kita juga bisa seperti mereka. Saat melihat potret sebuah keluarga yang hampir semuanya hafal Al Quran dan memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing, muncul keraguan untuk meneladani mereka setelah melihat kenyataan bahwa sampai sekarang kita belum memulai apa-apa. Apakah bisa keluarga kita meniru apa yang ada pada keluarga mereka?


Rasanya terlalu melangit mengharapkan ayam bertelur emas padahal katanya buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Wajar saja, pantas saja, tidak mengherankan, dan kalimat-kalimat lain mungkin akan muncul saat menanggapi kondisi orang tua mereka yang sudah tidak harus memulai dari awal dalam mengasuh anak. Sedangkan kita? Raihan yang terlalu tinggi kadang justru memicu kita mematahkan galah karena ia terlalu berat untuk ditegakkan. Sebenarnya bukan targetnya yang terlalu tinggi, hanya otot lengan kita yang belum kuat mengimbangi.


Kita memang bukan Maryam yang suci sehingga tak mungkin anak kita lahir langsung bisa berkata-kata. Kita memang juga bukan Aminah yang selama kehamilannya ditemani ruh para nabi sehingga anak kita dibersihkan isi dadanya oleh malaikat meskipun tidak langsung kita bersamai masa kecilnya. Kita bukan ulama, kiai, atau ustadz, bahkan santri pun bukan. Apa yang bisa kita perbuat?


Salah satu jebakan kepengasuhan ialah orang tua menginginkan hasil yang dahsyat dalam waktu yang cepat. Jadilah para orang tua kelabakan menyetarakan diri dengan orang tua dari orang-orang hebat itu. Kesenjangan "modal" yang jauh antara kita dengan mereka membuat kita ingin melahap semua teori dan tips kepengasuhan. Semua contoh dari mereka ingin segera kita praktikkan.


Inilah godaan hawa nafsu yang bisa membuat kita salah jalan. Jika nafsu yang diperturutkan, kedamaian tak akan kita rasakan sekalipun anak-anak kita kaya akan capaian. Jalan dunia yang fana kita sangka jalan Tuhan. Berpayah-payah dalam lelah tanpa arah akhirnya bisa menjerumuskan kita dalam kalimat "Sudahlah, menyerah sajalah!"


Anak-anak yang pengasuhannya terlalu dipaksakan ibarat tabulampot, ia indah dan mengagumkan tapi akan segera mati saat asupan nutrisi mereka dihentikan. Yang kita harapkan pastinya anak-anak kita tumbuh bagai pohon yang akarnya menghujam ke dalam bumi, dahannya menjulang ke langit, memberikan keteduhan, dan menghadirkan buah yang manis untuk dimakan. Ia bisa bertahan di musim panas maupun musim hujan. Ia tak akan roboh oleh angin kencang. Ia tetap bertahan sekalipun sudah tidak mendapatkan perawatan. Hingga saatnya tiba, ia akan melahirkan pohon-pohon baru yang telah menyesuaikan diri dengan kondisi lahan.


"Warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa," begitulah penggalan doa kita untuk kedua orang tua. Ya Allah, kasihilah keduanya sebagaimana mereka mentarbiyah kami sewaktu kami kecil. Salah satu makna tarbiyah ialah menumbuhkembangkan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai kesempurnaan. Yang dilakukan para orang tua pada prinsipnya sama, dengan perlahan menyiapkan anak-anak untuk bisa menanggung beban kehidupan.


Proses tarbiyah setahap demi setahap membutuhkan waktu dan tidak bisa instan. Benar, pupuk-pupuk tambahan bisa membantu mempercepat tanaman menemukan jalan keseimbangan tapi bisa juga membuat kecanduan bahkan berujung kematian. Orang tualah yang paling tahu dosis pupuk yang diperlukan. Perlakuan apa saja yang dibutuhkan agar anak kita tumbuh kokoh di segala cuaca hingga berbuah manis melebihi orang tuanya?


Mungkin buku ini jawabannya…


www.kreasilila.com/parentingorganik

Adab Hadir di Hadapan Guru

HADIR

Oleh Akhid Nur Setiawan


Pagi itu saya mendatangi pengajian di sebuah masjid. Saat melepas sandal saya mendengar suara murottal dari luar masjid. Saya kira sebelum mulai pengajian memang disetelkan murottal.


Saya sapukan pandangan ke ruangan yang masih kosong. Ketika mata saya sampai di depan mihrab, terkejutlah saya melihat syaikh sedang tilawah di meja yang disiapkan untuk pembicara. Beliau masih muda tapi kami memanggilnya syaikh. Bacaan Al Quran beliau sebelas dua belas dengan bacaan para syaikh dari timur tengah karena beliau memang berasal dari timur tengah yaitu Libya.


Usai menggelar sajadah untuk tahiyatul masjid saya menikmati lantunan tilawah yang beliau sajikan. Sekalipun insyaallah sama-sama berpahala, mendengarkan bacaan Al Quran secara langsung ternyata dapat menghadirkan ruh dan emosi yang berbeda dibanding mendengarkan rekaman murottal dari perangkat pemutar suara. Ketika menemui ayat sajdah, sujud pun bisa sempurna.


"Jika dibacakan Al Quran maka dengarkan dan perhatikan agar kalian mendapat rahmat!"


Di hadapan syaikh kita akan berusaha menjaga aurat, menjaga adab, menjaga sikap. Di hadapan pemutar suara terkadang kita membiarkan bacaan Al Quran berlalu begitu saja sambil menyapu, memasak, mencuci baju, menyetrika, makan, berkendaraan, bercakap-cakap, bahkan tidur-tiduran. Ayat yang dibaca sama, riwayatnya sama, merdunya sama, pahalanya insyaallah juga sama, tapi berbeda fadhilahnya, tidak sama kadar barokahnya.


Begitu pula dengan belajar, ilmu yang didapat mungkin bisa sama, menghasilkan skor ujian yang sama, tapi "nilai"nya tak akan sama antara mereka yang menghadap guru langsung dengan mereka yang terhijab di balik layar kaca.


"Apa mau dikata? Inilah sekarang yang kita bisa."


Ketika kita terhalang untuk mendatangi guru atau bertemu dengannya, carilah cara untuk bisa menggantikannya, sekalipun tak pernah bisa menyamainya. Perbanyak istighfar dalam belajar, minta ampun atas segala kelemahan dan ketidakmampuan kita untuk memenuhi adab-adab sebagai murid. Perbanyak doa untuk guru-guru kita. Bayangkan wajahnya, mintakan ampun pada Allah atas segala kekurangannya.


Sungguh segala ilmu adalah milik Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja sekehendak-Nya. Kita bisa mendapatkan ilmu salah satunya melalui guru-guru kita. Doakan mereka agar selalu Allah bimbing dengan cahaya sehingga cahaya itu akan masuk juga ke sanubari kita.

Hukuman Terbaik untuk Anak agar Menjadi Sholih

HUKUMAN ANAK SHOLIH

Oleh Akhid Nur Setiawan


Bagi para guru, hukuman menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan. Bersanding dengan pemberian penghargaan yang bisa menguatkan lekatan nilai kebaikan pada diri murid, hukuman bisa menjadi terapi untuk mengatasi penyimpangan atau memancing perubahan diri agar menjadi lebih baik. Keduanya harus diberikan secara proporsional, adil dan berimbang.


Pelajaran yang menyenangkan lebih mudah diingat murid daripada pelajaran yang horor. Guru killer membuat murid enggan menikmati pelajaran yang disampaikannya. Meskipun begitu, ketertarikan murid pada hadiah atau kebaikan seorang guru tidak boleh mengalahkan ketertarikan murid pada ilmu. Begitu pula ketidaknyamanan murid pada guru tidak boleh menghalanginya dari mendaras ilmu yang diajarkan guru.


Hukuman yang diberikan guru sebisa mungkin menghindarkan murid dari "main aman", rasa ketakutan, pandai beralasan, adiksi kebohongan, pengkambinghitaman, dan tumbuhnya kebencian. Hukuman diberikan agar menjadi pelecut semangat murid dan memberikan efek taubat. Cerahnya masa depan murid bisa jadi dimulai dari pengalamannya mendapatkan hukuman.


Murid-murid berperasaan halus akan menyadari bahwa tatapan mata guru yang berbeda dari biasanya bisa bermakna teguran. Menurut mereka, guru diam tanda marah, ada yang salah, dan sebagainya. Murid berhati bebal mungkin tidak merasa telah berbuat salah sekalipun sampai dilempar dengan penghapus atau dijewer telinganya.


Hukuman untuk murid sekolah dasar tentu berbeda dengan hukuman untuk mahasiswa pascasarjana. Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membedakan hukuman untuk orang-orang beriman dengan orang-orang munafik ketika peristiwa Perang Tabuk, teguran untuk muslim Badui dengan muslim Madinah pun berbeda. Sikap arif dan bijak perlu diterapkan saat memberi hukuman pada murid.


Hukuman harus dimaknai sebagai bukti cinta guru kepada murid. Tak dimungkiri bahwa hukuman juga merupakan salah satu metode tarbiyah. Bahkan para penuntut ilmu lazim menganggap marahnya guru sebagai bagian dari barokah yang akan membuahkan kebermanfaatan ilmu di kemudian hari.


Meskipun demikian, jangan coba-coba memancing kemarahan seorang guru. Jika sampai guru mencabut ridhonya, ilmu yang sudah diterima seorang murid bisa menguap tak berbekas. Hal ini juga berlaku bagi orang tua atau wali murid yang telah memberikan kepercayaan kepada guru untuk menangani sebagian proses pendidikan anaknya.


Sabar, baik sangka, lemah lembut, dan minta maaflah apabila guru marah, apalagi kalau sampai memberi hukuman. Jika tidak paham alasan hukuman itu diberikan, istighfarlah. Jika sudah istighfar tapi belum paham juga, tambahlah istighfarnya. Jika masih belum paham, ambillah air untuk wudhu. Jika tetap belum paham, ambil wudhu lagi yang sempurna lalu kerjakan shalat dua rakaat, lanjutkan dengan istighfar.


Para penuntut ilmu dan orang tua atau wali murid hendaknya senantiasa memegang nasihat Imam Asy Syafi'i berikut ini:


“Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru. Sesungguhnya gagalnya menuntut ilmu itu tersebab memusuhi (guru) nya”


Dari sekian banyak jenis hukuman, guru bisa menghukum murid dengan meminta mereka membaca doa untuk kedua orang tua. Apa keistimewaan hukuman itu? Saat membaca doa untuk kedua orang tua, seketika itu juga murid terhukum layak menjadi murid yang sholih.


Bukankah amal yang tidak putus pahalanya setelah kematian seseorang salah satunya berupa anak sholih yang berdoa untuknya? Dengan kata lain, anak sholih selalu mendoakan orang tuanya dan hanya anak yang sholih yang mau mendoakan orang tua. Sholih dan mendoakan orang tua bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.


Anak yang mendoakan orang tuanya otomatis memenuhi kriteria sholih karena anak sholih pasti mendoakan orang tua. Murid dihukum biasanya karena sedang berkurang kadar sholihnya. Jika ingin meningkatkan kadar kesalehan murid, ajak mereka banyak-banyak berdoa untuk kedua orang tua.


"Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Dan kasihilah keduanya sebagaimana mereka mendidikku sewaktu aku kecil"

Baca! Hatimu akan Allah Buka

Baca! Baca! Baca!

Oleh Akhid Nur Setiawan


Saya harus memulai belajar Al Quran dari mana? Baca! Baca! Baca! Niscaya hatimu akan Allah buka. Sebagaimana Nabi yang mulia menerima perintah pertama, "Baca!"


Saya tidak bisa membaca Al Quran. Persis! Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengatakan hal serupa pada malaikat Jibril saat itu. Lalu bagaimana? Bacalah dengan nama Tuhanmu!


Jika kita membaca dengan nama-Nya, Dia-lah yang akan mengajarkan kepada kita harus bagaimana kita setelahnya. Menciptakan manusia dari segumpal darah saja Allah kuasa, apalagi hanya mengajarkan apa yang tidak diketahui oleh manusia.


"Robbi zidnii 'ilman, warzuqnii fahman," kita diperintahkan berdoa.

Berbeda dengan malaikat yang hanya bertasbih lalu mengagungkan Allah ketika menemui persoalan, manusia justru disuruh agar meminta diajari dan dipahamkan oleh Allah atas apa-apa yang tidak diketahui oleh mereka.


Baca! Maka Allah akan buka pintu-pintu berikutnya. "Dan orang-orang yang berjuang di jalan kami, sungguh kami akan tunjukkan untuk mereka jalan-jalan kami."


"Maka barangsiapa suka memberi dan bertakwa, juga membenarkan balasan kebaikan (surga), maka akan kami permudah ia kepada kemudahan (berbuat baik)."


Bacalah sekalipun tidak mengetahui makna-maknanya. Dia-lah yang berkehendak memberikan hikmah kepada siapapun yang dikehendaki. Membaca Al Quran membuka hati. Baca saja terus, nanti Allah akan tunjuki.


Bismillah akan membuka rahasia huruf Alif. Alif akan membuka rahasia huruf Ba'. Ba' akan membuka Ta', dan seterusnya. Pada saatnya kita akan sadar bahwa kebaikan masing-masing huruf tidak pernah berdiri sendiri, hatta huruf Nun, Qof, atau Shod. Karena kasih sayang-Nya pula, ada Alif, Wawu, dan Ya' yang terkadang dianggap tidak ada, tidak dibaca, tapi tetap saja tidak boleh dihilangkan keberadaannya.


Janji Allah untuk menghitung satu huruf sebagai satu kebaikan dan dicatat sebagai sepuluh kebaikan tentu tak akan membuat kita puas hanya dengan membaca satu huruf. Bayangkan jika setiap huruf adalah kenikmatan, setiap kalimat adalah kemuliaan, setiap ayat adalah kebahagiaan, setiap surat adalah keselamatan, setiap juz adalah balasan, dan keseluruhannya adalah pedoman, petunjuk kebenaran. Saat membacanya, setiap tarikan nafas mengandung keberkahan.


Dengan keberkahan, tak butuh awal yang besar untuk bisa membolasaljukan kebaikan. Baca saja, bismillah saja, satu huruf saja, satu kalimat saja, satu ayat saja. Biarkan ia menggelinding kian membesar atas izin dan kehendak-Nya.

Kekhalifahan Bukan Otoritarian

Dari kisah malaikat yang mengajukan peninjauan kembali terhadap keputusan Allah menjadikan Nabi Adam sebagai khalifah di muka bumi, kita belajar betapa demokratisnya Allah. Allah sebenarnya bisa saja langsung menjadikan Nabi Adam sebagai khalifah tanpa mendengarkan pendapat malaikat, tapi Allah tidak menghendaki itu. Allah melakukan public hearing dengan malaikat, mengizinkan malaikat menyampaikan pendapat, bahkan sampai melakukan uji argumen.

Lapang pandang malaikat nampaknya kurang luas dan memang tiada bandingannya dengan ilmu Allah. Faktor-faktor yang melandasi keputusan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah belum sepenuhnya mereka pahami. Mereka hanya membandingkan faktor-faktor bawaan antara mereka dengan calon pemimpin bumi itu. Ketika malaikat dan manusia diuji dengan soal yang sama, malaikat baru sadar bahwa mereka telah mengajukan argumen yang salah tempat.


Malaikat tidak tahu kenapa manusia yang memiliki sifat buruk suka merusak dan menumpahkan darah justru dipilih menjadi khalifah padahal secara karakter dasar malaikat bisa dibilang lebih unggul karena senantiasa bertasbih, bertahmid, dan menyucikan Allah. Manusia memang dzolim tapi mereka bisa bertaubat. Manusia memang bodoh tapi mereka bisa belajar. Manusia memang tempat salah dan lupa tapi mereka bisa memperbaikinya. Manusia tidak seperti malaikat yang hanya bisa taat. Manusia dibekali akal yang memungkinkan mereka belajar dan saling mengajarkan, tak seperti malaikat yang tidak tahu apa-apa kecuali diberi tahu oleh Yang Maha Tahu.


Dengan segala kemampuan yang dikaruniakan kepada mereka, manusia tidak lantas boleh berkuasa tak terbatas. Allah melarang manusia terpancing mendekat pada kekuasaan yang absolut. Hal itu digambarkan dalam larangan, "Jangan kalian dekati pohon ini, agar kalian tidak menjadi orang yang dzolim."


Sejak manusia pertama, keinginan abadi tak tergantikan sudah menjadi masalah. Nabi Adam dan Siti Hawa diputuskan dari hak mereka untuk menikmati surga karena mengamini khasiat keabadian buah pohon larangan. Ibarat pengantin baru mendapat tawaran investasi, mereka berdua tergiur presentasi everlast kingdom yang disampaikan oleh syaitan, "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon keabadian dan kerajaan yang tidak akan binasa?"


Demi menjerumuskan Nabi Adam dan Siti Hawa, syaitan berdusta atas nama Tuhan. Selain keabadian, memakan buah khuldi juga berkhasiat bisa mengubah manusia menjadi malaikat, makhluk suci yang selalu taat, klaim syaitan. Syaitan memberi penawaran seolah-olah membisikkan rahasia, “Tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini, agar kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).”


Rupanya keabadian dan kesucian menjadi godaan yang sangat berat untuk ditolak oleh kedua penghulu manusia. Mungkin hingga kini anak cucu keturunannya juga mendapat godaan yang tak jauh berbeda. Pada kenyataannya manusia memang diciptakan tidak sesuci malaikat, juga tidak abadi, hidup mati dan berkuasa silih berganti. Wajar jika iming-iming akan dua hal itu terasa amat menggiurkan.


Dalam Islam kepemimpinan biasa diistilahkan dengan kekhalifahan. Kekhalifahan berasal dari kata khalifah yang artinya pengganti. Akar kata khalifah ialah khalafa yang berarti menggantikan. Pada dasarnya kepemimpinan selalu berganti atau dipergilirkan satu sama lain. Jika ada pemimpin yang tak pernah (mau/ merasa) salah dan memiliki obsesi memimpin dalam jangka waktu lama, maka sesungguhnya ia telah menyalahi titah khalifah.


Sebuah adagium mengatakan, "Power tends to corrupt. Absolute power, corrupts absolutely."

Setiap kekuasaan memiliki kecenderungan untuk korup. Jika kekuasaan sampai absolut, maka korupnya juga absolut, mutlak, tak terbendung. Dari sana dirumuskanlah aturan bahwa kepemimpinan perlu dibatasi oleh masa jabatan. Setiap periode, bahkan setiap saat kinerja kepemimpinan harus bisa dievaluasi. Jika saatnya tiba, siapapun berhak menjadi pengganti.


Indonesia pernah mengalami puluhan tahun dipimpin oleh presiden yang begitu karismatik pada eranya hingga ada nasihat, "Walaa taqrobaa haadzihisy syajarah!". Jangan kalian berdua dekati pohon ini! Saat itu penguasa menggunakan sebuah pohon sebagai simbol partai yang melanggengkan keluasaannya. Simbol pohon tentu mengingatkan kita dengan pohon larangan dalam kisah Nabi Adam.


Barangkali memang sudah menjadi rencana Allah, sesuci dan seabadi apapun pemimpin pasti akan sampai pada ajal kepemimpinannya. Disengaja atau tidak, di belakang pemimpin lama sudah siap pemimpin-pemimpin pengganti yang menjadi tulang punggung saat masanya tiba. Cepat atau lambat kepemimpinan pasti bergulir.


Semakin kultus pemimpin, semakin gagal ia memimpin. Jika seseorang sedang berada dalam posisi sebagai pemimpin lalu terlintas keinginan untuk terus memperpanjang masa jabatan, apalagi dikolaborasikan dengan sikap antikritik dan tindakan-tindakan represif, selayaknya segera kita munajatkan doa Nabi Adam 'alaihissalaam, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi."

Harapan Pemimpin Baru

"True leader creates more leaders, not followers," kata Tom Peters, seorang pakar manajemen bisnis yang menulis buku In Search of Exellence.

Tugas berat bagi para pemimpin bukan hanya bagaimana ia menangani krisis di masa kepemimpinannya. Lebih dari itu, seorang pemimpin dituntut untuk mampu melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang siap menyelesaikan tantangan di masa mereka tampil nanti. Pemimpin sejati menciptakan pemimpin-pemimpin baru, bukan memperbanyak pengikut.


Demokrasi memang meletakkan kuantitas dukungan sebagai syarat utama untuk bisa menjadi pemimpin. Hal itu membuat banyak pemimpin dan calon pemimpin fokus memperbanyak massa pendukung dengan mengejar popularitas, terutama menjelang pemilu. Lihatlah foto para calon pemimpin yang terpampang di jalan-jalan.


Sebelum dipilih, calon pemimpin perlu didukung. Sebelum didukung, mereka perlu dikenal. Jadilah perang baliho di jalanan menjadi agenda klasik negara demokrasi (baca: Indonesia).


Untuk menarik perhatian masyarakat, partai-partai politik sedini mungkin memilih tokoh paling fotogenic untuk dijadikan point of interest pada pemilu yang akan datang. Yang penting terkenal dulu, sisi menarik untuk dipilih sebagai pemimpin bisa "dipiker keri".


Festival baliho seperti ini terkadang membuat sebagian masyarakat jenuh. Jika tidak ganti kostum atau pose, mereka yang di jalan-jalan itu hanya ganti nama atau slogan. Ada juga mungkin foto lawas yang hanya diganti background atau corak warnanya.


Harapan masyarakat akan lahirnya pemimpin-pemimpin baru seakan selesai dengan dirilisnya produk lama dengan kemasan baru. Mengenai rasa dan kualitas masih sama, hanya harga yang agak diturunkan atau harga sama lalu diberi cap "ekstra". Apa daya, daripada tidak ada perubahan sama sekali.


Di balik itu semua, muncullah beberapa pertanyaan. Apakah partai politik sebagai salah satu sarana untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa dihantui ketakutan akan pecahnya suara pendukung jika calon-calon pemimpin baru ditampilkan? Ataukah memang tidak ada pemimpin-pemimpin baru yang berhasil diinkubasi di sana? Atau jangan-jangan hanya langgengnya kekuasaan yang diinginkan?


Percayalah, disengaja atau tidak, disiapkan atau tidak, pemimpin-pemimpin pengganti selalu tersedia di belakang pemimpin-pemimpin lama karena pada dasarnya kepemimpinan itu selalu dipergilirkan. Sekuat apapun penguasa mempertahankan tahta, niscaya akan sampai jua pada ajalnya. Pemimpin-pemimpin baru pasti ada dan sangat mungkin yang dimaksud adalah kita.


”...Dan seperti itulah hari-hari (kejayaan dan kehancuran) kami pergilirkan di antara manusia…”


Pertanyaan berikutnya, "Siapkah kita dibaiat paksa oleh rakyat? Atau justru kita masih perlu memaksa rakyat untuk bersumpah setia pada kita?"

Pewarisan Mimpi Antargenerasi

Seorang kakek menangis haru usai mendengar salah seorang cucunya melantunkan surat An Naba'.

"Saya dulu baru sampai surat Al Ma'un, guru saya wafat. Alhamdulillah, sekarang sudah ada yang meneruskan," kata sang kakek.

Sekitar tujuh tahun kemudian cucu dari kakek itu selesai menghafal 30 Juz Al Qur'an.

Usia dakwah terlalu panjang untuk ditopang oleh satu atau dua generasi. Dakwah membutuhkan banyak generasi. Dakwah harus terus bergulir hingga hari akhir.

Adakala suatu generasi hanya sempat menyemai benih, generasi berikutnya hanya sempat menyiangi rumput, generasi berikutnya mengairi. Generasi selanjutnya mungkin melihat tanaman saat sedang berbunga, selainnya Allah beri kesempatan bisa memetik buah. Terkadang satu generasi menemui tanaman layu hingga hanya bisa mempertahankan diri dari kepunahan, sembunyi. Setelahnya ada generasi yang menyuburkan ulang lahan lalu menyemai benih kembali.

Seakan mengajarkan bahwa jalan dakwah memang panjang, Nabi Ibrahim 'alaihissalaam tidak berdoa agar dakwah menang pada masa kenabiannya. Beliau berdoa pada Allah agar kelak di tengah-tengah penduduk Makkah diutus seorang Rasul yang membacakan ayat, mengajarkan hikmat, dan menyucikan jiwa umat. Cukuplah meninggikan bangunan Ka'bah menjadi salah satu proyek dakwah yang harus diselesaikan oleh generasinya.

Adanya kesadaran bahwa waktu yang tersedia amat singkat memaksa para da'i untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang tiba. Kenyataan akan sumberdaya yang terbatas mengarahkan para da'i agar menyusun prioritas. Karena merasa perlu menyiapkan dakwah di masa depan, para da'i berusaha memperbanyak peluang dan memperbesar ruang gerak bagi generasi setelahnya.

Sebuah ungkapan mengatakan, "Orang biasa merencanakan Sabtu malam, orang besar merencanakan tiga generasi."

Kalau boleh menambahkan, "Orang beriman merencanakan hingga hari pembalasan."

Mimpi-mimpi dakwah tak mungkin selesai hanya dalam satu malam. Penting bagi para dai untuk mewariskan mimpi kepada generasi berikutnya. Kelak generasi itu akan melanjutkan apa yang telah dimulai oleh generasi pendahulu mereka.

"Kalau Abah masih ada, kira-kira apa yang akan Abah lakukan dengan kondisi kita saat ini?"

"Dari dulu simbah pengen banget begini."

"Ummi itu biasanya begini."

Mungkin itu kalimat-kalimat yang otomatis muncul dari anak keturunan ideologis saat mereka menghadapi masalah atau merumuskan strategi dakwah sepeninggal leluhurnya.

Jika pewarisan mimpi berhasil, ada manusia-manusia yang hidupnya singkat tapi umurnya panjang. Mimpi mereka terus berlanjut meskipun maut telah menjemput. Dakwah mereka berkesinambungan, tidak hanya selama mereka masih hidup tapi sambung menyambung antargenerasi setelah mereka mati.

Dengan pewarisan, para dai mutaakhir tidak harus memulai dakwah dari awal. Mereka hanya perlu melanjutkan apa yang telah dimulai sebelumnya. Susah payah para pendahulu meniscayakan mudah jalan para pembaharu.

Mereka yang masih bertahan harus menemukan jejak-jejak kebaikan para pendahulunya. Penelusuran jejak itu bukan untuk sekedar meneladani baiknya kepribadian tetapi berusaha agar bisa menyambung benang merah kerja-kerja dakwah. Semoga Allah bimbing kita semua.

Hanya Tinggal Klik

Pada suatu pagi saya terpaksa mengisi ember dengan air dari sumur depan rumah untuk mengisi bak kamar mandi di dalam rumah kami. Sejak malam harinya air keran tidak bisa mengalir. Sepertinya mesin pompa air kami rusak.

Saat hari sudah terang kami mencoba memperbaiki mesin pompa air kami. Saya sambungkan kabel dari mesin langsung ke stop kontak. Alhamdulillah mesinnya masih bisa menyala.

Masalahnya di mana? Saya pun mengecek saklar yang ada di dinding. Ternyata saklarnya sudah soak sehingga lempengan penghubung listriknya tidak bisa saling tersambung jika dinyalakan.

Karena tidak menemukan saklar pengganti yang pas, saya menyambungkan langsung kabel saklar itu tanpa saklar, hanya diberi selotip. Alhamdulillah mesin pompa air kami kembali bisa mengalirkan air dari dalam sumur naik masuk ke dalam bak penampungan. Ternyata masalahnya di bagian saklar. Mesin oke, sumber listrik oke, tapi hubungan keduanya terputus.

Di kesempatan lain saya dimintai tolong salah seorang teman untuk mengecek koneksi wifi laptop barunya. Laptop itu baru tapi sudah tangan kedua. Jujur saja saya tidak mengeceknya tapi langsung menawarkan solusi. Kebetulan istri saya memakai laptop yang koneksi wifinya menggunakan alat tambahan semacam USB kecil karena perangkat wifi asli dari laptop tidak bisa menangkap sinyal.

Setelah di toko online menemukan barang yang dimaksud, teman saya ragu karena harganya lumayan perlu diperhitungkan. Meskipun tidak terlalu mahal, jika ternyata alatnya tidak berfungsi tentu membelinya menjadi kesalahan belanja yang amat disayangkan. Saya pun menawarkan untuk mencobakan dulu USB wifi dari laptop yang dipakai oleh istri saya.

Setelah saya pasang USB wifi ke laptop teman saya, koneksinya tidak berubah sama sekali. Saya lalu mengecek troubleshoot koneksi wifi di laptop itu. Masyaallah, ternyata laptop itu memiliki saklar khusus untuk menyalakan perangkat wifinya. Koneksi wifi tidak tersambung hanya karena saklar belum dinyalakan.

"Klik!"

Alhamdulillah. Atas izin Allah akhirnya semua sinyal wifi bisa masuk ke laptop teman saya. Dicoba untuk berselancar juga langsung oke setelah mesin perambannya diperbarui. Masalah pun teratasi tanpa perlu biaya tambahan.

Mungkin banyak hal lain dalam hidup kita yang sebenarnya hanya butuh "klik" lalu semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Di mana letak saklarnya, itulah yang terkadang kita belum menemukan. Barangkali ia terletak di tempat tersembunyi, barangkali ia sedang rusak, atau barangkali sekedar menunggu waktu yang tepat hingga yang seharusnya terhubung sudah sama-sama siap.

"...dan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)."

Jika keduanya belum klik, bolehlah kita coba menyalakan saklarnya.

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui."

Kalau sudah klik, insyaallah sakinah, insyaallah barakah.

Selamat menempuh tahun hidup baru 1443 Hijriyah 😍😍😍

Golek Geni Nggowo Oncor

Ketika kompor gas dengan dapur belum seakrab sekarang, di antara kita atau orang tua kita mungkin ada yang pernah mengalami kehabisan korek api ketika hendak memasak lalu harus meminta api kepada tetangga. Di pagi buta seorang ibu mengetok pintu dapur tetangganya sambil membawa segenggam blarak kering. Biasanya blarak didapat dari daun kelapa yang jatuh. Blarak itu dimasukkannya ke dalam tungku tetangga yang apinya menyala.

Jika blarak sudah tersulut api, sang ibu akan membalik posisi blarak yang terbakar menjadi berada di bawah agar api bisa membesar. Ibu itu akan bersegera pulang menuju tungku di dapurnya. Dimasukkanlah blarak yang membawa api itu ke dalam tungku yang sebelumnya sudah diberi sabut kelapa dan kayu-kayu kecil.

Coba kita telusuri jalan perjuangan ibu itu untuk bisa memasak. Ibu itu telah berjuang untuk bangun lebih pagi dari anggota keluarga yang lain. Ia ingin berjuang untuk memasakkan sarapan pagi bagi seisi rumah.

Sang ibu berjuang meracik bumbu dan bahan-bahan yang akan diolah setelah sehari sebelumnya membelinya di pasar atau memanennya di kebun. Ia berjuang menyiapkan tungku dengan sabut kelapa sekalipun apinya belum ada. Ia pun berjuang mencari api dengan membawa blarak yang ia punya. Ia berjuang melawan rasa tidak enak pada tetangga dengan mengetuk pintu dapurnya.

Ia berjuang menyalakan api dan menjaganya sepanjang jalan hingga tungkunya sendiri ikut menyala. Oncor blarak tidak menyala dalam waktu lama. Ia pun berjuang menyemprong tungku agar api bisa tetap menyala. Setelah api menyala, barulah akan dimulai perjuangan yang sesungguhnya.

Untuk bisa menjalani sesuatu yang besar kita perlu menjalani banyak langkah kecil dengan sabar. Untuk bisa benar-benar berjuang kita perlu banyak belajar berjuang. Setiap tapak perjuangan selalu menjadi pijakan untuk tapak perjuangan berikutnya.

Di Madinah Imam Malik diam-diam mengetahui bahwa ternyata salah satu muridnya telah hafal Al Muwatho' sebelum berguru padanya. Sang murid berusaha mempersiapkan diri dengan hafalan sebelum mempelajari penjelasan atas kitab yang ditulis oleh gurunya. Murid itu kelak terkenal dengan sebutan Imam Asy Syafi'i.

Mencari ilmu itu butuh ilmu. Mau menuntut ilmu harus berbekal. Siapkanlah apa saja yang kita mampu hingga semakin dimampukan. Golek banyu apikulan warih, golek geni adedamar.

Pertimbangan Memilihkan Sekolah Dasar

Sekolah dasar menjadi anak tangga pertama anak-anak menempuh pendidikan formal. Sekalipun semakin marak homeschooling dan sudah lebih dari satu tahun sekolahan tidak bisa menyelenggarakan pembelajaran tatap muka, tetap penting bagi orang tua memilih sekolah sebagai partner mendidik anak. Bagaimanapun juga sekolah telah berpengalaman mendidik sekian banyak generasi dibandingkan kita sebagai orang tua.

Sekolah seperti apa yang sebaiknya kita pilih? Enam tahun belajar di bangku sekolah dasar bukanlah waktu yang singkat. Banyak hal bisa didapat oleh anak-anak kita tapi juga ada banyak hal bisa terlewat selama waktu pendidikan itu.

Berikut ini beberapa pertimbangan yang penting untuk menentukan sekolah ananda.

1. Visi dan misi sekolah

Visi dan misi sekolah sangat penting menjadi pertimbangan. Sekolah yang memiliki visi selaras dengan visi orang tua akan lebih cocok dipilih dibandingkan sekolah dengan visi yang berbeda. Bagaimana mungkin kita menginginkan anak kita berjalan ke utara jika kita menyekolahkan mereka di sekolah yang mengajak berjalan ke arah selatan.

2. Komitmen dan dedikasi guru

Sebuah ungkapan menyatakan bahwa keberadaan guru lebih penting daripada metode pengajaran. Yang jauh lebih penting dari sekedar keberadaan guru adalah ruh dan jiwa guru itu sendiri. Sebaik apapun visi, misi, kurikulum, kegiatan, target lulusan, dan apapun yang tertulis di dalam dokumen akreditasi sekolah, semua itu tidak bermakna sama sekali tanpa guru-guru yang berdedikasi. Dari mana kita mengetahui kadar dedikasi mereka? Saat berkunjung ke sekolah coba berbincang ringan dengan pegawai-pegawai non akademik seperti tata usaha, satpam, pekarya, dan sebagainya. Jika kita bisa merasakan semangat dan antusias mereka meladeni pertanyaan-pertanyaan kita, barangkali sekolah itu cocok bagi anak kita.

3. Lama berdirinya sekolah

Bukan berarti mengesampingkan kualitas sekolah-sekolah yang baru berdiri, bisa bertahannya sekolah dalam jangka waktu lama bisa menunjukkan kualitas sekolah tersebut. Sebagus apapun konsep yang diusung sekolah-sekolah baru, sekolah-sekolah lama masih menang pengalaman. Sebuah hipotesis menyebutkan bahwa sekolah yang baru berdiri akan mengalami penurunan kinerja setelah sepuluh tahun. Jika sebuah sekolah mampu melewati masa itu, pertimbangkan sekolah itu untuk dipilih.

4. Profil alumni

Semakin banyak alumni yang lulus maka semakin bisa dibaca kualitas sebuah sekolahan. Sekolah tidak perlu memasang foto alumni berprestasi untuk menunjukkan kualitas proses pendidikan mereka. Masyarakat bisa menilai sekolah dari para alumni yang beredar di masyarakat, sekalipun tidak semua alumni berprestasi, dari mereka akan terbaca pola sekolah dalam mendidik anak.

5. Biaya pendidikan

"Jer basuki mawa beya"

Sesuatu yang berharga itu ada harganya. Jika kita memilih sekolah hanya berdasarkan murahnya, jangan banyak berharap selain mendapatkan kemurahannya. Para ulama bahkan menjual atap rumah, baju, dan apapun demi membeli kertas untuk menulis, demi mendatangi guru, demi menginap di rumah guru, demi ilmu. Guru sejati tak pernah meminta upeti, murid sejati tak pernah tak berbakti. Sekalipun begitu, jangan juga hanya memilih sekolah karena mahalnya. Mahal murah suatu sekolah tidak serta merta menunjukkan kualitas, bisa jadi hal tersebut hanya menunjukkan segmen pasar yang ditargetkan oleh sekolah.

6. Jarak lokasi sekolahan dengan rumah

Sekalipun jarak tak lagi jadi kendala di zaman sekarang, tentu kita tak ingin mengalami kesulitan dalam mengantarkan anak-anak kita bertemu guru mereka. Pendidikan bukan hanya mentransfer ilmu. Jika hanya itu, mesin telusur di internet mungkin jauh lebih berilmu. Apabila kita tetap ingin menyekolahkan anak kita di tempat yang jauh, pertimbangkanlah sekolah berasrama agar ilmu mereka tidak tercecer di jalan.

7. Kabar miring

Sebagaimana kita perlu mencari ulasan pembeli saat belanja di toko online, cobalah mengecek kabar-kabar miring yang beredar tentang sekolah yang sedang kita amati. Selain sebagai bentuk kewaspadaan, mengonfirmasi kabar tersebut kepada pihak sekolah akan lebih menenangkan kita. Semoga bukan mencari aib yang sedang kita lakukan karena kita akan bekerjasama dengan pihak lain terkait masa depan anak kita. Sudah menjadi kewajaran ketika kita perlu memastikan semuanya clear.

Semoga tulisan mengenai beberapa pertimbangan memilih sekolah dasar ini bermanfaat. Perlu diingat, sebaik apapun kualitas sekolah yang kita pilihkan untuk anak-anak kita, tak akan banyak berguna jika anak-anak tidak mendapat sentuhan langsung dari orang tua dalam proses pendidikan mereka.

Sekolah Dasar yang Menjadikan Al Quran sebagai Dasar

"Dahulu kaum salaf tidak mengajarkan hadits dan fikih kecuali kepada orang yang hafal Al Quran," berkata Imam An Nawawi.

Begitulah idealnya pendidikan dasar bagi anak-anak muslim. Al Quran ialah sumber utama dari segala ilmu. Mempelajarinya menjadi prioritas dibandingkan mempelajari ilmu lain. Jika menyimak biografi para ulama, kita temui bahwa mereka sudah selesai menghafal Al Quran pada usia tujuh tahun, sembilan tahun, atau tiga belas tahun.

Memang tak semua anak harus menjadi ulama tapi mengupayakan Al Quran mengalir menyatu dalam darah daging mereka sejak usia belia tentu akan sedikit menenteramkan hati kita. Kita "nyicil ayem" dengan menyiapkan bekal mereka untuk menghadapi dunia. Ibarat tanaman yang baru tumbuh lalu kita memupuknya dengan nutrisi keimanan, insyaallah ia akan berdiri dengan akar yang kokoh, melahirkan daun yang rindang, dan kelak menghasilkan buah yang manis.

Kondisi budaya yang berbeda memaksa kita baru bisa mencontoh generasi terdahulu dengan semampu kita. Jika mungkin anak-anak kita belum bisa khatam 30 juz sebelum lulus SD melalui hafalan. Semoga setidaknya mereka bisa khatam 30 juz dengan melihat mushaf.

Untuk hafalan kita upayakan mereka bisa khatam separuhnya, atau sepertiganya, atau sepertigapuluhnya. Di suatu negeri barangkali anak-anak hafal Al Quran bukan lagi hal yang istimewa karena  pada umumnya anak-anak di sana yang tidak hafal Al Quran hanya satu dua. Bagaimana dengan lingkungan kita?

Tidak menyerah begitu saja, banyak komunitas muslim berusaha kembali membudayakan hafal Al Quran sejak usia dini. Salah satunya dilakukan Yayasan As Sakinah melalui SDIT Hidayatullah Yogyakarta. Sekolah dasar yang berlokasi di Jalan Palagan Tentara Pelajar km 14,5 Balong Donoharjo Ngaglik Sleman itu memang sangat menekankan pembelajaran Al Quran bagi murid-muridnya.

Pembelajaran Al Quran di sekolah yang berada di komplek Pondok Pesantren Hidayatullah itu menggunakan metode Ummi. Dari jenjang PAUD, TK, SD, SMP, hingga SMA para murid sangat familiar dengan kegiatan tahsin dan tahfizh sebagai agenda harian. Metode Ummi dipilih salah satunya karena pengelolaannya sangat mengedepankan komitmen pada mutu, baik mutu guru, proses, maupun mutu murid.

Penjagaan mutu dimulai dari guru yang wajib lulus ujian tartil bacaan Al Quran dan sertifikasi pengajar metode Ummi. Guru Al Quran SDIT Hidayatullah berjumlah 40 orang dari keseluruhan guru dan pegawai yang berjumlah sekitar 80 orang, kemungkinan masih akan terus bertambah. Guru kelas, guru mata pelajaran, pegawai, hingga petugas kebersihan tak luput dari kewajiban lulus tashih yang ditetapkan oleh yayasan.

Berkala tiga tahun sekali sertifikat tashih harus diperbarui sehingga salah satu program sekolah ialah penjagaan bacaan Al Quran guru dan pegawai baik dengan tadarus, pembinaan, maupun tasmi'. Selain itu pemenuhan standar hafalan minimal juga menjadi target program bidang sumber daya manusia. Kuatnya interaksi dengan Al Quran merupakan intinya inti perjuangan mengembalikan kejayaan peradaban Islam.

Bagaimana dengan murid-muridnya? Di awal masuk sekolah para murid dites bacaannya untuk pengelompokan saat belajar Al Quran. Jika memang harus mulai belajar dari pengenalan huruf tunggal berharakat fathah maka murid pindahan kelas empat pun harus belajar dari jilid satu.

Jika ada murid kelas satu yang sudah menguasai bacaan panjang sesuai standar, maka ia berhak mulai belajar dari jilid empat. Apakah ada? Ada! Di antaranya murid TK Yaa Bunayya yang masih terjaga bacaannya hingga masuk SD. TK yang berada dalam satu naungan yayasan dengan SDIT Hidayatullah itu sudah mengajarkan Al Quran kepada murid melalui metode Ummi dengan target lulusan selesai jilid empat.

Sebagai penjagaan mutu setiap kenaikan jilid murid harus diuji oleh koordinator Tim Al Quran agar kualitas bacaan sesuai target materi jilidnya. Setiap seperempat juz hafalan juga harus melalui ujian agar bisa lanjut ke seperempat juz berikutnya. Setiap akhir semester semua hafalan harus diuji simak sampai hafalan terkini.

Setiap juz yang selesai dihafal dalam satu tahun harus diuji oleh Tim Ummi Foundation melalui proses munaqosyah. Jika seorang murid telah menguasai bacaan ghorib dan ilmu tajwid dasar, telah tartil juga bacaannya, serta telah hafal juz 30, ia akan menjalani munaqosyah tartil.

Munaqosyah ialah semacam ujian pendadaran. Murid dites, diuji, ditanya-tanya, diminta membaca, dan diminta menjelaskan hukum bacaan Al Quran yang ia baca. Anak-anak bisa? Masyaallah, meskipun belum semua, atas izin Allah mereka terbukti bisa melaluinya.

Para murid yang telah lulus munaqosyah lantas ditampilkan kepada orang tua dan masyarakat untuk diuji secara publik dalam kegiatan Khatmul Quran dan Imtihan. Siapapun boleh menanyakan mengenai apapun yang telah murid kuasai dari sisi bacaan maupun hafalan. Tahun 2021 insyaallah menjadi tahun ke lima SDIT Hidayatullah Yogyakarta menyelenggarakan Khatmul Quran dan Imtihan.

Bisa dibayangkan bagaimana para guru Al Quran SDIT Hidayatullah Yogyakarta harus mendampingi para murid menghadapi ujian-ujian itu. Selama masa pandemi pun mereka tak kenal henti belajar dan mengajarkan Al Quran. Hampir setiap hari mereka melakukan videocall dengan para murid demi menjaga Al Quran tetap lestari. Semoga Allah curahkan rahmat kepada kita sekalian berkat Al Quran yang kita perjuangkan.

*Informasi Murid Baru SDIT Hidayatullah Yogyakarta*

www.sdithidayatullah.net

wa.me/6283146496156 (Ustadz Nur Kholiq)