Akhir-akhir ini ramai orang-orang memperbincangkan muktamar NU dan Muhammadiyah yang hampir berbarengan. NU mengadakan muktamar ke-33 di Jombang Jawa Timur pada tanggal 1-5 Agustus 2015. Muhammadiyah mengadakan muktamar ke-47 di Makassar Sulawesi Selatan pada tanggal 3-7 Agustus 2015. Keduanya merupakan ormas besar dengan pendiri masing-masing yang memiliki kedekatan jalur nasab keturunan maupun sanad guru.
KH Muhammad Hasyim Asy'ari dan KH Muhammad Darwis Ahmad Dahlan tentu terkenal di seluruh penjuru nusantara. Keduanya mendirikan organisasi massa yang hingga saat ini bisa dikatakan menjadi dua ormas terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Berbagai perbedaan simpulan fiqh diadukan antarkeduanya. Agar mereka tak bersatu, mungkin kehendak para penjajah zaman dahulu. Benar, jika umat islam bersatu, kedua ormas besar islam bersatu, barangkali penjajah akan lari tunggang langgang saat itu.
Suatu saat pernah terbentuk Masyumi atau Majlis Syuro' Muslimin Indonesia yang mewadahi semua ormas islam di Indonesia. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah ada di dalamnya. Sebelum PEMILU '55 NU keluar dari Masyumi lalu mendirikan partai sendiri. Konon hal tersebut dikarenakan para kiai NU dikerdilkan perannya, hanya boleh mengurus pesantren. Setelah PEMILU '55 Muhammadiyah juga perlahan menarik diri dari Masyumi. Masyumi hanyalah cara Jepang mengumpulkan lalu memegang "kepala" umat islam, selain melalui keberadaan departemen agama di bawah pemerintahan Jepang ketika itu.
Bayangkan, saat PEMILU '55 Partai Masyumi memperoleh lebih dari 20% suara di parlemen sedangkan Partai Nahdlatul Ulama memperoleh sekitar 16% suara. Jika tidak ada Dekrit 5 Juli oleh Presiden Soekarno yang membekukan konstituante mungkin wajah Indonesia akan berbeda saat itu. Selain itu memang setelah memerdekakan bangsa para kiai dan santri cenderung kembali ke pesantren sehingga pos-pos kepemimpinan dan kekuasaan diserahkan kepada kalangan lain dari bangsa ini. Batallah negeri kita jadi Republik Indonesia Syari'ah.
Saat perang kemerdekaan Masyumi memiliki Laskar Hizbulloh sebagai barisan mujahidin pengusir penjajah. Santri-santri baik dari Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah berada dalam satu komando untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kisah mengenai presiden Soekarno yang meminta fatwa kepada Ulama mengenai hukum berperang melawan penjajah, sowannya Bung Tomo, sowannya Jenderal Soedirman ke pesantren-pesantren mungkin pernah menjadi fakta sejarah yang didengar banyak orang dari luar bangku sekolah.
Simbah kakung dari istri saya merupakan veteran Hizbulloh. Beliau seorang Muhammadiyah. Beliau sering menuturkan epik kepahlawanan zaman perjuangan kepada istri saya. Bapak ibu mertua saya juga Muhammadiyah. Keluarga besar istri saya bisa dibilang keluarga Muhammadiyah. Lain dengan keluarga saya, keluarga saya merupakan basis keluarga Nahdlatul Ulama. Sampai saat ini bapak ibu saya berkhidmat pada salah satu pondok pesantren besar NU di Yogyakarta. Orang-orang NU tentu tahu Pondok Pesantren Sunan Pandanaran.
Takdir Alloh mengantar saya menjadi santri di Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta pada pertengahan tahun 2004 tepatnya mulai 17 Agustus 2004. Pesantren NU itu berada di lingkungan wilayah Muhammadiyah. Akulturasi budaya dan tradisi kedua ormas menemukan titik toleransi di sana. Uniknya, konon KH Asyhari Marzuki pendiri pondok pesantren tersebut mengagumi pergerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir dilihat dari koleksi buku-bukunya. Hal ini dituturkan oleh seorang alumni pondok yang pernah mengkodifikasi buku di perpustakaan "ndalem". Saya sendiri belum pernah bertemu beliau karena saya mulai mondok beberapa hari setelah beliau wafat.
Sembari nyantri di PP Nurul Ummah saya juga mengaji kepada murobbi dan ustadz-ustadz Tarbiyah yang gerakan dakwahnya terinspirasi gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Saya pun akhirnya pindah mondok ke Pondok Pesantren Mahasiswa Islamic Centre Al-Muhtadin Seturan yang diasuh oleh KH Cholid Mahmud, salah seorang perintis dakwah Tarbiyah di Yogyakarta. Sementara itu usia remaja istri saya dihabiskan di Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Solo lalu dilanjutkan di Madrasah 'Aliyah di Yogyakarta. Dalam masa yang sekira hampir sama istri saya sempat mengikuti pergerakan Muhammadiyah sampai akhirnya bertemu dengan orang-orang Tarbiyah.
Hari itu tiba ketika kami bertemu dalam sebuah akad nikah. Putri dari keluarga Muhammadiyah menikah dengan putra dari Keluarga Nahdhatul 'Ulama'. Teman-teman dari orang tua kami banyak yang mengherankan hal itu. "Ben podo bersatu, aku wes nglekasi," kata ibu mertua saya.
Putri pertama kami lahir saat kami merasakan begitu banyaknya masalah umat di negeri Indonesia. Pastinya secara hitungan manusia tak cukup satu dua orang untuk menyelesaikannya, bahkan satu dua generasi pun rasanya belum cukup. Kami beri nama putri pertama kami Halilah Halimah Mursyidah. Halilah bermakna solusi. Kami mendoa pada Alloh agar kelak ia dan anak keturunannya menjadi bagian dari solusi atas masalah-masalah umat.
Halimah bermakna lembut. Pada awalnya kami berharap anak pertama kami lahir laki-laki namun ternyata Alloh menghendaki lahir perempuan. Halimah merupakan nama seorang wanita yang menyusui Rosululloh saw. Di balik nabi yang mulia ada seorang wanita yang tak setenar istri-istri nabi, hanya dikisahkan wanita itu dilimpahi barokah karena membawa pulang bayi calon nabi, namun melalui perantara wanita itulah sesungguhnya Alloh memberi rizki pada permulaan kehidupan sang nabi. Semoga kalaupun ia tak menjadi orang yang berada di depan sebagai pemimpin, kelak ia memiliki peran dalam melahirkan pemimpin-pemimpin besar yang menjadi solusi.
Mursyidah bermakna penunjuk, instruktur, atau pengarah. Saat kehamilan pertama istri saya banyak membaca surat Al-Kahfi. Diriwayatkan bahwa Rosululloh saw pernah berpesan yang maknanya bahwa barangsiapa menghafal 10 ayat pertama surat Al-Kahfi maka ia akan dijaga dari fitnah dajjal. Hari-hari kita saat ini ialah hari-hari akhir zaman dimana suatu hari akan muncul fitnah dajjal. Kehidupan semakin kacau balau, gonjang-ganjing, terbolak-balik, serba buram, serba tidak jelas. Hajat kita semua kepada Alloh di akhir zaman ini ialah keberadaan Al-Mahdi, seorang imam yang dijanjikan Alloh untuk memberi satu komando kepada seluruh umat islam di dunia. Mursyidah, seorang mursyid wanita yang semoga menjadi perantara Alloh memberi petunjuk dan arahan kepada umat untuk menemukan solusi-solusi dan menelusuri jalan-Nya di zaman yang mulai kembali gelap gulita.
Saat putri pertama kami berusia sekitar delapan bulan kami mencoba mengaktifkan sebuah pesantren. Saya menyerahkan sebuah lembaga pendidikan Al-Qur'an yang saya dirikan di Yogyakarta kepada kawan-kawan yang dahulu juga bersama-sama mendirikannya. Saya memilih memulai mengelola pesantren tanpa santri. Berawal dari seorang santri, menjadi tiga, menjadi sepuluh, hingga menjadi tiga puluh lima saat akhirnya kami meninggalkan mereka. Pesantren Masyarakat As-Salam kini juga kami serahkan pengelolaannya kembali kepada pengurus yayasan.
Sebelum kami memutuskan mencoba mengelola pesantren, kami sowan kepada salah satu pengasuh pesantren di Imogiri. Beliau mendalami tasawuf, memberdayakan masyarakat, mendirikan pesantren, sekaligus menjalani kehidupan sebagai seorang budayawan dengan sekian banyak karya dan kesibukan. Gus Nas, beliau biasa disebut, kami memanggil beliau Pak Nas. Beliau salah satu guru istri saya. Beliau sebenarnya tidak mengizinkan kami mengurus pesantren. Beliau justru menawarkan kami mengelola pesantren beliau di salah satu bukit di daerah Imogiri. "Kamu tiga tahun tinggal di sana, setelah itu silakan. Mendirikan pesantren itu bukan hal yang mudah. Butuh keikhlasan yang besar. Para kiai itu mengalami proses pemurnian keikhlasan yang luar biasa. Tiga tahun, nanti kamu akan siap menghadapi segala macam manusia dengan berbagai karakter."
Kami melanjutkan kehidupan dengan tetap bertekad mendirikan sebuah pesantren. Saya meninggalkan Baitul Qur'an lalu tiba-tiba diajak mendirikan pesantren oleh yayasan. Tadinya saya memang berniat tiga atau lima tahun lagi baru akan mendirikan pesantren namun barangkali Alloh ingin segera membenturkan kami dengan tadhribat. Mulailah kami mengajarkan hafalan Juz 'Amma kepada anak-anak lingkungan sekitar pesantren hingga akhirnya kami memutuskan pindah tempat tinggal menjelang kelahiran anak kedua kami.
"Kita kan belum tahu yang akan menjadi kiainya As-Salam itu siapa."
Istri saya tersenyum dalam kesakitan, "Maksudnya anak ini? Aamiin."
Sesaat usai adzan Maghrib anak kedua kami lahir laki-laki padahal dua kali periksa USG dikatakan bahwa sepertinya janin berjenis kelamin perempuan. Nama yang sudah kami siapkan untuk anak pertama akhirnya kami berikan kepadanya. Putra kedua kami beri nama 'Abdullah Dahlan Asy'ari. Kami mendoa pada Alloh agar kelak ia dan anak keturunannya menjadi bagian dari pengawal bangkit dan bersatunya umat Islam.
Nama 'Abdullah kami ambil dari nama seorang pendiri gerakan Tarbiyah di Indonesia yaitu KH Rahmat 'Abdullah. Saat ini gerakan Tarbiyah lebih dikenal dengan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Beliau wafat sekitar tahun 2005. Sebuah film dibuat untuk mengenang beliau dengan judul "Sang Murobbi". Tidak lama lagi insyaalloh juga akan diluncurkan film "Rindu Sang Murobbi". Film Sang Murobbi mengisahkan perjalanan dakwah beliau keluar masuk kampung, bersembunyi dari rezim represif ketika itu, berbagai tantangan, ujian, masalah, ukhuwah, hingga akhirnya pada masa reformasi berdirilah Partai Keadilan yang sekarang berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera.
Nama Dahlan kami ambil dari nama seorang pendiri gerakan Muhammadiyah di Indonesia yaitu KH Muhammad Darwis Ahmad Dahlan. Pada peringatan satu abad Muhammadiyah beberapa tahun lalu sebuah film dibuat untuk mengenang beliau dengan judul "Sang Pencerah". Film Sang Pencerah menggambarkan betapa gelapnya kehidupan agama di sekitar Kraton Ngayogyokarto, bagaimana beliau berupaya mencerahkan Kauman sepulang berguru di Makkah, mengajar, melayani masyarakat, mendirikan sekolah, ditentang, langgar(surau)nya dibakar, bekerjasama dengan penjajah, mengajar di sekolah mereka, hingga akhirnya pada tahun 1912 berdirilah Persyarikatan Muhammadiyah.
Nama Asy'ari kami ambil dari nama seorang pendiri gerakan Nahdlatul Ulama di Indonesia yaitu KH Muhammad Hasyim Asy'ari. Sebuah film dibuat untuk mengenang beliau dengan judul "Sang Kiai". Film Sang Kiai mengisahkan bagaimana perjuangan para kiai dan santri berperan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Film ini lebih banyak mengambil setting waktu setelah berdirinya Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Penggambaran bagaimana beliau mengasuh pesantren, mengayomi para petani, membersamai mereka, memberi pengertian-pengertian kepada para santri dengan begitu lembut, hingga ditangkap penjajah karena tidak mau melakukan Seikerei, membentuk Masyumi, menjadi menteri agama, menerima kunjungan pejuang-pejuang kemerdekaan, memberangkatkan para santri berjihad mengusir penjajah melalui Laskar Hizbulloh, sampai akhirnya wafat membuat penonton merasa rindu dengan sosok kiai seperti beliau.
Sesungguhnya kita ini memiliki tiga bapak: pertama; bapak kandung kita, kedua; yang menikahkan putrinya dengan kita, ketiga; yang mengajari ilmu pada kita. Ayah saya Nahdlatul Ulama, mertua saya Muhammadiyah, guru saya Tarbiyah (PKS). Melalui tulisan ini kami hanya meminta Al-Fatihah dan doa dari ikhwah sekalian, tolong mohonkan pada Alloh, semoga kelak 'Abdullah Dahlan Asy'ari berserta anak keturunannya Alloh jadikan sebagai bagian dari pengawal bangkit dan bersatunya umat Islam di negeri Indonesia. Tentunya dunia ini akan indah saat ada bumi, matahari, dan bulan yang beredar dan bertasbih dalam ketundukan pada-Nya. Wallohul muwaffiq ila aqwamith thoriq, albirru manittaqo, fastabiqul khoirot, allohu a'lam bish showab, wal 'afwa minkum, wa akhiru da'wana alhamdulillahi robbil 'alamin. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar