Jika sebelumnya kita pernah membahas
"Kenapa Halaman Masjid Agung di Jawa Ditanami Pohon Sawo?" Kali ini akan coba kita gali kenapa di lingkungan masjid jami' selain masjid
agung juga ditanami pohon sawo. Adakah hubungan antara pohon sawo di masjid
agung dengan pohon sawo di masjid-masjid jami'?
Kisah bermula dari peristiwa Perang
Diponegoro yang oleh orang Jawa dikenal dengan Perang Sabil. Konon untuk
mengubur jejak Mataram Islam salah satunya para penulis sejarah sengaja
menyebut bahwa Perang Diponegoro dilatarbelakangi perebutan kekuasaan di Kraton
Ngayogyakarta (Pangeran Diponegoro merupakan anak raja yang tak berkesempatan
naik tahta) dan dipicu penggusuran makam leluhur Pangeran Diponegoro oleh
Belanda, jauh dari makna Sabil yang maksudnya fii sabilillah (di jalan Alloh,
jihad membela agama). Jika didalami sejatinya Perang Diponegoro 1825-1830
disulut oleh adanya intervensi Belanda terhadap paugeran Kraton Ngayogyakarta.
Setelah memecah Kerajaan Mataram menjadi dua: Ngayogyakarta dan Surakarta,
Belanda menyisipkan misi Zendingnya menggeser penerapan adat-adat Islam di lingkungan
Kraton. Kita tidak bisa memastikan misi Zending Belanda itu benar misi
pengkabaran Injil atau ajaran lain karena yang ternampak di Tugu Jogja hingga
kini justru stempel Bintang David / Bintang Daud / Segienam Israel / Yahudi /
Theosofi, bukan Salib yang lazim sebagai simbol Nasrani penganut Injil.
Pangeran Diponegoro lari dari Kraton lalu
mengadakan perlawanan dari luar istana dengan menggalang kekuatan para ulama,
priyayi, rakyat, dan santri. Lebih dari separuh Kerabat Dalem Kraton yang
terdiri dari para pangeran mendukung perjuangannya. Usai perang yang menewaskan
hampir separuh penduduk Yogyakarta ketika itu, beliau Pangeran Diponegoro
memerintahkan para pengikutnya untuk menyebar ke berbagai pelosok negeri.
Mereka ini membawa satu ciri yang sama yaitu selalu menanam pohon Sawo Kecik di
lingkungan masjid yang mereka tinggali.
"Podho nanduro sawo kecik"
berarti tanamlah oleh kalian pohon Sawo Kecik. Kalimat ini sebenarnya merupakan
sebuah "wangsalan" yang bermakna podho nanduro samubarang kang sarwo
becik (sawo kecik) alias tanamlah oleh kalian segala hal yang senantiasa baik
(selalu dan hanya kebaikan).
Selain pesan untuk menebar dan menanam
kebaikan, Sawo merupakan sebuah akronim dari perkataan "SAmi'naa Wa
athO'naa". Sami'naa wa atho'naa menjadi pilihan satu-satunya para prajurit
yang menerima perintah dari pimpinan. Ketika pimpinan memerintahkan
"Showwuu shufufakum!" maka prajurit menjawab dengan "Sami'naa wa
atho'naa".
"Luruskanlah barisan-barisan
kalian!"
"Kami dengar dan kami taat!"
Jadi hampir sama dengan alasan keberadaan
pohon sawo di masjid agung jawa, dilestarikannya pohon sawo di masjid jami' ini
terkait permasalahan alqiyadah wal jundiyah. Ya, sekali lagi pohon sawo di
masjid-masjid jami' jawa mengingatkan kita pada salah satu prinsip kepemimpinan
dalam islam yaitu Tho'ah atau ketaatan.
Bisa kita simpulkan bahwa Sawo di
Masjid-masjid Agung Jawa dengan Sawo di Masjid-masjid Jami' Jawa memang
memiliki kaitan yang sangat erat terutama dalam hal hierarki kepemimpinan.
Masjid Agung Kraton menjadi masjid besar di ibu kota kesultanan, masjid-masjid
jami' menjadi masjid satelit atau masjid perwakilan untuk menampung umat Islam
di wilayah geografi yang tak terjangkau masjid agung. Masjid jami' dan beberapa
masjid pathok negoro berada dalam satu komando kesultanan/ kerajaan. Masjid
jami' membawahi beberapa musholla, langgar atau surau sebagai pusat kegiatan
keagamaan sehari-hari masyarakat, termasuk pesantren.
Bisa kita lihat shof umat Islam begitu rapi
dengan jenjang komando terstruktur kala itu. Hingga keluar sabda raja 2015 oleh
Sri Sultan HB X yang menuai pro dan kontra, seluruh sultan Kraton Ngayogyakarta
dahulu bergelar Sayyidin Panatagama Khalifatullah ing Ngayogyakarta Hadiningrat
yang berarti penghulu pemegang urusan agama sekaligus perwakilan Alloh di
Yogyakarta. Di atas kesultanan ada khalifah yang memegang pucuk pimpinan umat
Islam di seluruh dunia. Khalifah terakhir yang membawahi seluruh kesultanan
Islam di dunia ialah Khalifah 'Abdul Majid II. Khilafah Utsmaniyyah yang
berpusat di Turki akhirnya tumbang pada tahun 1924 (tepatnya tanggal 3 Maret 1924) atas inisiasi Kemal Attaturk
sebagai tokoh utama dan dukungan musuh-musuh Islam di belakangnya. Meskipun
sempat para ulama membentuk komite khilafah pasca digantikannya khilafah
islamiyah dengan demokrasi, semangat mengembalikan khilafah itu luntur dengan
adanya masalah-masalah dan konflik di banyak wilayah. Tanpa khilafah hingga
kini shof umat islam tercerai berai bagai anak ayam kehilangan induk.
Kembali ke tanah Jawa. Pada masa dahulu
hanya masjid agung dan masjid-masjid jami' yang boleh menyelenggarakan sholat
jum'at. Sampai saat ini sebagian masyarakat muslim wilayah Jawa Tengah masih
memegang kode etik otoritas tersebut. Selain ritual ibadah, sholat jum'at juga
menjadi salah satu apel konsolidasi umat Islam. Dari wasiat takwa hingga wasiat
amanat khalifah disampaikan oleh khatib melalui mimbar-mimbar masjid jami'.
Sholat jumat sangat kental dengan nuansa
"sami'naa wa atho'naa". Di masjid-masjid jaringan Sawo Kecik hingga
kini masih ada kebiasaan yang mungkin dianggap bid'ah oleh sebagian umat Islam
kekinian yaitu sebelum khotib naik mimbar sang muadzin memberikan pesan kepada
jama'ah mengenai fadhilah jum'at, pentingnya diam, mendengar, dan taat. Setelah
itu muadzin akan menyerahkan tombak/ tongkat kepada khotib sebagai simbol
otoritas dari khalifah. Baru setelahnya sholat Jumat dimulai dengan salam dari
khotib diikuti kumandang adzan muadzin.
Prosesi serah terima tombak/ tongkat itu
barangkali tak lagi menggetarkan hati umat Islam mutakhir tentang pentingnya mendengar
dan taat pada pimpinan resmi. Sekalipun banyak riwayat mengenai tongkat yang
dipegang khatib saat sholat jumat baik di masa Rosululloh maupun para khulafaur
rasyidin serta para pengikutnya, kini banyak masjid tak menjadikannya sunnah.
Bahkan para pemuka masjid yang masih mempertahankannya bisa jadi dianggap kolot
dan klenik. Akhirnya prosesi itu banyak dihapus karena dianggap tanpa dalil,
tidak perlu, dan menambah-nambahi ritual sholat Jumat. Sempurnalah keruntuhan
sendi-sendi kepemimpinan umat Islam. Sholat Jumat sebatas ibadah mahdhoh.
Sekarang mungkin Anda tahu kenapa di ibu
kota negara kita sampai ada kebijakan "pantau ceramah para khotib".
Di masjid-masjid kampus juga begitu. Di Mesir pun begitu semenjak
digulingkannya Muhammad Mursi, para khotib disortir afiliasinya. Di masa
Presiden Soeharto "penertiban" itu juga dilakukan namun dengan halus.
Umat islam dirapikan garis komandonya tapi dipegang pucuk pimpinannya. Beliau
dirikan DMI, ICMI, MUI, BKPRMI, dsb untuk memudahkan kontrol terhadap umat
islam. Sebenarnya pak Harto itu sosok pemimpin yang baik, pandai, dan cakap
mengelola kekuasaan. Sayang ketika beliau mulai dekat dengan umat islam dan
mulai ingin memajukan industri dalam negeri, ada yang tidak suka. Mereka yang
tidak suka ini memiliki motivasi berbeda-beda namun bekerja sama menjalankan
aksi yang sama: "Lengserkan Soeharto!"
Sawo Kecik tinggal sawo kecik, tak lagi
melambangkan garis komando apapun. Sekarang zaman demokrasi, semua orang boleh
membangun masjid, langgar, dan musholla. Semua masjid boleh mendirikan sholat
Jumat, bahkan satu kampung dua mimbar sudah biasa. Khotib dan imam bisa siapa
saja. Entah ini tanda kebangkitan atau kehancuran.
Nasta'inu billah...
Allohu a'lam...
3 komentar:
Allahu akbar
Allahu akbar
Allahu akbar
Posting Komentar