Kenapa Saya Memilih Harda-Danang di Pilkada Sleman 2024?

Kenapa Saya Memilih Harda-Danang di Pilkada Sleman 2024?

Oleh Akhid Nur Setiawan

Jangan berharap tulisan ini akan memuji salah satu pasangan lalu menjelekkan pasangan yang lain atau mengunggulkan visi misi dan program salah satu pasangan dibandingkan pasangan lain.

Berikut ini kami sampaikan alasan saya pribadi kenapa memilih Harda-Danang sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sleman 2024:

1. Pilih Harda-Danang karena pasangan ini yang diusung oleh PKS

Ya, alasan paling sederhana saya memilih Harda-Danang ialah karena merekalah yang akhirnya diusung oleh PKS dalam Pilkada Sleman 2024. Memang sempat tarik ulur, bahkan dianggap oportunis karena main dua kaki, tapi akhirnya PKS memilih Harda-Danang. Maka pilihan saya sederhana: ikut pilihan PKS.

Kenapa mas? Masnya kader PKS ya? Iya. Kalaupun panjenengan bukan kader PKS tapi simpati, atau termasuk dalam kelompok orang yang percaya pada fatwa-fatwa politik PKS, ikut saja.

Taklid dong mas? Ya, sama seperti taklidnya kita pada para imam madzhab, para ulama, atau para kiai. Posisi PKS seperti mereka? Bukan begitu Kang. Para imam, ulama, kiai kita anggap lebih tahu bab agama ini dibandingkan kita pribadi, maka kita ikut saja dengan mereka.

Nah, urusan politik ini bukan sekedar berita-berita yang muncul di televisi atau berseliweran di gadget kita kan? Ada praktisi yang bersinggungan langsung, mencelupkan diri dalam dinamika hiruk pikuknya, pengetahuan dan pengalaman mereka jauh lebih mumpuni dibandingkan kita. Maka, ikuti saja mereka.

Kalau kita merupakan pribadi yang tidak berafiliasi dengan partai atau ormas yang terbiasa berstrategi dalam politik, silakan pilih sesuai preferensi pribadi. Nanti di akhirat kita boleh menjawab bahwa kita sudah berusaha memilih pemimpin yang terbaik.

Kalau kita sedang berada dalam partai atau ormas yang melibatkan diri dalam strategi politik untuk kemaslahatan masyarakat dan umat, pilihlah pemimpin juga secara berjamaah. Kelak di akhirat kita boleh menjawab bahwa kita sudah berusaha mengambil langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan untuk umat, bukan semata berhenti pada urusan memilih pemimpin.

Kenapa begitu? Karena partai dan ormas punya posisi tawar pasca pemimpin terpilih dilantik. Seburuk apapun pemimpin yang akhirnya terpilih, partai atau ormas ini tidak hanya bisa nelangsa menyikapinya. Mereka akan melanjutkan perjuangan dengan strategi-strategi lain demi tegaknya keadilan, demi terwujudnya negeri yang baik dalam ampunan Tuhan.

So, jika panjenengan percaya PKS, pilihlah pilihannya PKS: Pilih Harda-Danang. 

2. Pilih Harda-Danang karena hampir semua partai yang memiliki kursi di DPRD Sleman mengusung pasangan ini

Adanya perubahan aturan syarat calon bupati dan wakil bupati akhirnya membuat Kustini-Sukamta tetap bisa maju dalam kontestasi Pilkada Sleman 2024 hanya dengan PAN dan partai-partai lain yang tidak memiliki kursi di DPRD Sleman. Jika aturannya tidak berubah, mungkin Kustini-Sukamta hanya bisa maju melalui jalur calon independen.

Artinya apa? Seluruh partai yang ada di DPRD Sleman hampir semuanya tidak menghendaki Kustini kembali menduduki kursi bupati. PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PKS, Nasdem, dan PPP menginginkan bupati baru untuk Sleman. Hanya PAN sendiri yang menginginkan Kustini menjabat kembali.

Tanpa perlu mengetahui dramanya seperti apa, ikutilah pilihan partai-partai ini. Koalisi besar telah menjadi semacam aklamasi evaluasi atas kepemimpinan Kustini selama ini. Apapun partai panjenengan sekarang, pilihlah Harda-Danang.

Bila boleh sok tahu, koalisi ini adalah sebentuk kemampuan Harda-Danang merangkul semua pihak yaitu Gerindra-Golkar, PDIP-PPP, dan PKS-PKB-Nasdem yang ketiganya berada di belakang capres cawapres berbeda dalam PILPRES 2024.

Menjadi semakin menarik saat isu yang mereka angkat ialah hentikan politik dinasti yang dilawan dengan isu tirani mayoritas. Kedua pasangan mengaku membela kepentingan rakyat. Sayangnya Pancasila memakai istilah “permusyawaratan perwakilan” untuk mengakomodasi kepentingan rakyat itu, sehingga keberadaan suara partai di parlemen bisa dibilang jauh lebih advokatif dibandingkan suara rakyat perorangan.

Jadi, jika ingin suara rakyat lebih powerfull, jadikan partai-partai di DPRD Sleman sebagai amplifier. Bagaimanapun, kebijakan-kebijakan publik yang bersifat sistemik perlu didasari statistik, tidak semata-mata kasuistik. Teman saya mengistilahkan, anggota dewan itu “genter”nya masyarakat. Mereka itu galah, tongkat untuk menggapai sesuatu yang mungkin di luar jangkauan masyarakat secara umum.

Maka, kalau pemilu kemarin panjenengan memilih salah satu calon anggota dewan dari partai koalisi pengusung Harda-Danang (PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PKS, Nasdem, PPP, Partai Gelora, Partai Buruh, PSI, Partai Ummat, dan Partai Demokrat), kalah ataupun menang, pilihlah lagi calon bupati dan wakil bupati yang mereka usung sekarang: Pilih Harda-Danang.

3. Pilih Harda-Danang karena Kenalan dan Kedekatan

Ini hanya judul saja. Jika saya ditanya, lebih kenal Kustini-Sukamta atau Harda-Danang tentu kami sekeluarga lebih kenal dekat dengan Kustini-Sukamta. Bagaimana tidak, pak Sri Purnomo mantan Bupati Sleman sekaligus suami bu Kustini pernah hadir dan berfoto dalam acara pernikahan kami. Beliau juga yang terakhir datang menyolatkan jenazah ibu kami sebelum dimakamkan.

Pak Sri Purnomo merupakan teman kuliah paklik kami. Mereka bertemu dan mengobrol dengan bahasa Jawa “ngoko” layaknya kita saling berbicara dengan teman main kita. Tapi rasanya itu semua tidak lantas membuat politik jadi melodramatik.

Bapak saya berlatar keluarga NU, bapak mertua saya berlatar keluarga Muhammadiyah. Dalam Pilkada sebelumnya, kami memilih tiga calon pasangan yang berbeda, begitu juga Pilkada sebelum-sebelumnya. Pilkada kali ini, baik NU maupun Muhammadiyah mengalami polarisasi yang sama: ada yang ke Kustini, ada yang ke Harda. Lalu bagaimana? 

Tenang saja. Semakin dewasa masyarakat kita, semakin matang demokrasi kita, semakin terbuka dan menerimalah saat kita memiliki pendapat dan pilihan yang berbeda. Jadi jika panjenengan merasa dekat dengan salah satu pasangan calon dan itu cukup menjadi alasan untuk menentukan pilihan, silakan.

Tapi ketika pertimbangan kita bukan lagi keluarga atau kedekatan tapi kemaslahatan, pilihlah yang sekiranya lebih dekat dengan yang diharapkan. Toh, amanah kepemimpinan itu dari Tuhan. Siapapun yang memimpin, kemuliaan yang didapat sesungguhnya juga dari Tuhan. Saat menjadi pemimpin pun akhirnya mereka bukan hanya memimpin masyarakat yang memilihnya tapi semua masyarakat yang ada di wilayahnya, baik yang mendukung, menolak, membenci, cuek, maupun yang mencintainya.

Jadi, kalau panjenengan merasa tidak dekat dengan salah satu pasangan calon, tanyalah pilihan pada orang-orang yang sekiranya dekat dengan mereka, kenal mereka, tahu rencana-rencana mereka, tahu siapa yang menyisipkan agenda pada mereka. Orang ya, bukan berita. Jika tidak ada, silakan ikuti pendapat saya: Pilih Harda-Danang.

4. Pilih Harda-Danang karena anti Miras

Saat saya membuat status WA mengenai Harda-Danang, datanglah pesan WA dari teman-teman untuk menanyakan. Ada yang mengirim video yang katanya hasil investigasi mengenai keterlibatan kartel miras sebagai sumber pendanaan. Ada yang bilang masih ragu. Ada yang menanyakan kebenaran berita yang diperbincangkan. Saya hanya menjawab WA dari teman-teman dengan emoticon tangan salim di depan dada 🙏🏼 yang saya maksudkan bahwa saya tak tahu apa-apa, silakan cari sendiri kebenarannya.

Posisi saya waktu itu sedang berada di ballroom kantor DPW PKS DIY bersama kader-kader dari seluruh Sleman. Kami menghadiri munajat kemenangan yang dipimpin oleh KH Abdul Aziz Abdur Rauf, Lc. Al Hafizh. Ketiklah nama itu di laman pencarian peramban internet. Hadir pula di sana Ketua DPW PKS DIY, Ketua DPD PKS Sleman, Ketua Fraksi PKS DPRD Kabupaten Sleman, dan calon bupati Sleman 2024 nomor urut dua: Harda Kiswaya.

Sepertinya pak Harda sudah tahu mau ngomong apa. Beliau berbicara basa-basi sebagaimana politisi pada umumnya lalu mengakhiri dengan klarifikasi berita. Berita apalagi kalau bukan isu kartel miras itu. “Saat saya jadi Sekda (Sekretaris Daerah), saya banyak menutup toko-toko miras ilegal bersama kepolisian. Jadi ramai seperti ini kan setelah saya pensiun tidak jadi Sekda lagi,” kurang lebih begitu kelakarnya yang disambut riuh tawa hadirin.

Harda membantah kekhawatiran masyarakat yang mengatakan bahwa jika dia jadi bupati, Sleman akan jadi surga miras. Insyaallah itu tidak akan terjadi. Dia justru berkomitmen akan melakukan penegakan hukum dan penertiban peredaran miras bersama kepolisian, bahkan ingin melibatkan pihak militer.

Ah, itu kan janji politisi, semua pasangan calon juga bisa mengatakannya. Ya, namun yang jadi pertanyaan berikutnya adalah, “Memangnya untuk apa PKS mau berkoalisi?” Strategi politik PKS tentu bukan strategi partai kemarin sore yang mudah tergiur janji politisi atau mencari kenyang dengan jabatan dagang sapi.

Seorang ustadz pernah mengatakan, “Selama masih ada pemimpin yang mau mendengar nasihat saya, saya tidak perlu masuk politik.”

PKS “masuk” ke politik untuk berebut pengaruh. Calon pemimpin kuat ini harus diarahkan agar kehadirannya membawa kemaslahatan. Agenda-agenda dakwah harus dititipkan. Amar makruf nahi mungkar harus diselipkan. Jadi PKS hadir bukan sekedar ikut-ikutan.

Suatu saat kami pernah berkendara bersama teman kuliah ibu kami yang menjadi salah seorang kepala daerah di Sumatera. Saat kami menuju Malioboro ibu mewawancara temannya terkait pengalamannya menjadi kepala daerah. Dia bilang, “Nggak! Nggak lagi-lagi, berat!”

Diceritakanlah bagaimana ia harus menciptakan rasa aman di wilayah yang ia pimpin selama kepemimpinannya dengan “menjamu makan malam” para pemimpin preman, mengajak mereka ngobrol di warung sate. “Mereka hanya perlu dirangkul, dihargai. Alhamdulillah, bermodal makan sate bareng akhirnya wilayah kami menjadi relatif aman pada saat itu,” katanya.

Tak ada kepemimpinan yang bisa menjamin baiknya semua orang di wilayah yang dipimpinnya. Dan kalaupun kejahatan tetap ada, pemimpinlah yang bertanggung jawab mencari jalan bagaimana caranya agar kerusakan yang terjadi tidak meluas atau merajalela.

Tentu amar makruf nahi mungkar di wilayah publik ini ada kaidahnya, ada strateginya, ada tahapan-tahapannya. Salah langkah sedikit saja, harapan perbaikan bisa menyulut kerusakan yang jauh lebih besar dan menjadi semakin sulit untuk memadamkannya.

Dalam dunia yang serbaneka ini, ada pertimbangan-pertimbangan pilihan yang bukan hanya Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram sebagaimana dalam beragama. Ada pertimbangan mashlahat mafsadat yang tidak hanya hitam putih, banyak abu-abunya. Abu-abu agak hitam dan abu-abu agak putih tidak selalu nampak berbeda jika bukan orang yang jeli, terlatih, berpengalaman, dan berada di dekat warna sesungguhnya.

Ketahuilah, menjadi pemimpin itu berat, istighfar dan munajatnya harus lebih banyak dari imam masjid yang sehari lima kali memimpin shalat. Dia sangat butuh nasihat, tadzkirat penguat dari orang-orang dekat. Hajatnya akan doa umat juga berlipat-lipat. Tak heran seorang ulama mantan preman mengungkapkan, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, akan aku tujukan doa itu untuk pemimpinku.”

Saran saya, jangan jadikan memilih pemimpin ini sekedar tanggung jawab pribadi, jangan jadikan sekedar pertaruhan menang kalah kontestasi, jadikanlah Pilkada ini salah satu strategi agar kalimat Allah menjulang tinggi tak tertandingi.

Terakhir…

Tidak ada pemimpin terbaik sepanjang masa.

Yang ada hanyalah pemimpin yang tepat di saat yang tepat.

Bismillah, insyaallah Rabu 27 November 2024 kita coblos nomor DUA.

Jangan lupa ajak masyarakat, sanak kerabat, dan tetangga dekat.

Harda-Danang! 

Menang! Menang! 

✌🏼


Hanya Berharap Syafaat

AL FATIHAH UNTUK SEMUA USTADZ

Oleh Akhid Nur Setiawan

“Sehebat apapun Engkau saat ini, jangan pernah lupakan ustadz kampung yang dulu pernah mengajarimu mengaji.”

Melihat video Hadad Alwi & Sulis melantunkan shalawat di sebuah konser musik hingga penonton larut dalam kerinduan pada Nabi (yang terlampir tautan videonya beserta tulisan ini), rasanya jadi sangat-sangat rindu pada Nabi. Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad.

Sekitar dua puluh tahun lalu saya pernah merasakan kangen sekali ingin bertemu Nabi. Sebagai pemuda yang terjebak di antara orang-orang “pintar” hobi berdebat dengan umat yang memanggil-manggil merintih meminta ditemani, ingin rasanya hamba jelata ini dipeluk oleh Nabi, ingin rasanya mengadu, ingin sekali rasanya Nabi ada di sini.

Rasanya ingin bertemu tapi malu, tapi sepertinya lebih tak peduli lagi dengan itu. Karena saya yakin bahwa Nabi bukanlah kita yang suka bernada tinggi, bukanlah kita yang tatapannya bengis tak berperi, bukanlah kita yang mulutnya cemberut siap menghakimi, bukanlah kita yang hafal ayat dan hadits lalu merasa berhak menentukan surga dan neraka berdasarkan kriteria itu dan ini. Dialah Nabi yang hadirnya saja sudah rahmat untuk apa dan siapa saja yang ada di dalam dan di luar bumi.

Tak mungkin Nabi tak menerima cinta kita, sehina apapun kita, bahkan sepalsu apapun cinta kita. Kalaupun Nabi melarang ini, tidak suka itu, memperingatkan ini, mengancam itu, tentulah semata karena Nabi cinta pada kita. Lalu saat kita berlinang dosa, jika bukan kepadanya, kepada siapa lagi kita minta dibela dihadapan-Nya? 

Ketika kenangan masa lalu diputar kembali, kira-kira melalui siapa kita dulu bisa mengenal Nabi? Ah, tentu bukan kebetulan saat di siang hari kami melewati bangunan yang dulu menjadi tempat di mana saya dan teman-teman diajari Iqro oleh para ustadz lalu di malam harinya kami menemukan linimasa media sosial berisi video Hadad Alwi. Ya Allah, rahmatilah guru-guru kami.

“Dulu ayah belajar Al Quran di bangunan itu, seminggu tiga kali. Dulu ada TPA yang baru ada di situ, untuk satu kelurahan. Banyak teman-teman ngaji dari kampung lain. Sekarang hampir tiap kampung sudah ada TPA.”

Biasanya sering saya ulang bahwa dulu saya lulus SD baru hafal sampai surat ini. Dulu belum ada SDIT, belum ada ngaji-ngaji seperti sekarang. Bersyukurlah jika kalian bisa ngaji seperti sekarang ini, dan seterusnya. 

Kenapa Hadad Alwi? Mungkin mengundang kontroversi, tapi jelas tak dapat dibantah bahwa melalui kaset-kasetnya lah dahulu kami mengenal shalawat dan menyemai rasa cinta pada Nabi. Dan saat melihat video konser itu, rasanya seperti menemukan sekotak mainan penuh kenangan, ada air mata yang sulit ditahan.

“Anda yang pakai topi terbalik, Anda yang pakai anting satu, Anda yang pakai tato, Anda punya hak yang sama untuk mencintai Rasulullah,” seru Hadad Alwi di konser itu.

Allahumma shalli ‘alaa Muhammad.

Nampak seorang penonton konser menangis, menengadah, seakan benar-benar rindu pada Nabi. Potongan video itu viral. Jika dulu kita mengaji bersama, berburu tanda tangan imam tarawih bersama, jalan-jalan selepas subuh bersama, menjelajah sungai dan sawah bersama, balapan khatam Al Quran bersama, rebutan adzan bersama, shalawatan puji-pujian bersama, buka puasa bersama, lalu sekian waktu berlalu kita telah menempuh jalan yang berbeda-beda, apakah kita masih memiliki rasa yang sama?

Ketika mendengar shalawat Haddad Alwi dan Sulis, tiba-tiba saya merakan seperti yang beredar di konten-konten meme “Waktu kecil kita dulu baik-baik saja. Masalah terberat hanya saat disuruh tidur siang. Sekarang… Ternyata berat ya jadi orang dewasa.”

Ya. Ada di antara kita yang akhirnya menemukan jalan istiqomah bersama dakwah dan lingkungan agamisnya. Ada yang akhirnya menemukan dunia malam, kerasnya jalanan, dan berbagai realita kehidupan lainnya. Ada yang bergelimang harta. Ada yang akhirnya kehilangan Tuhan, dan sebagainya.

Saat mendengar lagu “Muhammadku” itu, kok kita bisa barengan ingat Nabi begini ya. Ah, Dia-lah Maha Pembolak Balik Hati. Setiap orang punya masa lalu, setiap orang insyaallah punya masa depan. Yakinlah bahwa Allah selalu ada untuk kita. “Siapa yang cinta pada Nabinya, pasti bahagia dalam hidupnya,” pesan lagu itu.

Sekarang ini kemaksiatan, minuman keras, judi, kekerasan, kerusakan moral, dan berbagai penyimpangan asusila semakin merajalela. Tapi ketahuilah bahwa agama ini tak kalah tumbuh juga di mana-mana. Lihatlah kabar masjid-masjid di Eropa dan Amerika. Atau lihatlah satu masjid kampung yang lima belas tahun lalu shafnya hanya satu dua, kini nyaris selalu penuh sampai teras-terasnya.

Di tengah kekhawatiran rusaknya generasi, selalu ada harapan, percayalah. Setiap bertemu dai yang mengeluhkan anak-anak yang beranjak dewasa lalu sudah tidak mau ke masjid, saya gembirakan mereka dengan rasa optimis bahwa insyaallah suatu saat mereka akan kembali. Entah saat mereka sudah menikah, saat sudah memiliki anak, saat usia semakin senja, atau kapanpun Allah menghendakinya.

Bacaan-bacaan doa, hafalan-hafalan surat, selintas ejaan ayat, atau kebaikan apapun yang telah kita ajarkan pada mereka, insyaallah tidak akan sia-sia. Semenjengkelkan apapun mereka, selama lisan dan hatinya pernah merapalkan Al Quran, sadar ataupun terlena, rela maupun terpaksa, percayalah, bacaan itu tetap akan ada dalam salah satu ruang di hati mereka. Tinggal menunggu waktu, insyaallah kita akan bersenandung bersama.

Terima kasih untuk semua ustadz. Bismillah, A Ba Ta, dan potongan ayat yang kalian ajarkan akan terus mengalir hidup di tengah-tengah umat. Setenggelam apapun dalam maksiat, semoga salah satu ayat bisa menjadi sebab kita masih mendengar seruan Nabi Muhammad saat Baginda memanggil kita di akhirat, untuk diberi syafaat.

Video Hadad Alwi dan Sulis dalam Konser Synchronizefest 2024: https://youtu.be/6H7fa0msEKI?si=D6F2YWZJ1ayat-ay


Sang Kakek Pemasok Tikus Mencit dan Dua Pemuda Berkacamata

 DISTRAKSI

Oleh Akhid Nur Setiawan

Seorang kakek pemasok tikus mencit untuk penelitian di sebuah laboratorium membawa tikus-tikusnya dari desa ke kota menaiki angkutan umum. Di perjalanan ia terus menerus diamati oleh dua orang pria muda berkacamata yang duduk di bangku seberang.

“Cat cit cat cit wae kit mau, mbahe kae nggowo opo yo Min, neng njero bagor?” bisik Denis pada Yamin.

“Tikus paling Nis. Cobo takono!”

“Permisi Pak. Perkenalkan saya Denis, dan ini teman saya Yamin. Mohon izin bertanya,” Denis memberanikan diri bertanya pada kakek berkumis dengan topi koboi yang nampak seram itu.

“Oh, nggih Mas. Monggo. Perkenalkan, saya Jarwo. Pripun?”

“Itu lho Pak. Kalau boleh tahu Bapak membawa apa di dalam karung? Kok dari tadi bunyi cit cit cit. Dan setiap mau berhenti berbunyi, saya lihat Bapak terus menggoyang-goyangkan karungnya lalu jadi berisik lagi,” tanya Denis sambil menunjuk karung yang dibawa pak Jarwo.

“Oalah, ini to Mas. Maaf ya Mas. Ini tikus mencit untuk percobaan di laboratorium!” jawab pak Jarwo.

“Loh loh loh, ndak bahaya ta?” Yamin menyahut kaget dengan logat khasnya.

“Tenang Mas, justru kalau berisik begini tandanya semua sesuai rencana.”

“Maksudnya bagaimana Pak?” tanya Denis penasaran.

“Kalau tikus-tikus ini sampai diam, berarti mereka sedang berusaha mencari jalan keluar dari karung. Lengah sebentar saja Mas, karungnya bisa jebol mereka gigiti. Makanya sebentar-sebentar saya goyangkan karungnya biar mereka berisik, berkelahi satu sama lain, tidak sempat mikir untuk nyari jalan keluar.”

“Oo…” Denis dan Yamin sama-sama mengangguk sambil mengerutkan dahi.


-----***-----


Seberapa sering pikiran kita seperti tikus-tikus itu? Ketika kita sedang mulai konsentrasi sedikit, ternyata ada saja gangguan yang datang. Saat kita baru mulai enjoy mengerjakan suatu rencana, tiba-tiba ada saja kejadian mendadak di luar rencana. Atau pernah kita fokus sekali pada sebuah visi, sudah menjabarkannya juga dalam misi-misi, strategi, program, bahkan rancangan kegiatan, eh ada tawaran menarik dari seorang kawan.

Bagaimana cara meraih ketenangan jiwa, sehingga sekalipun raga dan pikiran kita berkecamuk terbentur masalah di sini dan di sana, hati kita tetap dalam kondisi kokoh untuk menjalaninya? Bagaimana kita berusaha tidak semata melalui badai dengan tenang namun terus bisa mencari jalan keluar di tengah guncangan-guncangan yang terjadi?

Bismillah. Miliki segera buku “Meraih Ketenangan Jiwa” karya ustadzah Linda A. Zaini, penulis buku best seller “Parenting Langit” dengan membalas WhatsApp ini https://wa.me/6289629766108. Bisa juga dengan menghubungi nomor atau mengunjungi tautan yang tertera dalam foto yang kami sertakan di pesan ini.

Barakallahu fikum.

https://belanja.merapimengaji.com/bukulinda



Wafatnya Ustadz Cholid Mahmud

HARUS PERGI


Oleh Akhid Nur Setiawan


Ahad 29 Oktober 2023 foto beliau kembali banyak beredar di media sosial. Sayangnya keramaian itu bukan karena beliau dicalonkan lagi untuk menjadi anggota DPD RI mewakili masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto-foto beliau tersebar beriring ucapan belasungkawa. Telah tunai amalnya di dunia: ustadz Cholid Mahmud "Kopyah Putih".


Kopyah Putih kini dikenakan oleh H. Ahmad Khudhori, Lc. yang insyaallah nama dan fotonya akan tercantum di surat suara Pemilu 2024. Generasi pengganti itu harus dipersiapkan. Dengan ataupun tanpa rencana, yang dipastikan ialah selalu ada upaya, biar Allah tunjukkan jalan-jalannya. "Kelak saya akan tidak bisa lagi," mungkin semestinya kalimat itu ada di dalam pikiran setiap da'i.


Perjuangan yang tiada henti dan berharap di jalan itu kita mati tak boleh menjadikan kita mengutamakan diri sendiri, merasa bahwa hanya kita pribadi yang bisa melalui perjuangan ini. Ingin syahid sendiri tanpa mempersilakan seribu tunas pengganti sama saja menginginkan kafilah perjuangan lekas berlipat kaki. Setiap kali keluar rumah, seorang da'i selalulah siap untuk tak kembali. Ditulisnya wasiat, ditinggalkannya jejak, disemainya mimpi, agar sepeninggal nanti para generasi penerus tak perlu meratap duka berhari-hari.


Usia dakwah lebih panjang dari usia da'i. Di silih berganti datang dan perginya para da'i, ada saja cara Allah mempertahankan nafas dakwah agar tak berhenti. Dalam terang maupun tersembunyi, para da'i seperti memiliki kesepakatan hati ke hati: "Kamu di sana, aku di sini, sewaktu-waktu bisa bertukar posisi atau saling menjadi ganti, siapapun yang lebih dulu menghadap Ilahi"


Memang tak harus urut senioritas, hanya saja keterbatasan nalar manusia memaksa orang tua menyiapkan pengganti yang lebih muda. "Telur ayam itu kalau mau menetas ya harus diengkremi."


Setelah dierami, anak-anak ayam yang sudah menetas dan cukup masa akan "dipendeli", diusir, disuruh pergi menjalani kehidupan sendiri.


Dengan ekspresi wajah yang kurang lebih sama sebagaimana dimanapun bertemu, beliau melepas kami, "Saya justru senang antum semua sudah tidak akan di sini lagi. Orang-orang baik itu harus menyebar, tidak boleh hanya berkumpul di satu tempat. Bangunan itu bisa kokoh bukan karena tiang besar di satu titik tapi banyaknya tiang yang menopang beban di banyak titik."


Layaknya orang tua yang begitu mengerti bahwa ada fase-fase normal yang harus dijalani seorang anak, yang oleh orang-orang terdahulu juga pernah dilalui, kami dibuat gagal dramatis mengakhiri kebersamaan sebagai murid dan guru. Buang jauh bayangan video penuh tangis di acara wisuda yang marak hari-hari ini.


Tatap mata yang menyiratkan tsabat, bahwa pekerjaan kita banyak, sederhanalah berpikir, jalani saja, tidak perlu diambil hati, lepas melintas seraya berpesan, "Saya pergi dulu, kalau saya di sini terus nanti antum tidak bisa berkembang, tidak segera mandiri. Masalah-masalah dan segala dinamika yang terjadi memang harus dihadapi. Semakin banyak mengalami benturan, insyaallah antum semua akan semakin banyak belajar."


Selamat jalan syaikhona. Selamat berjumpa dengan ar rafiq al a'la.

SPEAKER AKTIF KADER SENIOR PKS

ROMAITA

Oleh Akhid Nur Setiawan

" …dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar… " (Al Anfal 17)

Mungkin kita sudah sering mendengar kisah atau melihat video sebuah tank tempur penjajah meledak begitu saja saat diketapel oleh bocah intifadhah. Mungkin kita juga pernah mendengar cerita santri yang melihat kiai nya mengambil tanah lalu melemparkan tanah itu ke langit yang sedang dilalui pesawat tempur penjajah dan dhuarr! Ya, serupa saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta sahabat Ali bin Abi Thalib mengambilkan segenggam pasir untuk dilemparkan ke arah musuh sehingga tak ada satupun musuh yang matanya tidak terkena pasir itu.

Tombak, pedang, anak panah, dan perangkat apapun yang digerakkan kaum muslimin untuk melawan musuh-musuh Allah, hakikatnya bukan kaum muslimin yang melempar tapi Allah-lah yang melempar. Jangan pernah ragu melempar ke arah musuh sekalipun yang kita lempar hanya segenggam kerikil. Yakinlah semua itu akan tepat sasaran karena Allah yang menginginkannya tepat sasaran.

Allah bisa mengutus angin, hujan, dan tentara-tentara yang tak kasat mata untuk meniupkan rasa gentar lalu memporak-porandakan pasukan musuh. Selain itu ternyata Allah juga memasukkan ikhtiar melempar ke arah musuh sebagai bagian dari pertolongan-Nya untuk mendatangkan kemenangan. Sesederhana melempar batu yang secara teknis peluangnya kecil sekali untuk bisa memukul jatuh pesawat musuh, jika Allah yang dibela, Allah-lah yang melemparnya dan tak ada yang mustahil bagi-Nya.

Strategi, perlengkapan, dan keterampilan apapun yang kita kuasai, lemparkanlah, gunakan untuk memperjuangkan agama Allah. Tidak perlu menunggu harus punya ini itu, karena Allah tak butuh fasilitas lengkap sebagai alasan untuk memberikan pertolongan dan kemenangan kepada kaum muslimin, cukup: lempar. Tak ada yang boleh berani meremehkan jika seorang mujahid sudah bergerak, seremeh dan selemah apapun gerakannya, karena gerak mereka di bawah bimbingan Ilahiyah.

Seorang kader PKS senior membopong speaker aktif jadul untuk nonton bareng pengajian. Jangan meremehkan suara speaker aktif seken yang dibeli dua puluh tahun yang lalu itu. Ia memang kusam, tak bisa memutar memori USB flashdisk atau micro SD, colokannya pun harus digerak-gerakkan agar bisa menyala, tapi ia menjadi saksi bahwa sekalipun diliputi berbagai keterbatasan, kita harus terus bergerak.

Sabtu hingga Ahad 21-22 Oktober 2023 kader PKS Turi mengadakan acara menginap di masjid Bin Ghuromah. Mereka mengikuti rangkaian kegiatan Pelatihan Cinta Al Quran 3 yang diadakan oleh DPD PKS Sleman online dan offline sejak Jumat. Dalam taujihnya, ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf mengatakan, "Indonesia itu jumlah kaum musliminnya keren ya, minimal ada 200 juta, tujuh puluh delapan tahun belum pernah memimpin secara maksimal negeri ini. Kemana aja mereka?"

Bismillah. Semoga 2024 nanti akan hadir pemimpin-pemimpin yang dinantikan, yang amanah, penuh rahmah, adil, bersih dan berkah, untuk semua. AMIN.

*) Caleg DPRD Propinsi DIY dapil 6 (Sleman Utara)