Jangan Jadikan Mereka Tabulampot
Oleh Akhid Nur Setiawan
Jika kita melihat kegigihan keluarga para ulama menjalani kehidupan mereka hingga lahir permata-permata di zamannya, selain memuji atas kebesaran Allah tentu kita menjadi bertanya apakah keluarga kita juga bisa seperti mereka. Saat melihat potret sebuah keluarga yang hampir semuanya hafal Al Quran dan memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing, muncul keraguan untuk meneladani mereka setelah melihat kenyataan bahwa sampai sekarang kita belum memulai apa-apa. Apakah bisa keluarga kita meniru apa yang ada pada keluarga mereka?
Rasanya terlalu melangit mengharapkan ayam bertelur emas padahal katanya buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Wajar saja, pantas saja, tidak mengherankan, dan kalimat-kalimat lain mungkin akan muncul saat menanggapi kondisi orang tua mereka yang sudah tidak harus memulai dari awal dalam mengasuh anak. Sedangkan kita? Raihan yang terlalu tinggi kadang justru memicu kita mematahkan galah karena ia terlalu berat untuk ditegakkan. Sebenarnya bukan targetnya yang terlalu tinggi, hanya otot lengan kita yang belum kuat mengimbangi.
Kita memang bukan Maryam yang suci sehingga tak mungkin anak kita lahir langsung bisa berkata-kata. Kita memang juga bukan Aminah yang selama kehamilannya ditemani ruh para nabi sehingga anak kita dibersihkan isi dadanya oleh malaikat meskipun tidak langsung kita bersamai masa kecilnya. Kita bukan ulama, kiai, atau ustadz, bahkan santri pun bukan. Apa yang bisa kita perbuat?
Salah satu jebakan kepengasuhan ialah orang tua menginginkan hasil yang dahsyat dalam waktu yang cepat. Jadilah para orang tua kelabakan menyetarakan diri dengan orang tua dari orang-orang hebat itu. Kesenjangan "modal" yang jauh antara kita dengan mereka membuat kita ingin melahap semua teori dan tips kepengasuhan. Semua contoh dari mereka ingin segera kita praktikkan.
Inilah godaan hawa nafsu yang bisa membuat kita salah jalan. Jika nafsu yang diperturutkan, kedamaian tak akan kita rasakan sekalipun anak-anak kita kaya akan capaian. Jalan dunia yang fana kita sangka jalan Tuhan. Berpayah-payah dalam lelah tanpa arah akhirnya bisa menjerumuskan kita dalam kalimat "Sudahlah, menyerah sajalah!"
Anak-anak yang pengasuhannya terlalu dipaksakan ibarat tabulampot, ia indah dan mengagumkan tapi akan segera mati saat asupan nutrisi mereka dihentikan. Yang kita harapkan pastinya anak-anak kita tumbuh bagai pohon yang akarnya menghujam ke dalam bumi, dahannya menjulang ke langit, memberikan keteduhan, dan menghadirkan buah yang manis untuk dimakan. Ia bisa bertahan di musim panas maupun musim hujan. Ia tak akan roboh oleh angin kencang. Ia tetap bertahan sekalipun sudah tidak mendapatkan perawatan. Hingga saatnya tiba, ia akan melahirkan pohon-pohon baru yang telah menyesuaikan diri dengan kondisi lahan.
"Warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa," begitulah penggalan doa kita untuk kedua orang tua. Ya Allah, kasihilah keduanya sebagaimana mereka mentarbiyah kami sewaktu kami kecil. Salah satu makna tarbiyah ialah menumbuhkembangkan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai kesempurnaan. Yang dilakukan para orang tua pada prinsipnya sama, dengan perlahan menyiapkan anak-anak untuk bisa menanggung beban kehidupan.
Proses tarbiyah setahap demi setahap membutuhkan waktu dan tidak bisa instan. Benar, pupuk-pupuk tambahan bisa membantu mempercepat tanaman menemukan jalan keseimbangan tapi bisa juga membuat kecanduan bahkan berujung kematian. Orang tualah yang paling tahu dosis pupuk yang diperlukan. Perlakuan apa saja yang dibutuhkan agar anak kita tumbuh kokoh di segala cuaca hingga berbuah manis melebihi orang tuanya?
Mungkin buku ini jawabannya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar