HARUS PERGI
Oleh Akhid Nur Setiawan
Ahad 29 Oktober 2023 foto beliau kembali banyak beredar di media sosial. Sayangnya keramaian itu bukan karena beliau dicalonkan lagi untuk menjadi anggota DPD RI mewakili masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto-foto beliau tersebar beriring ucapan belasungkawa. Telah tunai amalnya di dunia: ustadz Cholid Mahmud "Kopyah Putih".
Kopyah Putih kini dikenakan oleh H. Ahmad Khudhori, Lc. yang insyaallah nama dan fotonya akan tercantum di surat suara Pemilu 2024. Generasi pengganti itu harus dipersiapkan. Dengan ataupun tanpa rencana, yang dipastikan ialah selalu ada upaya, biar Allah tunjukkan jalan-jalannya. "Kelak saya akan tidak bisa lagi," mungkin semestinya kalimat itu ada di dalam pikiran setiap da'i.
Perjuangan yang tiada henti dan berharap di jalan itu kita mati tak boleh menjadikan kita mengutamakan diri sendiri, merasa bahwa hanya kita pribadi yang bisa melalui perjuangan ini. Ingin syahid sendiri tanpa mempersilakan seribu tunas pengganti sama saja menginginkan kafilah perjuangan lekas berlipat kaki. Setiap kali keluar rumah, seorang da'i selalulah siap untuk tak kembali. Ditulisnya wasiat, ditinggalkannya jejak, disemainya mimpi, agar sepeninggal nanti para generasi penerus tak perlu meratap duka berhari-hari.
Usia dakwah lebih panjang dari usia da'i. Di silih berganti datang dan perginya para da'i, ada saja cara Allah mempertahankan nafas dakwah agar tak berhenti. Dalam terang maupun tersembunyi, para da'i seperti memiliki kesepakatan hati ke hati: "Kamu di sana, aku di sini, sewaktu-waktu bisa bertukar posisi atau saling menjadi ganti, siapapun yang lebih dulu menghadap Ilahi"
Memang tak harus urut senioritas, hanya saja keterbatasan nalar manusia memaksa orang tua menyiapkan pengganti yang lebih muda. "Telur ayam itu kalau mau menetas ya harus diengkremi."
Setelah dierami, anak-anak ayam yang sudah menetas dan cukup masa akan "dipendeli", diusir, disuruh pergi menjalani kehidupan sendiri.
Dengan ekspresi wajah yang kurang lebih sama sebagaimana dimanapun bertemu, beliau melepas kami, "Saya justru senang antum semua sudah tidak akan di sini lagi. Orang-orang baik itu harus menyebar, tidak boleh hanya berkumpul di satu tempat. Bangunan itu bisa kokoh bukan karena tiang besar di satu titik tapi banyaknya tiang yang menopang beban di banyak titik."
Layaknya orang tua yang begitu mengerti bahwa ada fase-fase normal yang harus dijalani seorang anak, yang oleh orang-orang terdahulu juga pernah dilalui, kami dibuat gagal dramatis mengakhiri kebersamaan sebagai murid dan guru. Buang jauh bayangan video penuh tangis di acara wisuda yang marak hari-hari ini.
Tatap mata yang menyiratkan tsabat, bahwa pekerjaan kita banyak, sederhanalah berpikir, jalani saja, tidak perlu diambil hati, lepas melintas seraya berpesan, "Saya pergi dulu, kalau saya di sini terus nanti antum tidak bisa berkembang, tidak segera mandiri. Masalah-masalah dan segala dinamika yang terjadi memang harus dihadapi. Semakin banyak mengalami benturan, insyaallah antum semua akan semakin banyak belajar."
Selamat jalan syaikhona. Selamat berjumpa dengan ar rafiq al a'la.