Kenapa Saya Memilih Harda-Danang di Pilkada Sleman 2024?

Kenapa Saya Memilih Harda-Danang di Pilkada Sleman 2024?

Oleh Akhid Nur Setiawan

Jangan berharap tulisan ini akan memuji salah satu pasangan lalu menjelekkan pasangan yang lain atau mengunggulkan visi misi dan program salah satu pasangan dibandingkan pasangan lain.

Berikut ini kami sampaikan alasan saya pribadi kenapa memilih Harda-Danang sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sleman 2024:

1. Pilih Harda-Danang karena pasangan ini yang diusung oleh PKS

Ya, alasan paling sederhana saya memilih Harda-Danang ialah karena merekalah yang akhirnya diusung oleh PKS dalam Pilkada Sleman 2024. Memang sempat tarik ulur, bahkan dianggap oportunis karena main dua kaki, tapi akhirnya PKS memilih Harda-Danang. Maka pilihan saya sederhana: ikut pilihan PKS.

Kenapa mas? Masnya kader PKS ya? Iya. Kalaupun panjenengan bukan kader PKS tapi simpati, atau termasuk dalam kelompok orang yang percaya pada fatwa-fatwa politik PKS, ikut saja.

Taklid dong mas? Ya, sama seperti taklidnya kita pada para imam madzhab, para ulama, atau para kiai. Posisi PKS seperti mereka? Bukan begitu Kang. Para imam, ulama, kiai kita anggap lebih tahu bab agama ini dibandingkan kita pribadi, maka kita ikut saja dengan mereka.

Nah, urusan politik ini bukan sekedar berita-berita yang muncul di televisi atau berseliweran di gadget kita kan? Ada praktisi yang bersinggungan langsung, mencelupkan diri dalam dinamika hiruk pikuknya, pengetahuan dan pengalaman mereka jauh lebih mumpuni dibandingkan kita. Maka, ikuti saja mereka.

Kalau kita merupakan pribadi yang tidak berafiliasi dengan partai atau ormas yang terbiasa berstrategi dalam politik, silakan pilih sesuai preferensi pribadi. Nanti di akhirat kita boleh menjawab bahwa kita sudah berusaha memilih pemimpin yang terbaik.

Kalau kita sedang berada dalam partai atau ormas yang melibatkan diri dalam strategi politik untuk kemaslahatan masyarakat dan umat, pilihlah pemimpin juga secara berjamaah. Kelak di akhirat kita boleh menjawab bahwa kita sudah berusaha mengambil langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan untuk umat, bukan semata berhenti pada urusan memilih pemimpin.

Kenapa begitu? Karena partai dan ormas punya posisi tawar pasca pemimpin terpilih dilantik. Seburuk apapun pemimpin yang akhirnya terpilih, partai atau ormas ini tidak hanya bisa nelangsa menyikapinya. Mereka akan melanjutkan perjuangan dengan strategi-strategi lain demi tegaknya keadilan, demi terwujudnya negeri yang baik dalam ampunan Tuhan.

So, jika panjenengan percaya PKS, pilihlah pilihannya PKS: Pilih Harda-Danang. 

2. Pilih Harda-Danang karena hampir semua partai yang memiliki kursi di DPRD Sleman mengusung pasangan ini

Adanya perubahan aturan syarat calon bupati dan wakil bupati akhirnya membuat Kustini-Sukamta tetap bisa maju dalam kontestasi Pilkada Sleman 2024 hanya dengan PAN dan partai-partai lain yang tidak memiliki kursi di DPRD Sleman. Jika aturannya tidak berubah, mungkin Kustini-Sukamta hanya bisa maju melalui jalur calon independen.

Artinya apa? Seluruh partai yang ada di DPRD Sleman hampir semuanya tidak menghendaki Kustini kembali menduduki kursi bupati. PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PKS, Nasdem, dan PPP menginginkan bupati baru untuk Sleman. Hanya PAN sendiri yang menginginkan Kustini menjabat kembali.

Tanpa perlu mengetahui dramanya seperti apa, ikutilah pilihan partai-partai ini. Koalisi besar telah menjadi semacam aklamasi evaluasi atas kepemimpinan Kustini selama ini. Apapun partai panjenengan sekarang, pilihlah Harda-Danang.

Bila boleh sok tahu, koalisi ini adalah sebentuk kemampuan Harda-Danang merangkul semua pihak yaitu Gerindra-Golkar, PDIP-PPP, dan PKS-PKB-Nasdem yang ketiganya berada di belakang capres cawapres berbeda dalam PILPRES 2024.

Menjadi semakin menarik saat isu yang mereka angkat ialah hentikan politik dinasti yang dilawan dengan isu tirani mayoritas. Kedua pasangan mengaku membela kepentingan rakyat. Sayangnya Pancasila memakai istilah “permusyawaratan perwakilan” untuk mengakomodasi kepentingan rakyat itu, sehingga keberadaan suara partai di parlemen bisa dibilang jauh lebih advokatif dibandingkan suara rakyat perorangan.

Jadi, jika ingin suara rakyat lebih powerfull, jadikan partai-partai di DPRD Sleman sebagai amplifier. Bagaimanapun, kebijakan-kebijakan publik yang bersifat sistemik perlu didasari statistik, tidak semata-mata kasuistik. Teman saya mengistilahkan, anggota dewan itu “genter”nya masyarakat. Mereka itu galah, tongkat untuk menggapai sesuatu yang mungkin di luar jangkauan masyarakat secara umum.

Maka, kalau pemilu kemarin panjenengan memilih salah satu calon anggota dewan dari partai koalisi pengusung Harda-Danang (PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PKS, Nasdem, PPP, Partai Gelora, Partai Buruh, PSI, Partai Ummat, dan Partai Demokrat), kalah ataupun menang, pilihlah lagi calon bupati dan wakil bupati yang mereka usung sekarang: Pilih Harda-Danang.

3. Pilih Harda-Danang karena Kenalan dan Kedekatan

Ini hanya judul saja. Jika saya ditanya, lebih kenal Kustini-Sukamta atau Harda-Danang tentu kami sekeluarga lebih kenal dekat dengan Kustini-Sukamta. Bagaimana tidak, pak Sri Purnomo mantan Bupati Sleman sekaligus suami bu Kustini pernah hadir dan berfoto dalam acara pernikahan kami. Beliau juga yang terakhir datang menyolatkan jenazah ibu kami sebelum dimakamkan.

Pak Sri Purnomo merupakan teman kuliah paklik kami. Mereka bertemu dan mengobrol dengan bahasa Jawa “ngoko” layaknya kita saling berbicara dengan teman main kita. Tapi rasanya itu semua tidak lantas membuat politik jadi melodramatik.

Bapak saya berlatar keluarga NU, bapak mertua saya berlatar keluarga Muhammadiyah. Dalam Pilkada sebelumnya, kami memilih tiga calon pasangan yang berbeda, begitu juga Pilkada sebelum-sebelumnya. Pilkada kali ini, baik NU maupun Muhammadiyah mengalami polarisasi yang sama: ada yang ke Kustini, ada yang ke Harda. Lalu bagaimana? 

Tenang saja. Semakin dewasa masyarakat kita, semakin matang demokrasi kita, semakin terbuka dan menerimalah saat kita memiliki pendapat dan pilihan yang berbeda. Jadi jika panjenengan merasa dekat dengan salah satu pasangan calon dan itu cukup menjadi alasan untuk menentukan pilihan, silakan.

Tapi ketika pertimbangan kita bukan lagi keluarga atau kedekatan tapi kemaslahatan, pilihlah yang sekiranya lebih dekat dengan yang diharapkan. Toh, amanah kepemimpinan itu dari Tuhan. Siapapun yang memimpin, kemuliaan yang didapat sesungguhnya juga dari Tuhan. Saat menjadi pemimpin pun akhirnya mereka bukan hanya memimpin masyarakat yang memilihnya tapi semua masyarakat yang ada di wilayahnya, baik yang mendukung, menolak, membenci, cuek, maupun yang mencintainya.

Jadi, kalau panjenengan merasa tidak dekat dengan salah satu pasangan calon, tanyalah pilihan pada orang-orang yang sekiranya dekat dengan mereka, kenal mereka, tahu rencana-rencana mereka, tahu siapa yang menyisipkan agenda pada mereka. Orang ya, bukan berita. Jika tidak ada, silakan ikuti pendapat saya: Pilih Harda-Danang.

4. Pilih Harda-Danang karena anti Miras

Saat saya membuat status WA mengenai Harda-Danang, datanglah pesan WA dari teman-teman untuk menanyakan. Ada yang mengirim video yang katanya hasil investigasi mengenai keterlibatan kartel miras sebagai sumber pendanaan. Ada yang bilang masih ragu. Ada yang menanyakan kebenaran berita yang diperbincangkan. Saya hanya menjawab WA dari teman-teman dengan emoticon tangan salim di depan dada 🙏🏼 yang saya maksudkan bahwa saya tak tahu apa-apa, silakan cari sendiri kebenarannya.

Posisi saya waktu itu sedang berada di ballroom kantor DPW PKS DIY bersama kader-kader dari seluruh Sleman. Kami menghadiri munajat kemenangan yang dipimpin oleh KH Abdul Aziz Abdur Rauf, Lc. Al Hafizh. Ketiklah nama itu di laman pencarian peramban internet. Hadir pula di sana Ketua DPW PKS DIY, Ketua DPD PKS Sleman, Ketua Fraksi PKS DPRD Kabupaten Sleman, dan calon bupati Sleman 2024 nomor urut dua: Harda Kiswaya.

Sepertinya pak Harda sudah tahu mau ngomong apa. Beliau berbicara basa-basi sebagaimana politisi pada umumnya lalu mengakhiri dengan klarifikasi berita. Berita apalagi kalau bukan isu kartel miras itu. “Saat saya jadi Sekda (Sekretaris Daerah), saya banyak menutup toko-toko miras ilegal bersama kepolisian. Jadi ramai seperti ini kan setelah saya pensiun tidak jadi Sekda lagi,” kurang lebih begitu kelakarnya yang disambut riuh tawa hadirin.

Harda membantah kekhawatiran masyarakat yang mengatakan bahwa jika dia jadi bupati, Sleman akan jadi surga miras. Insyaallah itu tidak akan terjadi. Dia justru berkomitmen akan melakukan penegakan hukum dan penertiban peredaran miras bersama kepolisian, bahkan ingin melibatkan pihak militer.

Ah, itu kan janji politisi, semua pasangan calon juga bisa mengatakannya. Ya, namun yang jadi pertanyaan berikutnya adalah, “Memangnya untuk apa PKS mau berkoalisi?” Strategi politik PKS tentu bukan strategi partai kemarin sore yang mudah tergiur janji politisi atau mencari kenyang dengan jabatan dagang sapi.

Seorang ustadz pernah mengatakan, “Selama masih ada pemimpin yang mau mendengar nasihat saya, saya tidak perlu masuk politik.”

PKS “masuk” ke politik untuk berebut pengaruh. Calon pemimpin kuat ini harus diarahkan agar kehadirannya membawa kemaslahatan. Agenda-agenda dakwah harus dititipkan. Amar makruf nahi mungkar harus diselipkan. Jadi PKS hadir bukan sekedar ikut-ikutan.

Suatu saat kami pernah berkendara bersama teman kuliah ibu kami yang menjadi salah seorang kepala daerah di Sumatera. Saat kami menuju Malioboro ibu mewawancara temannya terkait pengalamannya menjadi kepala daerah. Dia bilang, “Nggak! Nggak lagi-lagi, berat!”

Diceritakanlah bagaimana ia harus menciptakan rasa aman di wilayah yang ia pimpin selama kepemimpinannya dengan “menjamu makan malam” para pemimpin preman, mengajak mereka ngobrol di warung sate. “Mereka hanya perlu dirangkul, dihargai. Alhamdulillah, bermodal makan sate bareng akhirnya wilayah kami menjadi relatif aman pada saat itu,” katanya.

Tak ada kepemimpinan yang bisa menjamin baiknya semua orang di wilayah yang dipimpinnya. Dan kalaupun kejahatan tetap ada, pemimpinlah yang bertanggung jawab mencari jalan bagaimana caranya agar kerusakan yang terjadi tidak meluas atau merajalela.

Tentu amar makruf nahi mungkar di wilayah publik ini ada kaidahnya, ada strateginya, ada tahapan-tahapannya. Salah langkah sedikit saja, harapan perbaikan bisa menyulut kerusakan yang jauh lebih besar dan menjadi semakin sulit untuk memadamkannya.

Dalam dunia yang serbaneka ini, ada pertimbangan-pertimbangan pilihan yang bukan hanya Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram sebagaimana dalam beragama. Ada pertimbangan mashlahat mafsadat yang tidak hanya hitam putih, banyak abu-abunya. Abu-abu agak hitam dan abu-abu agak putih tidak selalu nampak berbeda jika bukan orang yang jeli, terlatih, berpengalaman, dan berada di dekat warna sesungguhnya.

Ketahuilah, menjadi pemimpin itu berat, istighfar dan munajatnya harus lebih banyak dari imam masjid yang sehari lima kali memimpin shalat. Dia sangat butuh nasihat, tadzkirat penguat dari orang-orang dekat. Hajatnya akan doa umat juga berlipat-lipat. Tak heran seorang ulama mantan preman mengungkapkan, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, akan aku tujukan doa itu untuk pemimpinku.”

Saran saya, jangan jadikan memilih pemimpin ini sekedar tanggung jawab pribadi, jangan jadikan sekedar pertaruhan menang kalah kontestasi, jadikanlah Pilkada ini salah satu strategi agar kalimat Allah menjulang tinggi tak tertandingi.

Terakhir…

Tidak ada pemimpin terbaik sepanjang masa.

Yang ada hanyalah pemimpin yang tepat di saat yang tepat.

Bismillah, insyaallah Rabu 27 November 2024 kita coblos nomor DUA.

Jangan lupa ajak masyarakat, sanak kerabat, dan tetangga dekat.

Harda-Danang! 

Menang! Menang! 

✌🏼


Hanya Berharap Syafaat

AL FATIHAH UNTUK SEMUA USTADZ

Oleh Akhid Nur Setiawan

“Sehebat apapun Engkau saat ini, jangan pernah lupakan ustadz kampung yang dulu pernah mengajarimu mengaji.”

Melihat video Hadad Alwi & Sulis melantunkan shalawat di sebuah konser musik hingga penonton larut dalam kerinduan pada Nabi (yang terlampir tautan videonya beserta tulisan ini), rasanya jadi sangat-sangat rindu pada Nabi. Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad.

Sekitar dua puluh tahun lalu saya pernah merasakan kangen sekali ingin bertemu Nabi. Sebagai pemuda yang terjebak di antara orang-orang “pintar” hobi berdebat dengan umat yang memanggil-manggil merintih meminta ditemani, ingin rasanya hamba jelata ini dipeluk oleh Nabi, ingin rasanya mengadu, ingin sekali rasanya Nabi ada di sini.

Rasanya ingin bertemu tapi malu, tapi sepertinya lebih tak peduli lagi dengan itu. Karena saya yakin bahwa Nabi bukanlah kita yang suka bernada tinggi, bukanlah kita yang tatapannya bengis tak berperi, bukanlah kita yang mulutnya cemberut siap menghakimi, bukanlah kita yang hafal ayat dan hadits lalu merasa berhak menentukan surga dan neraka berdasarkan kriteria itu dan ini. Dialah Nabi yang hadirnya saja sudah rahmat untuk apa dan siapa saja yang ada di dalam dan di luar bumi.

Tak mungkin Nabi tak menerima cinta kita, sehina apapun kita, bahkan sepalsu apapun cinta kita. Kalaupun Nabi melarang ini, tidak suka itu, memperingatkan ini, mengancam itu, tentulah semata karena Nabi cinta pada kita. Lalu saat kita berlinang dosa, jika bukan kepadanya, kepada siapa lagi kita minta dibela dihadapan-Nya? 

Ketika kenangan masa lalu diputar kembali, kira-kira melalui siapa kita dulu bisa mengenal Nabi? Ah, tentu bukan kebetulan saat di siang hari kami melewati bangunan yang dulu menjadi tempat di mana saya dan teman-teman diajari Iqro oleh para ustadz lalu di malam harinya kami menemukan linimasa media sosial berisi video Hadad Alwi. Ya Allah, rahmatilah guru-guru kami.

“Dulu ayah belajar Al Quran di bangunan itu, seminggu tiga kali. Dulu ada TPA yang baru ada di situ, untuk satu kelurahan. Banyak teman-teman ngaji dari kampung lain. Sekarang hampir tiap kampung sudah ada TPA.”

Biasanya sering saya ulang bahwa dulu saya lulus SD baru hafal sampai surat ini. Dulu belum ada SDIT, belum ada ngaji-ngaji seperti sekarang. Bersyukurlah jika kalian bisa ngaji seperti sekarang ini, dan seterusnya. 

Kenapa Hadad Alwi? Mungkin mengundang kontroversi, tapi jelas tak dapat dibantah bahwa melalui kaset-kasetnya lah dahulu kami mengenal shalawat dan menyemai rasa cinta pada Nabi. Dan saat melihat video konser itu, rasanya seperti menemukan sekotak mainan penuh kenangan, ada air mata yang sulit ditahan.

“Anda yang pakai topi terbalik, Anda yang pakai anting satu, Anda yang pakai tato, Anda punya hak yang sama untuk mencintai Rasulullah,” seru Hadad Alwi di konser itu.

Allahumma shalli ‘alaa Muhammad.

Nampak seorang penonton konser menangis, menengadah, seakan benar-benar rindu pada Nabi. Potongan video itu viral. Jika dulu kita mengaji bersama, berburu tanda tangan imam tarawih bersama, jalan-jalan selepas subuh bersama, menjelajah sungai dan sawah bersama, balapan khatam Al Quran bersama, rebutan adzan bersama, shalawatan puji-pujian bersama, buka puasa bersama, lalu sekian waktu berlalu kita telah menempuh jalan yang berbeda-beda, apakah kita masih memiliki rasa yang sama?

Ketika mendengar shalawat Haddad Alwi dan Sulis, tiba-tiba saya merakan seperti yang beredar di konten-konten meme “Waktu kecil kita dulu baik-baik saja. Masalah terberat hanya saat disuruh tidur siang. Sekarang… Ternyata berat ya jadi orang dewasa.”

Ya. Ada di antara kita yang akhirnya menemukan jalan istiqomah bersama dakwah dan lingkungan agamisnya. Ada yang akhirnya menemukan dunia malam, kerasnya jalanan, dan berbagai realita kehidupan lainnya. Ada yang bergelimang harta. Ada yang akhirnya kehilangan Tuhan, dan sebagainya.

Saat mendengar lagu “Muhammadku” itu, kok kita bisa barengan ingat Nabi begini ya. Ah, Dia-lah Maha Pembolak Balik Hati. Setiap orang punya masa lalu, setiap orang insyaallah punya masa depan. Yakinlah bahwa Allah selalu ada untuk kita. “Siapa yang cinta pada Nabinya, pasti bahagia dalam hidupnya,” pesan lagu itu.

Sekarang ini kemaksiatan, minuman keras, judi, kekerasan, kerusakan moral, dan berbagai penyimpangan asusila semakin merajalela. Tapi ketahuilah bahwa agama ini tak kalah tumbuh juga di mana-mana. Lihatlah kabar masjid-masjid di Eropa dan Amerika. Atau lihatlah satu masjid kampung yang lima belas tahun lalu shafnya hanya satu dua, kini nyaris selalu penuh sampai teras-terasnya.

Di tengah kekhawatiran rusaknya generasi, selalu ada harapan, percayalah. Setiap bertemu dai yang mengeluhkan anak-anak yang beranjak dewasa lalu sudah tidak mau ke masjid, saya gembirakan mereka dengan rasa optimis bahwa insyaallah suatu saat mereka akan kembali. Entah saat mereka sudah menikah, saat sudah memiliki anak, saat usia semakin senja, atau kapanpun Allah menghendakinya.

Bacaan-bacaan doa, hafalan-hafalan surat, selintas ejaan ayat, atau kebaikan apapun yang telah kita ajarkan pada mereka, insyaallah tidak akan sia-sia. Semenjengkelkan apapun mereka, selama lisan dan hatinya pernah merapalkan Al Quran, sadar ataupun terlena, rela maupun terpaksa, percayalah, bacaan itu tetap akan ada dalam salah satu ruang di hati mereka. Tinggal menunggu waktu, insyaallah kita akan bersenandung bersama.

Terima kasih untuk semua ustadz. Bismillah, A Ba Ta, dan potongan ayat yang kalian ajarkan akan terus mengalir hidup di tengah-tengah umat. Setenggelam apapun dalam maksiat, semoga salah satu ayat bisa menjadi sebab kita masih mendengar seruan Nabi Muhammad saat Baginda memanggil kita di akhirat, untuk diberi syafaat.

Video Hadad Alwi dan Sulis dalam Konser Synchronizefest 2024: https://youtu.be/6H7fa0msEKI?si=D6F2YWZJ1ayat-ay