“Allohu Akbar!!!”, pekikan takbir menyambut pamitanku pada bapak-bapak yang sedang syuro’. Seruan itu menggema setelah dengan agak gemetar aku memberi sedikit semangat pada mereka yang sedang merapatkan barisan agar dakwah di kecamatan itu semakin meluas.
“Kami pamit dulu Pak, pareng...”, sembari keluar ruangan itu aku salami beberapa bapak yang dekat dengan pintu, tak lupa pak Arif tuan rumah sekaligus mas’ul (penanggung jawab) kecamatan itu.
Tiba-tiba HP-ku bergetar, “Qt ktmu di masjid dulu ya Pak.”
Aku langsung menuju masjid di sebelah rumah yang digunakan untuk rapat itu.
“Kita disuruh makan dulu...”, salah seorang dari dua akhowat itu mempersilakan.
“Oalah, ngrepotin. Tadi udah pamitan tu.”
“Sudah disiapkan koq”, istri pak Arif masuk dari pintu masjid sebelah utara.
“Monggo, Pak!”
“Ya, njenengan juga...”, pintaku pada dua akhowat itu.
Akhirnya kami bertiga makan di dalam masjid dengan makanan yang telah disiapkan.
Sejenak aku mengamati masjid yang tidak terlalu besar itu. Seperti masjid-masjid lain, karpet hijau terhampar di ruang utama. “Inilah rumah asal peradaban Islam bangkit di sini”, pikirku. “Seperti pada masa rosululloh, beliau mulai membangun Madinah dari pendirian sebuah masjid”. Dan istri pak Arif pasti seorang wanita yang hebat. Tiba-tiba terbayang calon istriku nanti, “Siapa ya? Bisa seperti wanita ini kah? Mampukah ia tinggal bersamaku? Jauh dari peradaban karena berjuang membangun peradaban.”
Kedua akhowat itu berbincang. Aku cukup nyaman dengan makan sambil berdiam.
“Sudah semester berapa Pak?”, pertanyaan salah satu dari mereka mengagetkanku.
“Semester... delapan”, jawabku singkat.
Aku memang tak banyak bicara dengan orang yang baru kukenal, apalagi akhowat, entah apa sebabnya. Pernah terpikir bahwa suatu saat nanti aku ingin menikah dengan orang yang tidak terlalu kukenal, agar pernikahan kami benar-benar karena-NYA. Rasa sungkan akan membuat suami istri saling memaklumi atau mengabaikan masalah-masalah kecil. Ketika suami istri mempunyai visi yang sama –visi Ilahiyah-, mereka akan lebih mudah menjalani rumah tangga. Itu menurutku. Lalu cinta? Ah, itu bukan masalah besar, bukankah cinta bisa ditumbuhkan? Buktinya banyak aktivis ikhwan dan akhowat dalam satu oraganisasi bisa saling jatuh cinta. Syuro’ sepekan sekali atau pertemuan-pertemuan singkat dalam kegiatan di lapangan bisa menjadi pemicu tumbuhnya cinta. Apalagi suami istri yang jelas-jelas halal bertemu setiap hari, halal berbagi masalah sehari-hari, bahkan bebas menumpahkan segenap ketertarikan satu sama lain, pun bercumbu rayu, dan masih banyak lagi hal yang akan menumbuhkan cinta.
Aku menghabiskan makanan dengan cukup cepat. Kadua akhowat itu seakan sangat lambat mencerna makanan sambil berbincang. Dari perbincangan mereka terdengar ekspresi perasaan lega. Aku merasa mereka berujar dalam hati, “Tugas berat hari ini akhirnya terlampaui”.
“Habis ini ada acara jam berapa Pak?”
“Sebenarnya acaranya jam setengah tiga tapi harus sampai di rumah jam dua.”
“Oh, masih sempat kalau gitu, sekarang baru jam satu kurang,” sekali lagi nada lega kudengarkan dari salah satu akhowat itu.
---***---
Kedua akhowat itu berangkat bersamaku dari kota Yogyakarta menuju tempat pengajian pemuda di desa Gedangsari, daerah Gunung Kidul yang berbatasan dengan Klaten. Pukul 07.50, meski agak terlambat akhirnya kami tetap bisa beragkat setelah kupastikan lagi spion motorku masih dua dan bisa berfungsi dengan baik –aturan terbaru Kepolisian/ DLLAJ-
Sebelum berangkat dari rumah, aku sempat berpikir kalau acara ini akan ramai, dengan iring-iringan mobil dan motor berangkat ke lokasi. Ternyata hanya dua orang akhowat yang menjemput. Setelah berbincang baru kuketahui bahwa acara ini merupakan inisiasi kegiatan pengajian rutin di kelurahan itu.
“Materinya yang ringan dulu aja ya Pak, yang penting bikin mereka senang ngaji dan punya cita-cita tinggi untuk diri sendiri maupun untuk Islam”, SMS yang dikirim Ukhti Zahro kemarin sore.
Perjalanan menempuh waktu lebih dari satu jam, melewati jalan Wonosari, Piyungan, Pathuk, lalu entah jalan apa namanya. Karena belum tahu jalan ke lokasi yang dituju, aku naik motor di belakang kedua akhowat yang berboncengan itu. Hatiku terpukul ketika melihat kedua akhowat itu sempat digoda sekumpulan lelaki yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Kami terus melaju karena takut telat, harus sampai sana sebelum pukul 09.00. Jalan yang cukup jauh, tikungan tajam, licin, jembatan rusak, jalan menanjak, tapi tetap saja kedua akhowat itu memacu motor tanpa berpikir untuk berhenti sejenak.
“Kami sudah sampai kelurahan, Pak”, Ukhti Zahro menelpon penanggung jawab acara.
Kusalami beberapa anak –menurutku masih sangat muda- yang sepertinya akan mengikuti pengajian itu.
“Mana temen-temennya?”, tanyaku pada mereka.
“Belom pada datang, Pak. Bentar lagi”, jawab salah satu dari mereka.
Di wajah mereka nampak binar harapan masa depan nan cerah. “Inilah wajah Indonesia 20 tahun lagi”, pikirku. Yah, mereka harus dibina, merekalah generasi penerus bangsa ini. Sayang sekali jika anak-anak kita hanya didoktrin dengan cita-cita kebahagiaan pribadi. Sekolah yang rajin; bantu orang tua; kalo mampu ya kuliah; lalu dapat pekerjaan yang layak; kalau perlu merantau; kampung halaman yang pembangunannya tertinggal biarkan saja; asal tiap tahun bisa pulang bawa uang banyak dan bikin orang tua seneng; setelah itu menikah dengan suami atau istri yang kaya; akhirnya hidup bahagia berdua selamanya. Aku berharap bukan itu yang dipesankan oleh para orang tua pada anak-anak mereka. “Migunani kanggo wong liyo”, sepertinya kalimat itu lebih bermakna luas. Sukses pribadi, juga sukses sosial. Ketika kesuksesan kita bisa membuat orang lain sukses, maka itulah kesuksesan yang benar-benar sukses.
Aku ingat, beberapa pekan sebelum hari itu salah seorang teman SMA-ku yang belajar di negeri Jepang pulang dan mengajak makan-bersama teman-teman SMA yang kebetulan sedang punya waktu luang. Panjang lebar ia menceritakan kehidupan di Jepang. Ia juga menceritakan teman-temannya yang juga kuliah di luar negeri ataupun sekedar student exchange, “Dari empat puluhan orang, yang pasti akan kembali ke Indonesia cuma empat orang. Kebanyakan memilih tinggal di luar negeri karena di sana mereka lebih dihargai, tidak seperti di Indonesia, dan kehidupan di luar negeri pasti lebih terjamin.”
Layaknya seorang orator, ia mengobarkan semangat kami yang waktu itu hanya berjumlah delapan orang. Ia menceritakan mimpinya untuk membangun Indonesia dan mengajak kami berjuang bersama-sama, “Sejak sekarang aku harus terbiasa hidup susah, hidup sederhana. Kalau kita ingin menjadi seseorang yang tidak hanya berguna bagi diri sendiri, kalau kita ingin melakukan sesuatu yang lebih untuk orang lain, untuk Indonesia misalnya, memang harus berjuang lebih keras, hidup akan lebih berat, tenaga yang kita keluarkan akan lebih banyak dibandingkan jika kita hanya ingin hidup untuk kepentingan diri sendiri.”
Ruangan masjid menyambut kami bertiga setelah motor terparkir dengan rapi di halaman kelurahan. Di dalamnya sudah ada beberapa pemudi menunggu. Lalu berdatangan pemuda utusan dari berbagai dusun. Aku agak kaget waktu melihat peserta pengajian ternyata banyak juga yang masih cukup kecil, mungkin usianya sekitar kelas 4-6 SD. Tapi tidak kaget jika peserta putri memang lebih banyak dari peserta putra, perbandingannya 3 : 1. Pukul 09.15 acara dimulai dengan sedikit kalimat pembuka penghangat-hati dari pak Aswin -penanggung jawab acara-.
Aku menyampaikan materi pengenalan diri -mengenal diri sendiri- dan bagaimana meraih sukses. Sebenarnya bukan materi karena hanya permainan kecil, simulasi, serta sedikit pemaknaan. Awalnya para peserta sangat sulit diajak bermain, malu-malu. Untunglah keberadaan dua akhowat itu cukup membantu. Mereka nampak seperti penerjemah bagi para peserta. Ketulusan mereka berdua sangat bisa kurasakan. Seakan terpancar aura penuh harap akan berkembangnya Islam di daerah itu, “Anak-anak ini yang akan memperjuangkan Islam mati-matian di daerah ini.”
---***---
Benar-benar menyentuh hati saat kuingat kembali senyum anak-anak itu. Sesekali muncul kalimat-kalimat saling mengejek, namun sebatas canda. Ketika berpapasan di jalan menuju rumah pak Arif, terucap salam dengan iringan senyum dari mereka. Senyum yang begitu bermakna, menyejukkan dahaga perjalanan kami.
“Sampai jumpa lagi”, semoga kalimat itu yang mereka pendam karena malu mengucapkannya.
Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana keadaan Indonesia -setidaknya Yogyakarta- jika anak-anak usia remaja dibiarkan mencari jati diri mereka sendiri tanpa bimbingan. Orang tua yang semakin permisif akan menjadikan anak-anak berkembang tak terarah. Media yang semakin destruktif, pergaulan yang semakin tidak karuan, serta teknologi yang semakin berkembang harus dilawan demi perbaikan. Sedikit waktu yang kita sisihkan untuk pendidikan anak akan menjadi investasi yang sangat menguntungkan di hari nanti, hari akhir sebelum mati maupun hari akhir setelah mati.
“Nanti mampir dulu ke tempat kita ketemu tadi pagi ya Pak”, kata dua akhowat itu sambil menyalip motorku.
“Ya”, seruku.
Kali ini aku mengendarai motor di depan mereka karena sudah tahu jalan pulang. Pelan saja kulaju motor agar tetap bisa menjaga dan mengawasi mereka. Sesekali kulihat mereka dari spion, memastikan bahwa mereka baik-baik saja atau tidak tertinggal terlalu jauh.
Sebenarnya ada sebuah tamparan keras yang begitu menyakitkan ketika mengingat semua kejadian ini. Dua orang akhowat mujahidah pergi ke lokasi sejauh itu. Yah, dua orang akhowat, kenapa tidak ikhwan? Kedua akhowat itu sempat diganggu orang dalam perjalanan, ke mana para ikhwan? Jika perjalanan kami termasuk safar, semestinya kedua akhowat itu pergi bersama mahrom mereka. Siapa yang membiarkan mereka pergi tanpa mahrom? Apakah para ikhwan sedang menonton TV, tidur-tiduran, atau pergi rihlah? Atau mereka bertingkah seperti kaum nabi Musa pada masa lalu? “Mereka berkata: ‘Hai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.’" (Al-Maidah: 24)
Semoga saja para ikhwan memang sedang melakukan kerja-kerja dakwah di tempat lain sehingga sampai kedua akhowat itu turun tangan.
Suatu kali seorang ustadz pernah bercerita pengalamannya melihat akhowat baru pulang saat menjelang tengah malam. Akhowat itu bukan langsung pulang tapi mampir membeli makanan di pinggir jalan. Bagaimana bisa sampai seperti itu? Ayyuhal-ikhwan, aina antum? Lalu hati ini menjadi ragu, apakah Islam akan dimenangkan-NYA? Apakah keberkahan akan dilimpahkan-NYA? Seorang teman pun pernah bercerita, “Wah, calon presiden BEM dari ‘kita’ nggak menang, mungkin emang kesalahan kita. Rapatnya aja udah nggak barokah, masa rapat sama akhowat sampai jam sepuluh malam.” Astaghfirullohal-‘adzim...
Pada masa rosululloh ada juga shohabiyat yang ikut pergi ke medan perang. Apa yang mereka lakukan? Allohu a’lam, mereka mengambil anak panah yang tidak mengenai sasaran, untuk dipanahkan kembali. Mereka membawakan air minum atau memasak untuk para mujahid. Mereka mengobati pasukan yang terluka. Tepat sekali! Bukan mereka yang menunggang kuda, mengibar-ngibarkan panji, menghunus atau mengibaskan pedang, apalagi berteriak lantang di depan orang-orang kafir. Para shohabiyat turut berjuang tapi mereka mendapat porsi yang sesuai dengan fitroh sebagai akhowat. Bahkan lebih banyak lagi dari mereka tidak ikut pergi berperang karena mendapat amanah mendidik anak, menjaga rumah dan harta suami yang ditinggalkan.
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
Terlepas dari pembahasan keikutsertaan wanita dalam perang pada masa rosululloh, mari kita mengingat salah satu firman ALLOH dalam surat An-Nisaa’ ayat 34, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)...”
Sudah semestinya para ikhwan memimpin para akhowat, dalam hal apapun. Seharusnya ikhwan berada di barisan depan. Sholat jama’ah telah mengisyaratkan bahwa shof ikhwan itu di depan akhowat, dan ikhwan lah yang menjadi imam. Namun dalam hal tertentu memang ada wilayah yang hanya akan menjadi lebih baik jika ditempati oleh akhowat misalnya posisi ibu rumah tangga, kepala bidang kemuslimahan dalam suatu organisasi, menteri peranan wanita, dan sebagainya.
“...Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqoroh: 228)
Bagaimanapun juga, ikhwan mempunyai kelebihan dibandingkan akhowat. Kelebihan itulah yang menjadikannya sebagai pemimpin. Apa jadinya jika ikhwan “memble” di hadapan akhowat? Atau bahkan para ikhwan bagai dicocok hidungnya oleh para akhowat.
Miris hati ini ketika menyaksikan sebuah sinetron di salah satu stasiun TV. Sinetron itu mengisahkan para suami yang senantiasa tunduk dan menuruti apa kata istri mereka. Memang selayaknya kita berbuat baik pada istri, tapi jangan sampai berlebihan, suami harus tetap bisa mengendalikan. Dari Abi Huroiroh, dari Nabi shollallohu ‘alayhi wa sallam, ia bersabda, “Barang siapa percaya kepada ALLOH dan hari kemudian, maka janganlah menyakiti tetangganya dan terimalah pesenan (-ku untuk berbuat) kebaikan kepada perempuan-perempuan, karena mereka itu dijadikan dari tulang rusuk, sedang tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling atas. Jika engkau hendak luruskan dia, niscaya engkau patahkan dia; dan jika engkau biarkan dia, tetaplah ia bengkok. Oleh itu, terimalah pesenan (-ku untuk berbuat) kebaikan kepada perempuan-perempuan. (H. R. Bukhori)
Wahai akhowati fillah, tempatkan dirimu pada posisi yang tepat, hargai ikhwan, siapapun ia, jadikan ia pemimpin, ingatkan jika khilaf. Selalu lihat fitroh antunna sebagai akhowat, contohlah para shohabiyat yang mulia.
Wahai ikhwani fillah, tempatkan dirimu pada posisi yang tepat, hargai akhowat, siapapun ia, pimpinlah, luruskan jika menyimpang. Selalu lihat fitroh antum sebagai ikhwan, jadilah pemimpin, contohlah para shohabat yang mulia.
Mereka berdua, kedua akhwat itu menjadi inspirasi untuk terus berkarya, memimpin, dan selalu di depan....
Allohu a’lam...
Suhanakallohumma wa bihamdika asyhadu an laa ilaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik...