AL FATIHAH UNTUK SEMUA USTADZ
Oleh Akhid Nur Setiawan
“Sehebat apapun Engkau saat ini, jangan pernah lupakan ustadz kampung yang dulu pernah mengajarimu mengaji.”
Melihat video Hadad Alwi & Sulis melantunkan shalawat di sebuah konser musik hingga penonton larut dalam kerinduan pada Nabi (yang terlampir tautan videonya beserta tulisan ini), rasanya jadi sangat-sangat rindu pada Nabi. Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad.
Sekitar dua puluh tahun lalu saya pernah merasakan kangen sekali ingin bertemu Nabi. Sebagai pemuda yang terjebak di antara orang-orang “pintar” hobi berdebat dengan umat yang memanggil-manggil merintih meminta ditemani, ingin rasanya hamba jelata ini dipeluk oleh Nabi, ingin rasanya mengadu, ingin sekali rasanya Nabi ada di sini.
Rasanya ingin bertemu tapi malu, tapi sepertinya lebih tak peduli lagi dengan itu. Karena saya yakin bahwa Nabi bukanlah kita yang suka bernada tinggi, bukanlah kita yang tatapannya bengis tak berperi, bukanlah kita yang mulutnya cemberut siap menghakimi, bukanlah kita yang hafal ayat dan hadits lalu merasa berhak menentukan surga dan neraka berdasarkan kriteria itu dan ini. Dialah Nabi yang hadirnya saja sudah rahmat untuk apa dan siapa saja yang ada di dalam dan di luar bumi.
Tak mungkin Nabi tak menerima cinta kita, sehina apapun kita, bahkan sepalsu apapun cinta kita. Kalaupun Nabi melarang ini, tidak suka itu, memperingatkan ini, mengancam itu, tentulah semata karena Nabi cinta pada kita. Lalu saat kita berlinang dosa, jika bukan kepadanya, kepada siapa lagi kita minta dibela dihadapan-Nya?
Ketika kenangan masa lalu diputar kembali, kira-kira melalui siapa kita dulu bisa mengenal Nabi? Ah, tentu bukan kebetulan saat di siang hari kami melewati bangunan yang dulu menjadi tempat di mana saya dan teman-teman diajari Iqro oleh para ustadz lalu di malam harinya kami menemukan linimasa media sosial berisi video Hadad Alwi. Ya Allah, rahmatilah guru-guru kami.
“Dulu ayah belajar Al Quran di bangunan itu, seminggu tiga kali. Dulu ada TPA yang baru ada di situ, untuk satu kelurahan. Banyak teman-teman ngaji dari kampung lain. Sekarang hampir tiap kampung sudah ada TPA.”
Biasanya sering saya ulang bahwa dulu saya lulus SD baru hafal sampai surat ini. Dulu belum ada SDIT, belum ada ngaji-ngaji seperti sekarang. Bersyukurlah jika kalian bisa ngaji seperti sekarang ini, dan seterusnya.
Kenapa Hadad Alwi? Mungkin mengundang kontroversi, tapi jelas tak dapat dibantah bahwa melalui kaset-kasetnya lah dahulu kami mengenal shalawat dan menyemai rasa cinta pada Nabi. Dan saat melihat video konser itu, rasanya seperti menemukan sekotak mainan penuh kenangan, ada air mata yang sulit ditahan.
“Anda yang pakai topi terbalik, Anda yang pakai anting satu, Anda yang pakai tato, Anda punya hak yang sama untuk mencintai Rasulullah,” seru Hadad Alwi di konser itu.
Allahumma shalli ‘alaa Muhammad.
Nampak seorang penonton konser menangis, menengadah, seakan benar-benar rindu pada Nabi. Potongan video itu viral. Jika dulu kita mengaji bersama, berburu tanda tangan imam tarawih bersama, jalan-jalan selepas subuh bersama, menjelajah sungai dan sawah bersama, balapan khatam Al Quran bersama, rebutan adzan bersama, shalawatan puji-pujian bersama, buka puasa bersama, lalu sekian waktu berlalu kita telah menempuh jalan yang berbeda-beda, apakah kita masih memiliki rasa yang sama?
Ketika mendengar shalawat Haddad Alwi dan Sulis, tiba-tiba saya merakan seperti yang beredar di konten-konten meme “Waktu kecil kita dulu baik-baik saja. Masalah terberat hanya saat disuruh tidur siang. Sekarang… Ternyata berat ya jadi orang dewasa.”
Ya. Ada di antara kita yang akhirnya menemukan jalan istiqomah bersama dakwah dan lingkungan agamisnya. Ada yang akhirnya menemukan dunia malam, kerasnya jalanan, dan berbagai realita kehidupan lainnya. Ada yang bergelimang harta. Ada yang akhirnya kehilangan Tuhan, dan sebagainya.
Saat mendengar lagu “Muhammadku” itu, kok kita bisa barengan ingat Nabi begini ya. Ah, Dia-lah Maha Pembolak Balik Hati. Setiap orang punya masa lalu, setiap orang insyaallah punya masa depan. Yakinlah bahwa Allah selalu ada untuk kita. “Siapa yang cinta pada Nabinya, pasti bahagia dalam hidupnya,” pesan lagu itu.
Sekarang ini kemaksiatan, minuman keras, judi, kekerasan, kerusakan moral, dan berbagai penyimpangan asusila semakin merajalela. Tapi ketahuilah bahwa agama ini tak kalah tumbuh juga di mana-mana. Lihatlah kabar masjid-masjid di Eropa dan Amerika. Atau lihatlah satu masjid kampung yang lima belas tahun lalu shafnya hanya satu dua, kini nyaris selalu penuh sampai teras-terasnya.
Di tengah kekhawatiran rusaknya generasi, selalu ada harapan, percayalah. Setiap bertemu dai yang mengeluhkan anak-anak yang beranjak dewasa lalu sudah tidak mau ke masjid, saya gembirakan mereka dengan rasa optimis bahwa insyaallah suatu saat mereka akan kembali. Entah saat mereka sudah menikah, saat sudah memiliki anak, saat usia semakin senja, atau kapanpun Allah menghendakinya.
Bacaan-bacaan doa, hafalan-hafalan surat, selintas ejaan ayat, atau kebaikan apapun yang telah kita ajarkan pada mereka, insyaallah tidak akan sia-sia. Semenjengkelkan apapun mereka, selama lisan dan hatinya pernah merapalkan Al Quran, sadar ataupun terlena, rela maupun terpaksa, percayalah, bacaan itu tetap akan ada dalam salah satu ruang di hati mereka. Tinggal menunggu waktu, insyaallah kita akan bersenandung bersama.
Terima kasih untuk semua ustadz. Bismillah, A Ba Ta, dan potongan ayat yang kalian ajarkan akan terus mengalir hidup di tengah-tengah umat. Setenggelam apapun dalam maksiat, semoga salah satu ayat bisa menjadi sebab kita masih mendengar seruan Nabi Muhammad saat Baginda memanggil kita di akhirat, untuk diberi syafaat.
Video Hadad Alwi dan Sulis dalam Konser Synchronizefest 2024: https://youtu.be/6H7fa0msEKI?si=D6F2YWZJ1ayat-ay
Tidak ada komentar:
Posting Komentar