Dakwah Perlu Berjama'ah


Jika kita memahami perintah untuk berdakwah, sesungguhnya perintah untuk berdakwah bukanlah perintah yang ditujukan untuk seseorang atau perorangan. Dakwah diperintahkan kepada segolongan orang. Ketika Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam masih sendiri sebagai nabi yang mendapat wahyu Alloh, memang baru nabi yang diperintah untuk membuka selimut dan memberi peringatan pada umat beliau. Setelah pengikut beliau mulai banyak, tanggung jawab dakwah menjadi tanggung jawab bersama.

Ada berbagai pendapat tentang hukum berdakwah, mulai dari wajib ‘ain hingga wajib kifayah. Setidaknya kita semua mendapat beban kewajiban menjaga diri sendiri dan keluarga kita masing-masing dari api neraka. Lebih jauh dari itu ada beban bersama untuk menyeru umat menuju Alloh, memerintahkan yang baik dan melarang yang mungkar.
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imron: 104)


Wajib kifayah berarti semua orang muslim  menanggung beban yang sama hingga kewajiban tercukupi atau kewajiban tertuntaskan. Sebagaimana mengurus jenazah, semua muslim tidak akan terlepas dari kewajiban sampai jenazah dimakamkan dengan sempurna. Jika dakwah belum tuntas, masih ada orang yang belum mendapatkan hujjah kebenaran Laa Ilaaha Illalloh, maka semua muslim menanggung kewajiban yang sama. Allohu a’lam.

Al-Qur’an sebagai wahyu Alloh yang harus dijadikan pedoman hidup seluruh manusia menjadi bagian tak terpisahkan dari dakwah tauhid. Dengan Al-Qur’an kita mengenal Alloh, mengenal kebenaran dan kebatilan, mengenal perintah dan larangan, mengenal semua ajaran Islam. Al-Qur’an harus didakwahkan.

Sekian banyak dai, muballigh, ustadz, kiyai, modin, aktivis dakwah sedang memperjuangkan tegaknya agama Alloh. Mereka berjuang dengan cara yang berbeda-beda. Kita juga mungkin punya inisiatif tersendiri dalam rangka turut serta berkontribusi. Kita bersama berlari menuju Alloh.

Mari kita ingat kembali kisah bapak moyang kita yaitu Kanjeng Nabi Adam ‘alaihissalaam. Beliau diciptakan Alloh untuk menjadi kholifah di muka bumi. Seorang diri beliau dibebani amanah mengelola bumi. Beban tersebut pernah ditawarkan Alloh kepada langit, bumi, dan gunung namun mereka semua menolak karena takut tidak sanggup menjalankan amanah. Manusia mengambil resiko untuk memikul beban itu.

Beban mengelola bumi, termasuk mendakwahkan Al-Qur’an, termasuk dakwah secara umum telah kita sanggupi. Sekalipun kita tidak pernah bertemu bapak moyang kita, faktanya kita adalah keturunan beliau. Bahkan kita pernah diambil sumpah selaku anak cucu Nabi Adam sebagaimana diterangkan dalam surat Al-A’rof 172.


Sesungguhnya umat manusia ini dilahirkan sebagai umat yang satu, dengan beban dan kewajiban yang pada dasarnya sama: ibadah, kholifah. Kecenderungan manusia untuk berkumpul, berorganisasi, berdakwah dengan cara yang berbeda adalah fitrah manusiawi sebagaimana Alloh memang menjadikan manusia laki-laki dan perempuan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Hakikatnya semua itu agar kita saling mengenal sehingga tahu bahwa yang paling mulia di sisi Alloh hanyalah yang paling bertakwa.

Jika kita sudah menemukan kembali asal muasal tujuan Alloh menciptakan kita, semestinya kita menemukan alasan yang sangat kuat bahwa kita harus berjama’ah. Kita harus berjama’ah dalam menyelesaikan amanah kita di dunia. Kita harus berjama’ah dalam mencapai kemakmuran bersama. Kita harus berjama’ah dalam menggapai cita-cita bersama. Kita harus berjama’ah dalam dakwah.

Betapa indahnya bila kita berjamaah. Dengan sesama muslim kita berjama’ah. Alloh memerintahkan kita berpegang pada tali-Nya secara berjama’ah serta melarang kita berpecah belah. Dengan berjama’ah insyaalloh semua terasa mudah. Beban yang nampak berat akan bisa ringan terangkat, bi idznillah.

Lalu bagaimana dengan mereka orang-orang yang enggan beriman pada Alloh? Dengan mereka kita bermusyawarah, menjauhi jahiliyah, lalu mengajak mereka menuju kalimat Laa Ilaaha Illalloh. Laa haula wa laa quwwata illaa billah.


Kurva J Ian Bremmer

Kurva J adalah kurva berbentuk menyerupai huruf J. Sumbu vertikal merupakan sumbu kestabilan, sumbu horisontal merupakan sumbu keterbukaan. Kurva J pertama kali dicetuskan oleh Ian Bremmer melalui bukunya “The J Curve: A New Way to Understand Why Nations Rise and Fall” (Fahri Hamzah, 2010; “Negara, Pasar, dan Rakyat”). Kurva J menggambarkan hubungan antara stabilitas dan keterbukaan suatu negara.

Teori Kurva J menyatakan bahwa negara-negara tertutup, anti demokrasi, dan pengekang kebebasan berada pada tingkat stabilitas yang tinggi. Ketika posisi keterbukaan mereka ditingkatkan sedikit saja, maka tingkat stabilitas mereka akan menurun drastis karena Kurva J ini memiliki kemiringan negatif yang sangat curam di sisi kiri titik baliknya. Namun ketika tingkat keterbukaan terus didorong ke kanan, maka lambat laun tingkat stabilitas akan meningkat kembali.


Dilema Kurva J
Kurva J menjadi dilema bagi negara-negara berkembang yang sudah stabil dengan ketertutupan mereka. Ketika ingin mencapai kestabilan yang lebih tinggi mereka harus melalui titik balik yang begitu dalam. Sedikit saja membuka diri, kurva curam mengancam. Namun apabila mereka berhasil melalui titik balik tersebut, lambat laun mereka akan menemukan kestabilan yang lebih tinggi. Lagipula, jika sudah berada di titik balik mereka akan berat untuk kembali stabil dengan (kembali) menutup diri. Sehingga, pilihan paling mungkin adalah terus menikmati keterbukaan dengan semakin meningkatkan kestabilan.

Peran negara-negara maju yang telah mencapai kestabilan dengan keterbukaan adalah membantu negara-negara berkembang melewati titik balik yang sangat curam. Saat semua negara siap membuka diri, siaplah tercapai kestabilan dunia. Kita menyebutnya era globalisasi, semua negara benar-benar terbuka terhadap negara lain, terhadap semua anggota dunia.

Barangkali globalisasi akan memunculkan banyak masalah baru mulai dari ketidaksiapan warga negara hingga “penghalalan segala cara”. Seakan-akan perang besar di dunia telah terwujud. Semua manusia bebas bertarung, siapa kuat menang, siapa lemah kalah. Mereka yang merupakan kaum lemah akan mengiba menolak keterbukaan. Mereka yang sudah merasa kuat akan dengan percaya diri menghadapi keterbukaan.


Konsep Islam Global
Kita tahu bahwa dalam Islam sebenarnya tidak ada sekat negara. Penguasa teritori mungkin ada akan tetapi semua berada dalam satu komando kholifah. Kholifah wajib menjamin ketiadaan penindasan dan kedzoliman di seluruh penjuru dunia. Keadilan harus ditegakkan, kesejahteraan harus dimeratakan oleh seorang kholifah.
Keterbukaan adalah suatu keniscayaan. Islam mengedepankan fair play, dan Islam punya aturan. Kita mengenal kaidah ushul fiqh “Al-Ashlu fil-Asyyaa’i Al-Ibaahah, illaa maa dalla ad-Daliilu ‘alaa Tahriimihi” yang artinya “Pada dasarnya dalam segala sesuatu itu hukumnya boleh, kecuali apa-apa yang telah ditunjukkan oleh dalil (nash) terkait keharamannya. Sehingga pada dasarnya Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan, dengan rambu-rambu tersendiri.

Rakyat yang kuat adalah rakyat yang mampu bertarung tanpa proteksi, bertahan tanpa subsidi (Fahri Hamzah, 2010). Islam menginginkan keadilan dan kesejahteraan. Diperintahkan kita untuk belajar, menuntut ilmu, bekerja, berusaha, bersungguh-sungguh, bekerja sama, dan sebagainya tentunya agar kita mampu mengolah bumi ini menjadi kemanfaatan bersama seluruh umat manusia. Islam mengajarkan seorang muslim untuk tidak takut kepada selain Alloh, tidak berharap kepada selain Alloh.

Tidak ada yang mempunyai otoritas lebih di antara manusia selain Alloh, Rosululloh, dan pemimpin. Bahkan diciptakan-Nya manusia laki-laki dan perempuan lalu dijadikan-Nya bersuku-suku dan berbangsa-bangsa tak lain adalah agar manusia saling mengenal. Dengan saling mengenal maka manusia tahu bahwa yang paling mulia di sisi Alloh hanyalah yang paling takwa. Kesempatan untuk menang atau kalah selalu ada bagi manusia, siapa saja.

Setelah bertarung mati-matian dalam bingkai aturan, akan muncul manusia-manusia kuat dan manusia-manusia lemah. Betapa sempurnanya Islam karena ia diturunkan Alloh tidak hanya untuk segolongan manusia tapi seluruh manusia, rahmat bagi semesta. Yang kuat diperintahkan bersyukur lalu membantu yang lemah. Yang lemah diperintahkan bersabar lalu menahan diri dari meminta-minta. Lengkap sudah!

Dan lagi, begitu indahnya syariat zakat. Harta yang ada di dunia ini harus beredar dan terus beredar. Mereka yang menjadi golongan lemah wajib dicukupi oleh golongan kuat. Sehingga bumi ini cukup untuk kita hidup bersama, sebenarnya. Karena Alloh tidak pernah menciptakan kemiskinan atau kekurangan, Alloh hanya menciptakan kekayaan dan kecukupan.

Kurva J Personal
Dalam pembahasan tingkat negara Kurva J menjadi gambaran makro hubungan antara kestabilan dengan keterbukaan sebuah negara. Adakah kaitan antara gambaran makro dengan elemen-elemen personal penyusun sebuah negara? Dengan logika sederhana kita akan menjawab: ada. Tidak mungkin sesuatu secara umum dikatakan baik jika elemen penyusunnya buruk. Maka sebenarnya kestabilan dan keterbukaan suatu negara akan bisa ditarik ke dalam pembahasan tingkat personal.

Sebuah contoh kasus seseorang bernama Tomy. Tomy bekerja sebagai seorang manajer di sebuah perusahaan. Tomy mendapat gaji tetap setiap bulan sekitar dua juta rupiah. Tomy merasa sudah mapan. Tomy bisa memilih untuk tetap dalam kestabilannya atau mencoba membuka diri dengan menikahi seorang gadis. Jika dia membuka diri, resiko yang akan dihadapi adalah kestabilan berkurang karena gaji yang dahulu sangat cukup untuk hidup sendiri harus digunakan untuk hidup berdua. Tentu akan muncul pula masalah-masalah baru dengan hadirnya seorang istri.

Pilihan yang sesuai fitrah adalah pilihan untuk menikah. Tomy menikah dengan gadis pilihannya, lalu dikaruniai seorang anak. Anak mereka mulai tumbuh besar dan kebutuhan semakin meningkat. Gaji Tomy mulai tidak cukup untuk keperluan sehari-hari. Selain itu Tomy juga mempunyai obsesi untuk membangun rumah dan memiliki mobil sehingga total nominal obsesinya mencapai satu milyar rupiah. Tomy kembali harus memilih: membuka diri atau menutup diri.

Jika harus menutup diri, kestabilan tinggi hampir tidak mungkin untuk dicapai. Jika membuka diri, banyak resiko dan resiko, apakah kestabilan akan terus merosot, menderita kerugian, kebangkrutan, atau akan naik? Melanjutkan hidup sebagai manajer memang mapan namun penuh kepalsuan dan sakit hati karena selalu kurang dan kurang. Mulailah tercetus ide untuk berbisnis. Dengan berbisnis Tomy berusaha membuka diri akan peluang penghasilan tambahan.

Kestabilan hancur, bisnis kena tipu, modal dibawa lari, aset disita, nilai simpanan merosot dan tidak liquid, dipecat dari pekerjaan karena proyek kacau terganggu bisnis, anak terkena kasus narkoba karena kurang perhatian, istri minta cerai, dan seterusnya, begitu gambaran resiko terburuk Tomy. Inilah titik balik, ketika tidak ada kondisi yang lebih parah, ketika mau tak mau harus semakin membuka diri. Lebih berani presentasi, lebih berani mengambil peluang, lebih berani memberikan penawaran-penawaran, lebih banyak menambah relasi, lebih banyak mencari koneksi, itu yang harus dilakukan. Harus dijalani, tak ada jalan untuk mundur, harus maju terus.

Jika Tomy rela menjalani proses, ia akan menjadi pribadi yang semakin terbuka dan memiliki lapang pandang jauh lebih luas. Kestabilan yang dahulu dia peroleh dengan ketertutupan akan tergantikan dengan kestabilan penuh keterbukaan. Tomy akan terlepas dari ego pribadi menuju ego global. Ego global merupakan perwujudan ego Alloh dalam misi penciptaan manusia dan alam semesta. Kita diciptakan tidak untuk hidup sendiri.


Keterbukaan dalam Islam
Manusia diciptakan oleh Alloh untuk beribadah. Selain itu Alloh juga menciptakan manusia sebagai kholifah. Dalam peran manusia sebagai kholifah manusia tidak bisa lepas dari orang lain. Manusia saling mengenal lalu diperintahkan tolong menolong dalam kebaikan. Manusia diciptakan utnuk memecahkan masalah bersama sehingga ada istilah musyawarah. Manusia dititahkan merasa saling cenderung kepada lawan jenis, menikah, lalu berketurunan. Tujuan penciptaan manusia tidak bisa dilepaskan dari interaksi manusia terhadap Alloh dan terhadap manusia lain serta bumi sebagai lingkungan tempat manusia tinggal.

Berjalanlah di muka bumi, ambillah pelajaran, carilah rizki Alloh, bertemulah dengan banyak orang. Islam mengajarkan keterbukaan. Seorang muslim yang menyepi di gunung untuk menikmati ibadah tidak lebih utama dari seorang muslim yang berinteraksi dengan masyarakat dan bersabar terhadap mereka. Seorang muslim yang hanya berdiam diri di masjid tanpa menjalani kehidupan sebagaimana fitrah manusia telah kehilangan sisi kemanusiaannya.

Islam tidak memerintahkan umatnya menjadi rahib-rahib yang membujang terasing dalam rumah-rumah ibadah. Totalitas dalam beragama bukan diartikan sebagai beribadah ansich. Totalitas dalam beragama mengandung maksud bahwa dalam segala aspek kehidupan ditata dan dijalankan atas dasar agama. Berjuang mencari nafkah bisa bernilai ibadah, berjuang memeratakan kesejahteraan masyarakat juga bernilai ibadah. Menyingkirkan duri di tengah jalan pun menjadi bagian dari bukti keimanan.

Silaturahim memperpanjang usia dan membuka pintu rizki. Silaturahim artinya membuka diri, menjalin kasih sayang dan pertalian dengan orang di luar pribadi kita. Mengizinkan orang lain tahu tentang kepribadian kita, permasalahan kita, dan sebaliknya, akan menjadikan kita pribadi yang terbuka. Keterbukaan akan menggeser Kurva J kita, akan berubah pula kestabilan kita. Akan muncul masalah-masalah akibat berinteraksi dengan manusia lain. Akan ada ujian berbuah kestabilan.