Titik Memulai Hari

Suatu saat saya bersama teman-teman diajak menginap di rumah guru kami di salah satu daerah di Jawa Tengah. Rumah guru kami lumayan berada di dataran tinggi ditandai dengan jalan yang agak menanjak dan tanah yang berwarna coklat kemerahan. Kami tidur di rumah beliau hingga pada dini hari dibangunkan untuk bersama sholat malam.

Dalam tidur saya bermimpi telah dibangunkan lalu melihat suasana kampung yang begitu ramai oleh orang-orang.
"Kehidupan di sini dimulai pukul satu atau dua dini hari," kata guru saya dalam mimpi.
Ketika bangun memang saya mendapati ayah beliau kalau tidak salah sedang sholat di halaman rumah. Saya agak lupa, entah itu mimpi atau nyata.

Kami lantas mendirikan sholat malam di mushola sekitar seratus atau dua ratus meter dari rumah guru kami. Sambil menunggu antrian wudhu beberapa dari kami memulai sholat. Sesaat setelah kami sholat bersama, jamaah subuh mulai berdatangan. Subuhan diakhiri dengan saling bersalaman di antara jamaah.

Beberapa kali kami mabit menginap bersama guru kami, entah di masjid, di rumah salah satu dari kami, atau di perkemahan, jam berapapun beliau mulai tidur, hampir selalu jam setengah tiga dini hari beliau sudah mulai membangunkan kami. Mungkin itu sudah menjadi ritme beliau dalam memulai hari. Tentunya ritme irama sirkadian atau jam biologis kita berbeda-beda tergantung pola kebiasaan dan pembiasaan kita. Irama itu yang menjadikan kita mengantuk pada malam hari dan bangun pada pagi hari tanpa bantuan alarm.

Ada sebagian dari kita yang memulai hari saat berkumandang adzan subuh. Ada sebagiaan lain memulai pada pukul lima, pukul enam, pukul tujuh, dan sebagainya. Ada juga yang memulai hari justru saat matahari terbenam sebagaimana berlaku kalender qomariyah. Ada yang memulai hari pukul 00.00 seperti kalender syamsiyah. Semua hanyalah kesepakatan kita dengan diri kita masing-masing.

Para pegawai mungkin merasa memulai hari sejak memasuki kantor. Tentara memulai hari sejak apel pagi. Pedagang pasar induk memulai hari sejak dini hari. Pedagang angkringan bisa jadi merasa memulai hari saat menjelang maghrib. Pegawai dengan shift kerja harinya dimulai saat menjelang shift dimulai. Titik memulai hari menjadi awal kita menghadapi hari itu dengan penuh perjuangan. Orang sakit dan orang-orang yang tanpa aktivitas rutin pun pasti juga merasakan memulai hari.

Seorang anak kos di tanggal tua bisa jadi memundurkan titik memulai hari. Jika biasanya hari dimulai ketika sarapan lalu ke kampus, di tanggal tua anak kos menjamak sarapan dengan makan siang baru setelah itu hari dimulai. Seorang yang mengalami masalah berat, ditagih utang, dikejar deadline barangkali harinya dimulai seketika saat pagi hari membuka mata. Ada pula orang-orang yang tak bisa terlelap sesaat sekali terjaga dari tidurnya. Mungkin ada pula mereka yang harinya berjalan tanpa jeda, siang malam tak ada beda.

Di titik mana Anda menyepakati dengan diri sendiri untuk memulai hari? Dini hari, pagi hari, siang hari, sore hari, petang hari, atau malam hari? Atau Anda tak perlu kesepakatan sama sekali? Atau hari-hari Anda bergulir siang malam tanpa henti, hanya istirahat sejenak untuk meluruskan punggung dan mengistirahatkan badan, tak peduli siang malam? Bagaimanapun jua, semoga Alloh meridhoi setiap detik kehidupan kita.

Ashabul A'rof: Penghuni Perbatasan Surga dan Neraka

Jika selama ini Anda meyakini bahwa di akhirat nanti hanya ada dua pilihan tempat sebagai ketentuan dari Alloh yaitu surga dan neraka, mungkin Anda perlu menyimak tulisan ini. Ternyata kelak ada orang-orang yang tidak masuk surga namun juga tidak masuk neraka. Lalu bagaimana nasib mereka?

"Ya Alloh, aku bukanlah ahli surga namun aku tidak sanggup berada di neraka jahim. Maka terimalah taubatku dan ampunkanlah dosaku. Sesungguhnya Engkau-lah pengampun dosa-dosa besar."

Syair i'tirof Abu Nawas tersebut mungkin sering kita dengar. Syair seorang yang mengerti betul bahwa surga dan neraka ialah milik Alloh, wewenang dan kekuasaan menentukan tempat kembali manusia ialah hak dan kewajiban Alloh. Yang Maha Menghitung amal, menimbang, menilai, dan menyimpulkan hanyalah Alloh. Yang Maha Merahmati hanyalah Alloh. Yang memberi izin untuk memberi syafaat pada Nabi hanyalah Alloh.

Tak pantas rasanya kita masuk surga namun juga tak kuat kita masuk neraka. Hanya ampunan Alloh yang kita minta. Jika Alloh berkenan mengampuni niscaya kita pun akan dimasukkan-Nya ke dalam surga.

Sesungguhnya ada di antara manusia kelak yang tidak masuk surga namun juga tidak masuk neraka. Mereka berada di perbatasan antara surga dengan neraka. Mereka bukan belum dihitung amalnya, bukan orang-orang yang meninggal dalam keadaan gila, bukan anak-anak yang meninggal sebelum baligh. Mereka ialah orang-orang sebagaimana firman Alloh:

"Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada tabir dan di atas A'rof (tempat yang tertinggi) ada orang-orang yang saling mengenal, masing-masing dengan tanda tandanya. Mereka menyeru penghuni surga. 'Salamun 'alaikum' (salam sejahtera bagimu). Mereka belum dapat masuk, tetapi mereka ingin segera (masuk). Dan apabila pandangan mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata, 'Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang dzolim itu.'." (Al-A'rof: 46-49)

Ya, mereka itu Ashabul A'rof. Orang-orang yang menurut para mufassir berada di sana karena mati di jalan Alloh dalam keadaan bermaksiat kepada orang tuanya, atau mereka yang timbangan amal baiknya sama dengan amal buruknya, amal baik tak mampu mengantar ke surga sedangkan amal buruk juga tak mampu mengantar ke neraka, atau anak hasil zina, atau orang-orang sholih yang menghibur diri di al-a'rof, atau mereka yang diridhoi ayahnya namun tidak diridhoi ibunya dan sebaliknya, atau orang yang mati pada masa ketiadaan nabi namun tetap beragama yang lurus, atau para nabi, atau anak orang musyrik, atau orang yang beramal karena Alloh namun riya' dalam amalnya, atau pelaku dosa kecil yang dosanya tidak terhapus dengan sakit dan musibah di dunia sedangkan ia tidak melakukan dosa besar.

Jadi, di akhirat nanti ada manusia yang dimasukkan Alloh ke dalam surga tanpa hisab, ada yang karena rahmat Alloh, ada yang karena syafaat. Mereka yang berlomba dan bersegera dalam kebaikan termasuk mengorbankan harta maupun jiwanya di jalan Alloh bisa masuk surga tanpa hisab. Mereka yang konvensional dengan ketakwaannya, mengerjakan perintah dan menjauhi larangan sehingga timbangan amal kebaikannya lebih banyak, mereka masuk surga karena rahmat Alloh. Orang-orang yang termasuk golongan ketiga ialah mereka penghuni a'rof, atau orang-orang yang berada di neraka lalu diberi syafaat oleh Nabi Muhammad, para syuhada, dan orang-orang yang diberi hak memberi syafaat oleh Alloh, termasuk syafaat Al-Qur'an. Mereka menunggu syafaat agar bisa masuk surga setelah semua penghuni surga memasuki surga.

Ashabu A'rof, kelak akhirnya mereka pun dimasukkan Alloh ke dalam surga.
"Masuklah kamu ke dalam surga! Tidak ada rasa takut padamu dan kamu tidak pula akan bersedih hati." (Al-A'rof: 49)

Mungkin kita inilah para calon penghuni A'rof, sekuat takwa menghindari dosa besar namun terus saja mengerjakan dosa-dosa kecil. Amal kebaikan tak seberapa, tak punya amal istomewa, apalagi berkorban harta jiwa raga, rasanya tak ada pantas-pantasnya menghuni surga. Hanya rahmat dan syafaat kita harap.

Ilahi lastu lilfirdausi ahlan.
Wa laa aqwa 'alannaril jahimi.
Fahabli taubatan waghfir dzunubi.
Fainnaka ghofirudzdzanbil 'adzimi.

Allohu a'lam.
#catatan liqo'

Wasiat Kaos Kaki Bolong

Seorang pengusaha yang tengah menjalani masa tuanya meminta anak-anaknya berkumpul. Ia hendak memberi wasiat kepada ketiga anaknya. Seluruh anggota keluarga berkumpul untuk bersama mendengarkan wasiat sang ayah. Meskipun tidak dalam kondisi sakit di ujung kematian, ia merasa bahwa saat itulah saat yang tepat untuk berwasiat.

"Nak, kalian tahu bagaimana ayah membangun bisnis keluarga kita ini. Terutama Engkau sulung, masa kecilmu jauh lebih berat dari adik-adikmu karena saat itulah awal mula ayah memulai bisnis."

"Ayah sudah cukup tua, ayah ingin berwasiat pada kalian. Begini, ayah tidak perlu mempercayakan keberlanjutan perusahaan kepada salah satu di antara kalian. Ayah tahu kalian sudah cukup dewasa dan bisa mengurusnya bertiga."

"Ayah hanya ingin kalian memenuhi permintaan ayah ketika nanti ayah sudah meninggal."

Sang ayah membuka sebuah kotak lalu mengeluarkan sepasang kaos kaki yang ujungnya berlubang.

"Nak, ini kaos kaki ayah. Kaos kaki ini sampai bolong karena saat memulai bisnis yang begitu beratnya waktu itu, hingga membuat ayah tak sempat membeli kaos kaki baru. Tak sempat atau tak ada dana, itu sama saja. Kaos kaki ini yang menemani langkah-langkah kecil ayah memulai bisnis. Ayah sengaja menyimpannya sebagai pepiling atau pengingat bahwa bisnis keluarga kita ini dahulu dimulai dari sebuah kerja keras, kesederhanaan, dan kesabaran. Kalian perlu memegang prinsip itu kelak jika nanti melanjutkan bisnis keluarga kita."

"Nah, anak-anakku, ayah ingin berwasiat pada kalian. Jika nanti suatu saat ayah meninggal, ayah ingin dikubur dengan mengenakan kaos kaki bolong ayah ini. Kalian bersedia melakukan wasiat ayah?"

Sesaat ketiga anak pengusaha itu terdiam dan saling berpandangan lalu si sulung menjawab, "Insyaalloh, wasiat ayah akan kami laksanakan."

"Terima kasih anak-anakku."

Waktu berlalu hingga akhirnya sang pengusaha meninggal. Sebelum pak Rois memakaikan kain kafan pada jenazah sang pengusaha si sulung membawakan sebuah bungkusan.

"Pak, ini dulu wasiat dari ayah. Ayah berwasiat bahwa jika kelak meninggal ayah ingin dikubur dengan mengenakan kaos kaki ini."

"Coba saya lihat Mas."

"Bagaimana Pak?"

"Sepertinya tidak bisa Mas. Sebagai seorang muslim bapak hanya boleh mengenakan kain kafan saat dimakamkan."

"Tapi ini wasiat ayah saya Pak."

"Sekalipun wasiat, jika tidak sesuai syariat tidak bisa dilaksanakan Mas."

"Lalu bagaimana Pak?"

"Coba bagaimana bunyi wasiatnya, barangkali ada suratnya?"

"Di kotaknya ayah Mas," kata si bungsu.

Si sulung mengambil kotak yang juga menjadi tempat penyimpanan kaos kaki bolong ayahnya. Selembar kertas terlipat berbungkus plastik diambil lalu diberikan si sulung kepada pak Rois.

"Apakah ahli waris pernah membaca surat ini?" tanya pak Rois.

"Belum pernah ada yang membacanya Pak. Kami hanya dipesani tentang kaos kaki di kotak ini," jawab si sulung.

"Baik, akan saya bacakan."

"Bismillahirrohmaanirrohiim. Teruntuk ketiga putraku... Saat kalian membaca surat ini Nak, mungkin ayah sudah tidak bisa berbincang dengan kalian. Ayah tahu kalian tentu kebingungan melaksanakan wasiat ayah, iya to? Pak Rois pasti tidak memperkenankan kalian memakaikan kaos kaki bolong ayah sebelum ayah dikafani."

Pak Rois dan ketiga anak pengusaha itu melihat jenazah yang belum dikafani, baru ditutup selembar kain jarik bermotif batik. Seakan jenazah sang pengusaha sedang berbicara dalam kematiannya.

Pak Rois melanjutkan pembacaan surat wasiat, "Ayah tahu, dan ayah memang sengaja mewasiatkan ini. Kalian tidak perlu memakaikan kaos kaki bolong ke kaki jenazah ayah. Ayah hanya ingin memberitahukan kepada kalian, ayah hanya ingin berpesan. Nak, tak ada sesuatupun harta bermanfaat dan bisa kita bawa mati. Sedikitpun tidak, bahkan kaos kaki bolong yang tak berharga juga tak akan kita bawa mati. Kalian harus ingat itu. Lanjutkan kehidupan kalian di dunia, kelola perusahaan dengan baik, teruslah beramal sholih, dan selalu ingatlah apa yang akan kalian bawa kelak ketika mati. Bukan harta, bukan keluarga yang akan kalian bawa mati, tapi amal sholih yang akan menemani kalian."

Kisah ini ditulis ulang dengan penyesuaian sebagaimana disampaikan dr Agus Taufiqurrahman dalam kultum di masjid yang disiarkan ADITV.