Asal Muasal Istilah Debat Kusir

Bapak mertua saya pada tahun 2016 ini memasuki usia 79 tahun. Beliau turut menjadi saksi perang kemerdekaaan, clash Belanda, pemberontakan PKI, serta berbagai peristiwa sejarah lainnya hingga hiruk pikuk reformasi dan kini “menikmati” eranya pak Jokowi. Beliau masih ingat peristiwa-peristiwa penting nasional di masa lalu termasuk apa yang menjadi sebab munculnya istilah debat kusir.
“Tahu tidak asal muasal istilah debat kusir?” kata bapak suatu hari.
“Bagaimana, Pak?” tanya saya.
“Debat kusir itu adalah cerita Agus Salim saat naik delman,” terang bapak.

Ya, ternyata istilah debat kusir mulai populer ketika tokoh nasional tersebut menceritakan kepada khalayak tentang apa yang dialaminya sepulang dari kantor. Dialah KH Agus Salim salah satu dari sekian banyak pahlawan nasional. Ia seorang muslim. Ia dikenal sebagai jurnalis dan diplomat ulung. Ia menguasai setidaknya tujuh bahasa asing. Pada awal pembentukan dasar negara Indonesia ia menjadi anggota Panitia Sembilan. Pada masa pemerintahan Sjahrir hingga Hatta KH Agus Salim didapuk di kementerian luar negeri, mulai dari menjadi menteri muda hingga akhirnya menjadi penasihat menteri.

Hari itu parlemen memanas akibat adu argumen yang tiada habisnya antar anggota parlemen. KH Agus Salim mengingatkan agar para hadirin tidak berdebat kusir. Debat kusir tidak akan ada habisnya. Orang-orang terdiam mendengar istilah debat kusir yang dilontarkan oleh KH Agus Salim.

“Begini ceritanya. Suatu saat saya pulang kantor naik delman, saat itulah saya tak bisa mengalahkan lawan debat saya untuk pertama kalinya. Bukan di PBB saya kalah bicara tapi di atas delman dan hanya berhadapan dengan seorang kusir lah saya justru tak bisa memenangkan perdebatan saya. Saya sebut peristiwa itu sebagai debat kusir.”

“Anda semua jangan mengikuti jejak saya untuk debat kusir, debat tanpa tujuan akhir, hanya ingin membuktikan bahwa kita berada di pihak yang benar, tanpa pemecahan masalah sama sekali.”

“Saat itu,” kenang Agus Salim, “kami sama-sama memandangi pantat kuda yang menarik delman kami.”

“Tiba-tiba kudanya kentut. Saya katakan pada pak kusir, ‘Ini kudanya masuk angin Pak!’”

“Kusirnya bilang, ‘Bukan Pak, kuda saya keluar angin!’”

“Iya, dia kentut, keluar angin, tapi itu artinya dia masuk angin!”

“Tapi Pak, itu artinya dia keluar angin, bukan masuk angin!”

“Coba dipriksakan Pak, kuda Bapak sakit itu, masuk angin!”

“Sudah diobati Pak, makanya dia sudah bisa keluar angin!”

“Begitulah, debat kusir itu hanya selesai saat saya sudah sampai depan rumah. Apabila kami bertemu lagi mungkin kami masih akan memperdebatkan kentut kuda itu.”

“Hadirin sekalian, mari kita tinggalkan debat kusir, mari kita cari pemecahan masalah ini bersama-sama demi persatuan dan kesatuan bangsa.”


Begitulah, konon peristiwa ini sangat terkenal sehingga jika orang tua Anda lahir sebelum tahun 40an, tentu beliau juga mengenal asal muasal istilah debat kusir yang dicetuskan oleh KH Agus Salim.

Makna Pohon Sawo di Lingkungan Masjid-masjid Jami' Jawa

Jika sebelumnya kita pernah membahas "Kenapa Halaman Masjid Agung di Jawa Ditanami Pohon Sawo?" Kali ini akan coba kita gali kenapa di lingkungan masjid jami' selain masjid agung juga ditanami pohon sawo. Adakah hubungan antara pohon sawo di masjid agung dengan pohon sawo di masjid-masjid jami'?

Kisah bermula dari peristiwa Perang Diponegoro yang oleh orang Jawa dikenal dengan Perang Sabil. Konon untuk mengubur jejak Mataram Islam salah satunya para penulis sejarah sengaja menyebut bahwa Perang Diponegoro dilatarbelakangi perebutan kekuasaan di Kraton Ngayogyakarta (Pangeran Diponegoro merupakan anak raja yang tak berkesempatan naik tahta) dan dipicu penggusuran makam leluhur Pangeran Diponegoro oleh Belanda, jauh dari makna Sabil yang maksudnya fii sabilillah (di jalan Alloh, jihad membela agama). Jika didalami sejatinya Perang Diponegoro 1825-1830 disulut oleh adanya intervensi Belanda terhadap paugeran Kraton Ngayogyakarta. Setelah memecah Kerajaan Mataram menjadi dua: Ngayogyakarta dan Surakarta, Belanda menyisipkan misi Zendingnya menggeser penerapan adat-adat Islam di lingkungan Kraton. Kita tidak bisa memastikan misi Zending Belanda itu benar misi pengkabaran Injil atau ajaran lain karena yang ternampak di Tugu Jogja hingga kini justru stempel Bintang David / Bintang Daud / Segienam Israel / Yahudi / Theosofi, bukan Salib yang lazim sebagai simbol Nasrani penganut Injil.

Pangeran Diponegoro lari dari Kraton lalu mengadakan perlawanan dari luar istana dengan menggalang kekuatan para ulama, priyayi, rakyat, dan santri. Lebih dari separuh Kerabat Dalem Kraton yang terdiri dari para pangeran mendukung perjuangannya. Usai perang yang menewaskan hampir separuh penduduk Yogyakarta ketika itu, beliau Pangeran Diponegoro memerintahkan para pengikutnya untuk menyebar ke berbagai pelosok negeri. Mereka ini membawa satu ciri yang sama yaitu selalu menanam pohon Sawo Kecik di lingkungan masjid yang mereka tinggali.

"Podho nanduro sawo kecik" berarti tanamlah oleh kalian pohon Sawo Kecik. Kalimat ini sebenarnya merupakan sebuah "wangsalan" yang bermakna podho nanduro samubarang kang sarwo becik (sawo kecik) alias tanamlah oleh kalian segala hal yang senantiasa baik (selalu dan hanya kebaikan).

Selain pesan untuk menebar dan menanam kebaikan, Sawo merupakan sebuah akronim dari perkataan "SAmi'naa Wa athO'naa". Sami'naa wa atho'naa menjadi pilihan satu-satunya para prajurit yang menerima perintah dari pimpinan. Ketika pimpinan memerintahkan "Showwuu shufufakum!" maka prajurit menjawab dengan "Sami'naa wa atho'naa".

"Luruskanlah barisan-barisan kalian!"
"Kami dengar dan kami taat!"

Jadi hampir sama dengan alasan keberadaan pohon sawo di masjid agung jawa, dilestarikannya pohon sawo di masjid jami' ini terkait permasalahan alqiyadah wal jundiyah. Ya, sekali lagi pohon sawo di masjid-masjid jami' jawa mengingatkan kita pada salah satu prinsip kepemimpinan dalam islam yaitu Tho'ah atau ketaatan.

Bisa kita simpulkan bahwa Sawo di Masjid-masjid Agung Jawa dengan Sawo di Masjid-masjid Jami' Jawa memang memiliki kaitan yang sangat erat terutama dalam hal hierarki kepemimpinan. Masjid Agung Kraton menjadi masjid besar di ibu kota kesultanan, masjid-masjid jami' menjadi masjid satelit atau masjid perwakilan untuk menampung umat Islam di wilayah geografi yang tak terjangkau masjid agung. Masjid jami' dan beberapa masjid pathok negoro berada dalam satu komando kesultanan/ kerajaan. Masjid jami' membawahi beberapa musholla, langgar atau surau sebagai pusat kegiatan keagamaan sehari-hari masyarakat, termasuk pesantren.

Bisa kita lihat shof umat Islam begitu rapi dengan jenjang komando terstruktur kala itu. Hingga keluar sabda raja 2015 oleh Sri Sultan HB X yang menuai pro dan kontra, seluruh sultan Kraton Ngayogyakarta dahulu bergelar Sayyidin Panatagama Khalifatullah ing Ngayogyakarta Hadiningrat yang berarti penghulu pemegang urusan agama sekaligus perwakilan Alloh di Yogyakarta. Di atas kesultanan ada khalifah yang memegang pucuk pimpinan umat Islam di seluruh dunia. Khalifah terakhir yang membawahi seluruh kesultanan Islam di dunia ialah Khalifah 'Abdul Majid II. Khilafah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki akhirnya tumbang pada tahun 1924 (tepatnya tanggal 3 Maret 1924) atas inisiasi Kemal Attaturk sebagai tokoh utama dan dukungan musuh-musuh Islam di belakangnya. Meskipun sempat para ulama membentuk komite khilafah pasca digantikannya khilafah islamiyah dengan demokrasi, semangat mengembalikan khilafah itu luntur dengan adanya masalah-masalah dan konflik di banyak wilayah. Tanpa khilafah hingga kini shof umat islam tercerai berai bagai anak ayam kehilangan induk.

Kembali ke tanah Jawa. Pada masa dahulu hanya masjid agung dan masjid-masjid jami' yang boleh menyelenggarakan sholat jum'at. Sampai saat ini sebagian masyarakat muslim wilayah Jawa Tengah masih memegang kode etik otoritas tersebut. Selain ritual ibadah, sholat jum'at juga menjadi salah satu apel konsolidasi umat Islam. Dari wasiat takwa hingga wasiat amanat khalifah disampaikan oleh khatib melalui mimbar-mimbar masjid jami'.

Sholat jumat sangat kental dengan nuansa "sami'naa wa atho'naa". Di masjid-masjid jaringan Sawo Kecik hingga kini masih ada kebiasaan yang mungkin dianggap bid'ah oleh sebagian umat Islam kekinian yaitu sebelum khotib naik mimbar sang muadzin memberikan pesan kepada jama'ah mengenai fadhilah jum'at, pentingnya diam, mendengar, dan taat. Setelah itu muadzin akan menyerahkan tombak/ tongkat kepada khotib sebagai simbol otoritas dari khalifah. Baru setelahnya sholat Jumat dimulai dengan salam dari khotib diikuti kumandang adzan muadzin.

Prosesi serah terima tombak/ tongkat itu barangkali tak lagi menggetarkan hati umat Islam mutakhir tentang pentingnya mendengar dan taat pada pimpinan resmi. Sekalipun banyak riwayat mengenai tongkat yang dipegang khatib saat sholat jumat baik di masa Rosululloh maupun para khulafaur rasyidin serta para pengikutnya, kini banyak masjid tak menjadikannya sunnah. Bahkan para pemuka masjid yang masih mempertahankannya bisa jadi dianggap kolot dan klenik. Akhirnya prosesi itu banyak dihapus karena dianggap tanpa dalil, tidak perlu, dan menambah-nambahi ritual sholat Jumat. Sempurnalah keruntuhan sendi-sendi kepemimpinan umat Islam. Sholat Jumat sebatas ibadah mahdhoh.

Sekarang mungkin Anda tahu kenapa di ibu kota negara kita sampai ada kebijakan "pantau ceramah para khotib". Di masjid-masjid kampus juga begitu. Di Mesir pun begitu semenjak digulingkannya Muhammad Mursi, para khotib disortir afiliasinya. Di masa Presiden Soeharto "penertiban" itu juga dilakukan namun dengan halus. Umat islam dirapikan garis komandonya tapi dipegang pucuk pimpinannya. Beliau dirikan DMI, ICMI, MUI, BKPRMI, dsb untuk memudahkan kontrol terhadap umat islam. Sebenarnya pak Harto itu sosok pemimpin yang baik, pandai, dan cakap mengelola kekuasaan. Sayang ketika beliau mulai dekat dengan umat islam dan mulai ingin memajukan industri dalam negeri, ada yang tidak suka. Mereka yang tidak suka ini memiliki motivasi berbeda-beda namun bekerja sama menjalankan aksi yang sama: "Lengserkan Soeharto!"

Sawo Kecik tinggal sawo kecik, tak lagi melambangkan garis komando apapun. Sekarang zaman demokrasi, semua orang boleh membangun masjid, langgar, dan musholla. Semua masjid boleh mendirikan sholat Jumat, bahkan satu kampung dua mimbar sudah biasa. Khotib dan imam bisa siapa saja. Entah ini tanda kebangkitan atau kehancuran.

Nasta'inu billah...

Allohu a'lam...