"Lha Njenengan putrane pinten?"
"He... kulo dereng"
"Ooo... dereng berkeluarga?"
"He..."
"Punya anak itu ada seninya lho...
"
"Inggih."
"Njenengan pinten usiane?"
"Kulo taksih selikur, Pak."
"Oo... nanti maksimal 25 ya, kulo riyin nikah 25 tahun."
"Pengestune, Pak."
"Hanggih."
Kira-kira seperti itu kutipan perbincanganku dengan seorang bapak sambil menunggu acara dimulai.
Sore itu kami ada agenda silaturohim sekecamatan Ngemplak di Sport Hall Daaru Hiro'.
Sebenarnya sudah sangat (apa ya diksi yang tepat?), wes pengen banget. Halah! Ingin segera punya anak, tapi nikah aja belum. He3x...
--***--
Malam harinya setelah sholat jama'ah Isya di masjid salah seorang santri yang sering kuajar di TPA berbisik, "Mas, bar do'a aku arep takon."
"Saiki wae!"
"Mengko wae, takone suwe, dowo!"
"Saiki wae!"
"Mengko wae."
"Aku selak lungo!"
Percakapan di sela dzikir itu perlahan sayup ditelan tasbih, tahmid dan takbir.
Santri itu kelas 5 SD, ia menurutku santri yang paling rajin dan paling banyak bertanya. Bulan Romadhon 1429 H (Romadhon tahun ini) merupakan bulan di mana ia tidak pernah bolos sholat shubuh berjama'ah di masjid. Tubuhnya cukup padat berisi, mirip Sa Moe Hung (gimana sih nulisnya?) artis Hong Kong atau entah dari mana yang sering berakting di film-film eksyen. Wajahnya bulat mirip ayahnya. Dia suka sekali -hampir selalu- memakai celana cingkrang, congklang setinggi atas mata kaki. Celana yang sering dipakai oleh skater dan anak-anak gaul tapi jika dipakai oleh orang yang berjenggot pasti orang-0rang merasa aneh. Ah, masyarakat memang unik...
Tibalah waktu yang dinanti Udin untuk menanyakan pertanyaan yang katanya panjang itu.
"Ndene, Mas!", dia mengjakku menepi dari tengah ruangan masjid menuju dekat tembok sebeah selatan dekat jendela.
"Koe sing ndene."
"Hemm... ndene tho!"
"Yo," aku mendekatinya sambil sila berhadap-hadapan.
"Emm... opo yo?"
"Arep takon opo?"
"Hemm... Eh, Mas, koe wis nduwe pacar durung?"
"Hah, pacar? Durung. Pacaran ki ra oleh."
"Lha, kapan koe nikah?"
"He... kapan yo?" aku hanya bisa tersenyum geli mendengar pertanyaan yang katanya panjang itu.
Ternyata pertanyaan yang diajukannya adalah hal yang konyol untuk ditanyakan seorang anak kecil. Sebenarnya tidak juga sih, santri lain pernah menanyaiku juga masalah itu, "Mas, koe ki wes nduwe pacar durung?"
Tentu saja kujawab dengan jawaban serupa dengan jawabanku untuk Udin.
"Nek durung nduwe, ta'gole'ke..."
Hahaha! Aku hanya bisa tertawa dalam hati mendengar celotehan anak itu. Yah, anak zaman sekarang apakah benar sudah terkontaminasi virus cinta dari televisi?
"Umurmu piro to Mas?"
"Selikur."
"Ooo..."
Udin melanjutkan pertanyaannya.
Kali ini dia menanyakan masalah lain yaitu acara temu ustadz yang hari sebelumnya kuhadiri. Beberapa pertanyaan lain menyusul keluar dari mulutnya sambil kami tiduran di karpet hijau masjid. Sekilas kulihat bagian karpet di dekat pojok hijab antara jama'ah putra dengan putri ada lingkaran dari kapur lalu ditulisi "NAJIS".
Pembicaraan kami kini bertopik "NAJIS".
Entah jedanya seperti apa, pertanyaan selanjutnya adalah, "Koe ki kuliah Mas?"
"Ho'o."
"Nang ngendi?"
Lalu kutunjukkan tulisan KaLAM FK UGM yang ada di jaketku.
"Jurusan opo?"
"Keperawatan."
"Lha koq fakultas kedokteran?"
"Ho'o."
"Wes rampung durung, Mas?"
"Lagi ngrampungke skripsi."
"Ooo..."
Dalam hati aku bertanya, "Reti ra yo skripsi?"
Tanpa ada pemicu Udin kembali bertanya, "Eh, Mas, lha guruku kae isih kuliah. Lha koe kuliah koq durung nduwe bojo?"
Hahaha... kujawab saja, "Ho'o po piye? Njuk ?"
Aku teringat saat acara temu ustadz Yayasan Al-Hikmah yang hari sebelumnya kuhadiri di dusun Turgo Purwobinangun Pakem Sleman. Turgo adalah dusun paling utara di Purwobinangun Pakem, maka tak heran pukul dua siang sudah mulai dingin dan ketika adzan asar sudah mulai turun kabut. Di sela kami mengambil air wudhu untuk sholat asar di masjid Jumadil Kubro, seorang ustadz digoda ustadz lain.
"Akh, iki lho, akh Wanto wes arep."
"Oo iya to Pak?" jawabku sok tahu apa yang dibicarakan.
Pembicaraan bab nikah adalah tema yang tanpa diberi prolog cukup disisipi senyum genit sedikit licik pasti semua orang akan nyambung untuk membicarakannya, unik memang.
"Kapan akh? Undangan sing wau to?"
"Ah, ora," akh Wanto mengelak dari pertanyaanku.
"Ta'kira dah mau mbagi-mbagi undangan."
"Ini akh, arep nadhor" sambung pak Ahmad yang dari semula tersenyum-senyum menggoda akh Wanto.
"Ooo... nadhor. Lha undangan yang tadi dibuka-buka?"
"Yang mana?"
"Sing ten riko wau."
"Oo... Iku undangan syawalan."
Ternyata sahabatku itu sedang berproses menuju pernikahan dan rencananya akan melakukan nadhor alias melihat calon istri sebagaimana yang disunnahkan oleh Rosululloh Muhammad Shollallohu 'alaihi wa sallam.
"Semoga dipermudah, selanjutnya agar aku juga segera menyusul," doaku dalam hati.
--***--
Kapan Akhi? Kapan? Habis skripsi? Ah, skripsi memang sesuatu yang sangat menyenangkan, menegangkan, orang-orang di sekitarku bahkan nampak ikut tegang mengetahui skripsiku belum juga selesai.
Ganbatte... ^_~
-Abu Kholid-
3 komentar:
hehe.. akhid... ihikkk
hehe lucu Mas tulisannya...
oiya perkenalkan ana Arief, padmanaba angkatan 62 (2004-2007), gak sengaja nemu blog antum yang luar biasa ini, semacam jadi pengen bertemu dengan penulisnya :D
Salam kenal Arief, ayo ketemu! Saya di Jogja, 0819 044 033 66. Salam sukses! :D
Posting Komentar