Apakah benar Bapak Pembangunan
sebenarnya belum mangkat? Sang Presiden fenomenal yang memimpin Indonesia lebih
dari tiga puluh tahun itu masih hidup? Kematiannya menyisakan sebuah kesedihan
tersendiri bagi bangsa Indonesia. Jika Anda ingin tahu bagaimana beliau
meninggal dunia, saya tidak akan menceritakannya karena dulu saya juga hanya
mendapat info dari berita di televisi. Kurang lebih info tersebut sama dengan
apa yang dahulu Anda saksikan.
Setidaknya sudah saya temukan dua judul buku terkait bapak Soeharto. Dua buku tersebut kurang lebih membahas bagaimana seorang Presiden Soeharto yang dulu dipuja kemudian dicerca namun kini dirindu. Kejenuhan masyarakat pada pemerintah saat ini telah menghadirkan perasaan kangen mendalam terhadap pak Harto.
Jika kita mengamati truk, angkot, bis, atau kendaraan-kendaraan lain semestinya kita pernah melihat foto Sang Bapak Pembangunan dengan senyum manisnya sedang melambaikan tangan ada di sana. Banyak kita temui (dalam bentuk gambar) di jalan-jalan beliau melempar seulas senyum sambil berkata “Pie kabare le? Isih penak jamanku to?”. Seakan-akan beliau memang masih hidup.
Beliau menanyakan kabar kita, bagaimana negeri kita sekarang, bagaimana harga-harga bahan pokok, bagaimana harga BBM, bagaimana kondisi politik, bagaimana kondisi ekonomi, bagaimana keamanan negara. Setelah kita menjawabnya, beliau mengajak kita menganalisis: bagaimana jika dibandingkan dengan kondisi semasa kepemimpinan beliau? Ironi! Mungkin kita akan sambil nggonduk menjawab, “Inggih Bopo, taksih langkung sekeco jaman panjenengan rumiyin”.
Cobalah sekali waktu menanyakan pada orang-orang tua, pada simbah-simbah kita, bagaimana kondisi kita sekarang jika dibandingkan dengan jaman pak Harto. Sepertinya akan muncul jawaban serupa, masih enak jaman pak Harto. Hanya orang-orang idealis yang suka menegakkan benang basah mungkin akan menjawab, jaman sekarang sudah lebih baik, sudah lebih bebas dan demokratis, lebih ini lebih itu yang sebenarnya sekedar mencari-cari pembenaran atas “kudeta” rezim Soeharto.
Kapan Kita Merdeka?
Mari kita tengok sejarah (saya hanya membaca dari buku , jika ada kejadian atau penanggalan yang salah saya mohon maaf kepada pembaca dan mohon ampun pada Alloh, semoga esensi dari tulisan ini tetap bisa tertangkap oleh para pembaca). Dari perjalanan panjang kemerdekaan bangsa Indonesia kita akan memperoleh sebuah pola. Pola yang sebenarnya sangat menyakiti hati kita telah kita amini dengan ridho. Pola penjajahan pasca-Inggris-Belanda-Jepang ternyata lebih kejam dari penjajahan ketiganya. Pola itu bisa kita sebut penjajahan tingkat dunia.
Kita ringkas beberapa peristiwa sejarah bangsa kita. Mulai dari Perang Diponegoro tahun 1928 hingga (katanya) puncak demokrasi Indonesia yaitu saat ini akan kita rangkum. Usai Perang Diponegoro yang berlangsung sekitar dua tahun Belanda mengalami banyak kerugian. Belanda merampas harta benda (termasuk uang Gulden) milik orang pribumi dan memaksa orang pribumi mengakui uang kertas sebagai alat tukar.
Selanjutnya ketika Jepang berhasil merebut Indonesia dari Belanda, Jepang mengganti uang kertas Belanda dengan uang Jepang. Usai Jepang tunduk kepada Sekutu atas luluh lantaknya Hiroshima dan Nagasaki, Indonesia merdeka. Diangkatlah Soekarno – Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia secara aklamasi.
Sisi menarik dalam pidato proklamasi Soekarno – Hatta yaitu ketika pak Karno membacakan teks proklamasi. Emha Ainun Najib (Cak Nun) dalam Mocopat Syafa’at-nya bersama Kiyai Kanjeng dan jama’ah Ma’iyah pernah menyampaikan pertanyaan menggelitik. Kita kenal pak Karno adalah seorang orator yang selalu berapi-api dalam pidatonya. Kenapa pak Karno tidak berapi-api ketika membacakan teks proklamasi? Padahal itu momen sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Kenapa pak Karno membaca teks proklamasi dengan nada datar dan terkesan sangat biasa?
Suatu saat ada salah satu pembicara dalam Mocopat Syafa’at mengajak Cak Nun memerdekakan bangsa Indonesia. Kita sudah lebih dari 60 tahun merdeka, kenapa ingin memerdekakan Indonesia? Karena dalam pembukaan UUD RI 1945 dinyatakan, "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur". Artinya kita belum merdeka, kita baru sampai depan pintu gerbang kemerdekaan. Kita belum membuka pintu gerbang kemerdekaan itu tapi kita merasa sudah merdeka.
Bagaikan membeli sebuah rumah. Kita sudah memperoleh sertifikat dan kunci tapi kita merasa puas hanya dengan berada di depan pintu gerbangnya, sedangkan rumah itu masih dibiarkan dikuasai orang lain, bahkan disewa-sewakan. Sungguh ironi, melihat kondisi bangsa kita saat ini, kita mungkin akan bertanya-tanya, “Kita tinggal di negeri siapa?”
Indonesia merdeka sejak hari Jumat 17 Agustus 1945. Kita belum merdeka, Belanda belum mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia. Diadakanlah Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1948 sebagai perundingan pihak Indonesia dengan Belanda. Salah satu poin kesepakatan dalam KMB adalah Belanda akan mengakui kemerdekaan Indonesia dengan syarat bahwa Indonesia mau membayarkan utang Hindia Belanda sejumlah 4 milyar Dolar AS. Syarat berikutnya adalah BNI berhenti mencetak uang kertas, uang akan dicetak oleh De Javasche Bank. Persyaratan tersebut diiyakan oleh Soekarno.
Setahun kemudian ternyata Soekarno tidak juga mau memenuhi syarat yang diajukan Belanda. Akhirnya Belanda melancarkan serangan agresi militer pada tahun 1949. Indonesia tetap kokoh meski guncangan mendera. Soekarno sangat keras terhadap penjajah. Soekarno sangat menjaga nasionalisme dan harga diri bangsa. Mungkin kita ingat kata-kata “Go to Hell America” dan “Ganjang Malaisia”.
BNI 46 (Bank Nasional Indonesia) yang telah didirikan Soekarno pada tahun 1946 menjadi bank pencetak uang Rupiah (Oeang Repoeblik Indonesia). Dahulu Rp 10 setara dengan 5 gram emas. Maksudnya, setiap satu Rupiah ditopang oleh setengah gram emas. Sewaktu-waktu semestinya kita bisa mengambil emas tersebut. Pada tahun 1953 otoritas BNI 46 dalam mencetak uang rupiah diambil alih oleh Bank Sentral (Bank Indonesia) yang sebenarnya adalah bank swasta yaitu De Javasche Bank. De Javasche Bank dahulu didirikan pemerintah Hindia Belanda. Bank inilah yang membeli hasil bumi rakyat Indonesia pada masa penjajahan.
Pak Karno melancarkan politik mercusuar sehingga dunia tahu keberadaan Indonesia. Pak Karno menasionalisasi aset Indonesia yang dahulu dikuasai penjajah. Pak Karno menjauh dari IMF dan Bank Dunia. Pak Karno pun keluar dari PBB. Itulah yang sebenarnya memicu munculnya skenario G 30 S PKI dan SUPERSEMAR. Allohu a’lam. Keganasan Soekarno menjadikan para “penjajah” merasa khawatir.
Kisah Pembangunan Indonesia
Pada 11 Maret 1966 Soekarno digantikan oleh Soeharto. Orde Lama diganti Orde Baru. Soeharto membawa angin segar bagi para “penjajah”. Soeharto kembali masuk PBB dan berhutang pada IMF. Dibentuk pula IGGI (Intern Goverment Group of Indonesia) yang nantinya akan berkembang menjadi CGI (Consultative Group of Indonesia). Para konsultan pembangunan menggiring pemerintahan Soeharto pada jurang hutang tak bertepi. Mulai dari pembangunan jangka panjang, pembangunan jangka menengah dan pembangunan jangka pendek, semua berbasis hutang.
Laju pembangunan Indonesia tak terbendung. Dua puluh tahun dipimpin pak Harto Indonesia maju pesat. Swasembada pangan, Klompencapir, PKK, Dasawisma, P4, KB, serta berbagai istilah populer menjadi indikator keberhasilan pak Harto membangun bangsa Indonesia. Julukan Bapak Pembangunan dinisbatkan padanya. PKS (Partai Keadilan Sejahtera) pernah menyebutnya sebagai guru bangsa atau malah pahlawan dalam video kampanye Pemilu 2009 sehingga menjadi perbincangan kontroversif kala itu.
Dalam tahun-tahun pembangunan ada beberapa kali devaluasi dan senering mata uang Rupiah. Kebijakan-kebijakan tersebut mengakibatkan semakin tidak berharganya Rupiah. Kita bisa mengistilahkan kebijakan tersebut sebagai perampasan harta rakyat secara halus. Sebentar lagi kita akan merasakan kembali perampasan harta kita dengan judul “redenominasi” yang dilogikakan oleh para “perampok” dengan “sekedar penyederhanaan rupiah dengan menghilangkan angka nol, tidak mengubah nilai”.
Tahun 1971 secara tak kasat mata sistem cadangan emas pada rupiah sama sekali dihapuskan. Hasilnya rupiah dicetak tanpa topangan emas sama sekali. Jadi pemerintah (dalam hal ini sebenarnya swasta berjuluk Bank Indonesia) bebas mencetak sebanyak mungkin uang tanpa memperhitungkan cadangan emas. Dalam istilah mudah, uang kertas yang tadinya merupakan surat janji hutang berubah menjadi surat janji palsu.
Bersemi sebuah bibit bencana besar ketika tahun 1988 Indonesia mengubah peraturan perbankan yang tadinya hanya membolehkan bank asing membuka cabang di ibu kota menjadi boleh membuka cabang di mana saja. Bank asing bertebaran di seluruh penjuru Indonesia. Utang Indonesia terus menggunung, bahkan hingga masa akhir pemerintahan Soeharto akhirnya mencapai lebih dari 50 milyar Dolar AS. Begitu pula rakyat Indonesia sudah semakin familiar dengan pola hidup kredit.
Kita ingat salah satu film Warkop DKI (Warung Kopi Dono Kasino Indro) sekitar tahun 80an atau awal 90an berjudul “Setan Kredit”. Film tersebut mengangkat fenomena kredit yang menjamur di masyarakat, mau beli apa saja bisa dikredit, sampai-sampai ada setan kredit. Semasa saya kecil tukang kredit biasa disebut Mendring. Tukang Mendring biasa mengkreditkan barang-barang rumah tangga seperti panci, soblok, rantang, dan sebagainya kepada ibu-ibu rumah tangga.
Hingar bingar kesejahteraan koin pemerintahan Soeharto menampakkan sisi represif dan otoriter di sebaliknya. Hal tersebut memunculkan gerakan-gerakan bawah tanah yang berusaha menyuarakan kebenaran. Gerakan-gerakan tersebut kelak akan menjadi kekuatan yang akhirnya menumbangkan rezim Soeharto. Sebagian kaum terpelajar merasa tertipu dengan wajah manis pak Harto. Bagaikan bom waktu, ketertipuan itu mengumpulkan energi besar yang siap meledak.
Sepuluh tahun setelah liberalisasi perbankan, meledaklah krisis moneter. Perbankan kalang kabut. Nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS anjlog. Mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat ambil bagian dalam sebuah “kudeta demokratis”. Pak Harto lengser keprabon. Wakilnya ketika itu BJ Habibie menjadi pengganti pak Harto secara konstitusional. BJ Habibie merupakan putra terbaik bangsa yang selama ini menjadi salah satu rujukan pak Harto meminta pendapat.
Apakah Akhirnya Kita Merdeka?
Semenjak BJ Habibie menggantikan Soeharto mulailah suatu orde pemerintahan bernama Reformasi. Orde reformasi masih kita nikmati sampai saat ini. Konon di masa reformasi inilah demokrasi Indonesia mencapai puncaknya. Semua serba bebas berpendapat, hak-hak pribadi dilindungi, tak lagi ada represi, tak lagi ada kemencekaman. Seluruh rakyat Indonesia terutama para aktivis merasa memperoleh kemerdekaan sejati.
Reformasi memberikan jalan bagi seluruh rakyat untuk memimpin. Para politisi dan pengincar jabatan bagai ayam lepas dari kurungan. Partai-partai bermunculan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan, LSM, gerakan, semua dipersilahkan. Pesta pora demokrasi nan ironi telah terjadi karena justru pada momentum reformasilah para “penjajah” semakin bebas menghisap darah. Tanam paksa model baru disepakati secara sukarela. Para terjajah bahkan merasa dan harus bangga serta malu pada dunia jika tak menyerahkan hasil bumi kepada tuannya.
Perbankan semakin liberal. Bank Indonesia tak lagi milik swasta yang diatasnamakan pemerintah, ia bukan lagi bagian dari menteri, ia kini mandiri. Sejak bergulirnya reformasi, Bank Indonesia tidak lagi berada dalam kabinet pemerintahan Republik Indonesia. Bank Indonesia semakin bebas menentukan kebijakan moneter di negeri kita. Pemimpin dan politisi tak berkutik dengan pengendalian suku bunga oleh “penjajah” itu. Oh, siapakah sebenarnya pemilik negeri ini?
Dalam masa yang singkat BJ Habibie telah berhasil meningkatkan hutang pemerintah Indonesia dari sekitar 50 milyar Dolar AS menjadi di atas 70 milyar Dolar AS. Inikah merdeka? Justru runtuhnya rezim Soeharto sebenarnya bak hilangnya kerikil kecil dari sepatu para penjajah. Dahulu pak Harto masih sering berpaling pada kaum Nasionalis, juga pada pak Habibie sebagai tokoh industri Indonesia. Dua kubu selain kubu penjajah ini terkadang menghalangi para penjajah mempengaruhi kebijakan pak Harto. Mulainya orde reformasi mengubah posisi penjajah dari “mempengaruhi” jadi “menentukan”.
Sebenarnya kapan kita akan merdeka jika utang terus membelit kita? Proyek pembangunan infrastruktur semakin banyak. Proyek demokratisasi (baca: Pemilukada, pemilu) butuh biaya sedemikian banyak. Proyek pemberantasan korupsi perlu komisi. Proyek pemberantasan teroris perlu pasukan berbis-bis. Dananya dari mana? Hutang lagi saja! Siapapun pemimpinnya, kita tetap terjajah, tak ada pola lain selain pemerintahan berbasis hutang. Tak ada kebijakan yang lebih bijak selain berhutang, inna lillahi wa inna ilaihi roji'un!
Al-Kisah, hutang Indonesia sampai pertengahan periode keduanya pak SBY sudah mencapai 160 milyar Dolar AS. Kita hanya akan terus mencicil bunganya, entah kapan pinjaman asli kita lunas. Rakyat akan terus diperas. Sebagian besar pajak digunakan mencicil hutang. Subsidi-subsidi dikurangi, untuk apa? Semoga tidak dikorupsi, tapi sepertinya pasti: untuk mencicil hutang. Bantuan-bantuan kredit usaha rakyat, penguatan modal, hakikatnya apa? Agar rakyat semakin familiar dengan hutang. Agar kita jadi negeri kredit.
Hanya Sakit Hati
Akhirnya kita akan tahu pola penjajahan modern itu seperti apa. Tanpa invasi, tanpa pasukan, tanpa senjata, semua tunduk pada negara adi kuasa. The invisible hand telah mencekik leher-leher kita. Mereka mencekoki kita dengan air garam yang hanya membuat kita semakin haus, terus dan terus. Bagai candu narkoba, negeri kita telah ketagihan hutang. Di pelosok-pelosok negeri terpampang di hampir semua pohon di pinggir jalan: “Butuh dana cepat? Kredit 1 jam cair!”
Runtuhnya banyak kepemimpinan di berbagai negeri disebabkan belenggu hutang, tak terkecuali runtuhnya Daulah Turki Utsmani. Jika kita tak membuka persepsi, tinggal tunggu waktu saja berapa lama akan bertahan negeri ini. Maha Benar Alloh yang telah mengajarkan kita melalui Rosululloh doa agar kita tidak terlilit hutang dan terlindungi dari kesewenang-wenangan manusia.
Semoga tulisan ini mengalihkan saya dan Anda semua dari sekedar sakit hati ke level diskusi, dan semoga segera meningkat menjadi aksi. Minimal mari kita jauhkan diri dari perilaku berhutang, apalagi gali lubang tutup lubang. Na’udzubillah.
Pak Harto, Bapak kami, mengapa Engkau mati dengan meninggalkan hutang sebanyak ini?
1 komentar:
Tapi lebih baik... Karena smua d subsidi dan murah rakyatbun tentram...
Drpada hutang melambung suvsidi di cabut.. Pembangunan pun uang ivestor... Di tambah di jualnya perusahaan naSional pad pihak asing
.. Itulah kompeni...
Posting Komentar