Jodoh untuk Kaum Marhaen

Atas takdir Allah kami menikah dua puluh hari setelah pertemuan pertama kami. Bertemu pada 10 April, kami pun melangsungkan akad nikah pada 1 Mei di tahun yang sama. Ya, tepatnya delapan tahun yang lalu kami menikah.
Sekedar untuk mengenang momentum itu kami menonton sebuah film kreatif. Kami memutar sebuah film yang tak sengaja kami temukan saat mencari film pendek islami untuk persiapan kegiatan di bulan Ramadhan nanti. Film yang kami tonton berjudul "Teman ke Surga".
Bagi para jomblo fi sabilillah yang bertekad menjadikan bulan Ramadhan tahun ini sebagai Ramadhan terakhir dalam kesendirian, cobalah tonton film ini: https://m.youtube.com/watch?v=hgGsRoFaiZ0
JODOH ITU SEDERHANA
Sesungguhnya jodoh itu sederhana, kamu menikah dengannya, lalu mencintainya, itu saja.
Jika Allah berkehendak, tak butuh alasan apa-apa untuk menjadikan dua insan yang tidak memiliki cerita sebelumnya tiba-tiba saja menikah pada akhirnya. Allah telah menciptakan pasangan kita dari diri kita sendiri. Ada kesamaan, kecocokan, kesesuaian, kesejiwaan yang telah tertanam sejak kita masih dalam kandungan.
Seorang penyair mengatakan, "Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun. Cinta adalah anak kecocokan jiwa, dan jika itu tidak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan milenia."
Kecocokan itu akan saling memberi sinyal pada waktu yang telah disetel oleh-Nya. Mungkin ada sebagian dari kita yang mencoba mengingkari munculnya tanda-tanda dan gejalanya. Ada pula yang menyangka sudah saatnya padahal hanya karena gede rasa.
Sangat manusiawi jika sesama anak manusia saling berusaha menyamakan frekuensi. Wajar juga ketika mereka berusaha mencari-cari dimanakah pemilik frekuensi yang sama. Kemampuan manusia memang hanya meraba-raba.
Ada salah satu tips sederhana: cobalah untuk menemukan frekuensi sejati pada masing-masing pribadi. Beningkan, jernihkan. Semakin sedikit noise-nya, insyaalloh semakin dekat dengan frekuensi asli yang juga dipancarkan oleh seseorang di sana.
KAPAN SIAP MENIKAH
Menurut penuturan salah seorang guru saya, Soekarno pernah memaknai kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah jembatan emas. Kemerdekaan menjadi momentum yang siap tidak siap harus dilalui. Semangat seorang Marhaen harus ada pada diri bangsa Indonesia.
Marhaen, hanya mengayuh becak, gubuknya reyot, bahkan hanya dengan bermodal tikar dia berani menikah. Marhaen menikah tak perlu menunggu punya ini itu. Bangsa Indonesia pun menyatakan kemerdekaan tidak perlu menunggu ini itu. Proklamasi hanya harus dilalui.
Seorang Marhaen mungkin membutuhkan waktu dua tiga generasi untuk bisa memperbaiki taraf hidup sosialnya. Jika harus terus menunggu, kapan kira-kira momentum yang tepat untuk mengatakan "kita berjuang sama-sama ya mas" atau "insyaalloh kita perjuangkan bersama dek". Ya, barangkali justru dengan menikah itulah seorang Marhaen menemukan momentum untuk akselerasi perbaikan masa depannya.
Jomblo punya masalah, berpasangan punya masalah. Jomblo punya tanggungan, suami istri punya tanggungan. Bedanya hanyalah jomblo sendirian sedangkan suami istri bisa saling menguatkan.
Tidak sesederhana itu mas. Sederhana, jika kita seorang Marhaen. Para Marhaen terlatih hidup berbagi, suka maupun duka. Karena sesungguhnya menikah bukanlah tentang apa yang kita miliki saat ini, tapi siap atau tidak kita untuk benar-benar hidup berbagi.
Selamat hari buruh!
Milikilah semangat Marhaen. Menikahlah bukan hanya karena ingin meraih kebahagiaan di dunia. Menikahlah untuk keberlanjutan dan kebaikan generasi setelah kita. Menikahlah dan berjuanglah bersama. Jadilah teman ke surga bagi pasangan Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar