Kekhalifahan Bukan Otoritarian

Dari kisah malaikat yang mengajukan peninjauan kembali terhadap keputusan Allah menjadikan Nabi Adam sebagai khalifah di muka bumi, kita belajar betapa demokratisnya Allah. Allah sebenarnya bisa saja langsung menjadikan Nabi Adam sebagai khalifah tanpa mendengarkan pendapat malaikat, tapi Allah tidak menghendaki itu. Allah melakukan public hearing dengan malaikat, mengizinkan malaikat menyampaikan pendapat, bahkan sampai melakukan uji argumen.

Lapang pandang malaikat nampaknya kurang luas dan memang tiada bandingannya dengan ilmu Allah. Faktor-faktor yang melandasi keputusan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah belum sepenuhnya mereka pahami. Mereka hanya membandingkan faktor-faktor bawaan antara mereka dengan calon pemimpin bumi itu. Ketika malaikat dan manusia diuji dengan soal yang sama, malaikat baru sadar bahwa mereka telah mengajukan argumen yang salah tempat.


Malaikat tidak tahu kenapa manusia yang memiliki sifat buruk suka merusak dan menumpahkan darah justru dipilih menjadi khalifah padahal secara karakter dasar malaikat bisa dibilang lebih unggul karena senantiasa bertasbih, bertahmid, dan menyucikan Allah. Manusia memang dzolim tapi mereka bisa bertaubat. Manusia memang bodoh tapi mereka bisa belajar. Manusia memang tempat salah dan lupa tapi mereka bisa memperbaikinya. Manusia tidak seperti malaikat yang hanya bisa taat. Manusia dibekali akal yang memungkinkan mereka belajar dan saling mengajarkan, tak seperti malaikat yang tidak tahu apa-apa kecuali diberi tahu oleh Yang Maha Tahu.


Dengan segala kemampuan yang dikaruniakan kepada mereka, manusia tidak lantas boleh berkuasa tak terbatas. Allah melarang manusia terpancing mendekat pada kekuasaan yang absolut. Hal itu digambarkan dalam larangan, "Jangan kalian dekati pohon ini, agar kalian tidak menjadi orang yang dzolim."


Sejak manusia pertama, keinginan abadi tak tergantikan sudah menjadi masalah. Nabi Adam dan Siti Hawa diputuskan dari hak mereka untuk menikmati surga karena mengamini khasiat keabadian buah pohon larangan. Ibarat pengantin baru mendapat tawaran investasi, mereka berdua tergiur presentasi everlast kingdom yang disampaikan oleh syaitan, "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon keabadian dan kerajaan yang tidak akan binasa?"


Demi menjerumuskan Nabi Adam dan Siti Hawa, syaitan berdusta atas nama Tuhan. Selain keabadian, memakan buah khuldi juga berkhasiat bisa mengubah manusia menjadi malaikat, makhluk suci yang selalu taat, klaim syaitan. Syaitan memberi penawaran seolah-olah membisikkan rahasia, “Tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini, agar kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).”


Rupanya keabadian dan kesucian menjadi godaan yang sangat berat untuk ditolak oleh kedua penghulu manusia. Mungkin hingga kini anak cucu keturunannya juga mendapat godaan yang tak jauh berbeda. Pada kenyataannya manusia memang diciptakan tidak sesuci malaikat, juga tidak abadi, hidup mati dan berkuasa silih berganti. Wajar jika iming-iming akan dua hal itu terasa amat menggiurkan.


Dalam Islam kepemimpinan biasa diistilahkan dengan kekhalifahan. Kekhalifahan berasal dari kata khalifah yang artinya pengganti. Akar kata khalifah ialah khalafa yang berarti menggantikan. Pada dasarnya kepemimpinan selalu berganti atau dipergilirkan satu sama lain. Jika ada pemimpin yang tak pernah (mau/ merasa) salah dan memiliki obsesi memimpin dalam jangka waktu lama, maka sesungguhnya ia telah menyalahi titah khalifah.


Sebuah adagium mengatakan, "Power tends to corrupt. Absolute power, corrupts absolutely."

Setiap kekuasaan memiliki kecenderungan untuk korup. Jika kekuasaan sampai absolut, maka korupnya juga absolut, mutlak, tak terbendung. Dari sana dirumuskanlah aturan bahwa kepemimpinan perlu dibatasi oleh masa jabatan. Setiap periode, bahkan setiap saat kinerja kepemimpinan harus bisa dievaluasi. Jika saatnya tiba, siapapun berhak menjadi pengganti.


Indonesia pernah mengalami puluhan tahun dipimpin oleh presiden yang begitu karismatik pada eranya hingga ada nasihat, "Walaa taqrobaa haadzihisy syajarah!". Jangan kalian berdua dekati pohon ini! Saat itu penguasa menggunakan sebuah pohon sebagai simbol partai yang melanggengkan keluasaannya. Simbol pohon tentu mengingatkan kita dengan pohon larangan dalam kisah Nabi Adam.


Barangkali memang sudah menjadi rencana Allah, sesuci dan seabadi apapun pemimpin pasti akan sampai pada ajal kepemimpinannya. Disengaja atau tidak, di belakang pemimpin lama sudah siap pemimpin-pemimpin pengganti yang menjadi tulang punggung saat masanya tiba. Cepat atau lambat kepemimpinan pasti bergulir.


Semakin kultus pemimpin, semakin gagal ia memimpin. Jika seseorang sedang berada dalam posisi sebagai pemimpin lalu terlintas keinginan untuk terus memperpanjang masa jabatan, apalagi dikolaborasikan dengan sikap antikritik dan tindakan-tindakan represif, selayaknya segera kita munajatkan doa Nabi Adam 'alaihissalaam, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar