Suatu hari ada seorang yang ingin bepergian dari Jogjakarta ke Surabaya. Orang itu bernama si Fulan. Ia menuju Surabaya ditemani dua orang sahabat setia. Dua orang sahabat itu selalu mengikuti ke mana si Fulan pergi, berbelok, berhenti, makan, tidur, duduk, apapun kegiatan yang dilakukan si Fulan akan diikuti dua sahabat itu.
Awalnya si Fulan belum tahu ingin ke mana, ia kebingungan hingga kesana kemari tak tentu arah. Apalagi dua orang sahabat yang setia menemaninya selalu bertentangan pendapat ketika mereka bertiga menemui persimpangan jalan. Jika sahabat yang pertama memilih jalan ke kanan, sahabat kedua pasti memilih ke kiri, begitu pula sebaliknya dan seterusnya. Uniknya, dua sahabat itu selalu mengikuti arah manapun yang dipilih si Fulan. Jika si Fulan memilih jalan ke kanan yang disarankan sahabat pertama, sahabat kedua yang awalnya menyarankan ke kiri akan dengan sendirinya mengikuti jalan ke kanan yang dipilih si Fulan. Semakin bingung lah si Fulan karena dua sahabatnya tidak memberi saran penuh argumen dan pada akhirnya lagi-lagi pilihan ada di tangan si Fulan.
Dengan penuh keyakinan si Fulan memilih tujuan perjalanannya. Si Fulan memilih menuju Surabaya yang berarti arah perjalanan jika berangkat dari Jogjakarta adalah ke timur. Si Fulan menutup pilihan berjalan ke arah barat, ia merasa yakin bahwa ia harus berjalan ke arah timur. Berjalanlah si Fulan bersama dua sahabat setianya ke arah Surabaya. “Ke arah matahari terbit!” jawab si Fulan ketika kedua sahabatnya menanyakan ke mana mereka akan pergi.
Dalam perjalanan ke arah Surabaya, si Fulan dan dua sahabatnya menemui persimpangan pertama. Si Fulan belum meminta saran pada dua sahabatnya tentang jalan mana yang akan ditempuh agar sampai di Surabaya, tiba-tiba sahabat pertama menyeru, “Kiri!”
Sahabat kedua berteriak lebih keras, “Kanan!”
“Saya yakin jalan menuju Surabaya adalah ke arah kiri.” sahut sahabat pertama.
“Bukan ke kiri, lebih baik kita ke arah kanan.” sahabat kedua membalas ucapan sahabat pertama.
“Baiklah, kita ke kanan.” si Fulan mengambil keputusan ke arah kanan karena pernah mendengar cerita orang-orang bahwa jika ingin ke Surabaya, ketika menemui belokan pertama dari Jogjakarta semestinya kita berbelok ke arah kanan.
Ketiganya berjalan ke kanan tanpa menghiraukan pertengkaran tadi.
Si Fulan merasa telah memilih jalan yang benar karena tidak berapa jauh dari persimpangan itu ia melihat tulisan berwarna putih di papan hijau yang menyatakan bahwa Surabaya memang bisa dilewati melalui jalan itu. Waktu berlalu dan sampailah si Fulan di persimpangan kedua. Kali ini si Fulan tidak kehilangan akal, ia bertanya pada pak Polisi.
“Ke kiri nak!” jawab Polisi tegas.
“Kita ke kanan saja!” sahabat pertama meyakinkan si Fulan.
“Ikuti saja kata pak Polisi, kita ke kiri.” usul sahabat kedua.
“OK! Kita ke kiri!” seru si Fulan lebih tegas dari kedua sahabatnya.
Mereka melanjutkan perjalanan sesuai petunjuk pak Polisi.
Perjalanan itu berlalu sekian lama dan si Fulan mulai bosan dengan pertengkaran kedua sahabatnya tiap menemui persimpangan jalan. Sebenarnya si Fulan merasa bahwa sahabat kedua lah yang sering sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkannya yaitu Surabaya tapi arah yang diusulkan sahabat pertama juga pernah dipilih si Fulan dan sahabat kedua pun mengikutinya.
“Lalu siapa yang sebenarnya tahu jalan ke Surabaya?” si Fulan mulai geram.
Nampaknya dua sahabat itu memang membuat perjalanannya tidak nyaman dan selalu diliputi rasa was-was.
Penjual peta di pinggir jalan menarik perhatian si Fulan. Ia merasa membutuhkan peta itu agar pertengkaran kedua sahabatnya bisa dengan mudah diselesaikannya.
“Sahabatku, kini aku punya peta. Jika kalian bertengkar, aku akan melihat peta dan aku tidak akan bingung lagi dengan pilihan-pilihan jalan yang kalian tawarkan.” Si Fulan berpidato di depan kedua sahabatnya.
“Silakan, kami akan mengikutimu.” jawab kedua sahabat hampir bersamaan.
“Kita ke kanan!” ujar si Fulan di suatu persimpangan jalan.
“Ke kiri saja, saya kenal jalan ini.” sela sahabat pertama.
“Yah, karena sudah ada peta, kita ke kanan saja, di peta juga menunjukkan ke kanan kan?” masih saja sahabat kedua berbeda pendapat dengan sahabat pertama.
“Benar, peta ini mengatakan bahwa kita harus memilih arah kanan jika ingin ke Surabaya.”
Sahabat pertama mulai kesal tapi tetap saja mengikuti jalan yang dipilih si Fulan bersama sahabat kedua.
Kejadian serupa dialami ketiganya, sampai akhirnya sahabat pertama tidak lagi didengar pendapatnya oleh si Fulan. Sahabat pertama memutuskan untuk diam saja mengikuti jalan yang dipilih si Fulan bersama sahabat kedua. Sesekali sahabat pertama memberikan saran, si Fulan hanya tersenyum lalu memilih jalan yang ditunjukkan sahabat kedua dan peta yang dibawanya hingga suatu hari mereka sampai ke tempat yang dituju yaitu Surabaya.
---------------------------------------------
Itulah gambaran kehidupan manusia yang dipenuhi oleh plihan-pilihan dan selalu terjadi pertengkaran antara nafsu dengan hati. Pilihan-pilihan itu boleh jadi tidak selalu perkara besar tapi juga menentukan ke arah mana manusia berjalan. Ketika kita mendengar adzan, nafsu mengatakan “Ah, nanti saja, belum iqomat”
Hati menyarankan, “Bukankah kita harus bersegera kepada kebaikan? Mari segera ke masjid!”
“Nanti saja, baca buku dulu, kan lebih bermanfaat? Iqomat masih lama koq.”
Begitulah keseharian kita dihiasi adegan dan dialog antara nafsu dengan hati. Sebenarnya kita sudah tahu bahwa hati selalu menunjukkan kepada kebenaran dan arah yang kita tuju namun bujukan dan argumen nafsu kadang lebih menarik.
Pertentangan antara nafsu dan hati tidak akan terlalu berarti bagi kita jika kita tahu tujuan dan sudah mempunyai peta ke arah mana kita akan menuju. Ikuti peta yang pasti sesuai dengan saran hati dan biarkan nafsu merasa kesal, toh ia juga akan mengikuti ke mana kita pergi. Jangan pernah dengarkan saran nafsu sehingga nafsu akan menjadi sahabat yang bisa kita kendalikan.Nafsu yang membuat kita tenang dan tidak terus-menerus berbuat onar dalam diri kita, itulah nafsu muthmainnah. Jika nafsu telah tunduk pada pilihan kita dan hati nurani yang sesuai dengan petunjuk ilahiyah, ketenangan hidup akan kita raih, insya’alloh, dan semua tentunya juga semata atas petunjuk dan kekuatan dari ALLOH.
Mari kita mujahadah, berjihad melawan hawa nafsu, bersungguh-sungguh menuju ALLOH...
Allohu a’lam...
Sedikit hikmah dari kajian tafsir surat Luqman oleh ustadz Syatori 'Abdur-ro’uf pada hari Rabu 3 Desember 2008 pukul 05.30-06.30 di Masjid Pogung Raya
4 komentar:
postinngan antum ki produktif banget ya .... keren dah ....
"Ikuti peta yang pasti sesuai dengan saran hati dan biarkan nafsu merasa kesal, toh ia juga akan mengikuti ke mana kita pergi"
He he, good analogy. Kemana pun kita melangkah, hati & nafsu juga pasti akan ikut. Hanya saja pilihannya, membiarkan hati kita yang sedih atau nafsu kita yang kesal.
Yow, terus semangat & istiqamah menghadapi 'pertarungan' ini.
Nice and inspired article.. thank u..
Greenleaves> Anak muda harus produktif :D
Hanson> Allohu akbar!!!
Joddie> You're welcome... :)
Posting Komentar