Momentum vs Kesiapan

Seringkali kita harus membenturkan diri dengan keadaan. Bagaimana jika apa yang tak pernah kita sangka-sangka seketika ada di depan mata? Sebuah kesempatan, sebuah peluang yang baik datang pada kita saat kita berada dalam kondisi tidak siap. Apa yang akan kita lakukan? Menyiapkan diri? Tentu saja kesempatan itu akan lewat begitu saja kalau kita harus menyiapkan diri terlebih dahulu. Begitulah, seringkali kita harus membenturkan diri, memaksa diri kita siap dalam ketidaksiapan kita menghadapi peluang.


Bob Sadino, seorang pengusaha sukses pernah mengeluarkan celotehan ketika diwawancara di sebuah televisi, "Kalau cuma jualan telur aja kok harus kuliah?" 
Waktu itu Bob Sadino diwawancarai mengenai kisah suksesnya. Beliau mengawali bisnis dari berjualan telur. Beliau belajar bisnis sambil menjalaninya hingga sampai saat ini asetnya yang berupa tanah sampai berhektar-hektar. Intinya, mulai saja, resiko itu pasti ada, kalau bisnis terlalu itung-itungan ya nggak jalan-jalan karena takut rugi.



Suatu saat ustadz Anis Matta ditanyai mengenai kesiapan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memimpin bangsa Indonesia, mengelola negeri ini. "Apakah Anda sudah siap memimpin bangsa ini?" 
"Kalau ditanya seperti itu jelas akan saya jawab 'belum siap', tapi kalau diberi kesempatan tentu saja kami harus siap" 
"Bagaimana kalau partai Islam gagal mengelola bangsa ini?" 
"Kenapa kita ini takut gagal? Kalau partai sekuler saja gagal bertahun-tahun bisa kita maklumi, kenapa partai Islam tidak boleh gagal? Makanya, berilah kami kesempatan untuk gagal." 

Maksud ustadz Anis Matta adalah jika kita ditanya siap atau tidak, maka selamanya kita akan menjawab belum siap namun jika kita diberi amanah, mau tidak mau kita harus siap. Seringkali momentum itu datang dalam ketidaksiapan kita.



Dalam sebuah diskusi salah seorang teman menceritakan bagaimana seorang ustadz membacakan tafsir Ibnu Katsir dalam menjelaskan surat Al-'Alaq ayat 1-5. 
"Bacalah dengan nama Tuhan-mu Yang Menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhan-mu lah Yang Maha Mulia. Yang mengajarkan dengan perantara pena. Mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahui mereka ketahui." 

Penekanannya ada pada ayat kelima, "Mengajarkan manusia apa-apa yang tidak mereka ketahui"


Ibnu Katsir mengatakan bahwa seseorang yang membaca itu hanya akan paham sedikit, orang yang membaca dan menyimak akan paham lebih banyak. Seseorang yang mengamalkan akan bisa memahami lebih banyak dari dua hal sebelumnya. Seseorang yang mengajarkan akan bisa memahami lebih banyak dari selainnya.Ini konsep yang belakangan dibuktikan melalui penelitian, konon membaca hanya akan meperoleh 10 % pemahaman, mendengar 20 %, melihat 50 %, mempraktikkan 80 %, mengajarkan 95 %, dan sisanya kebijaksanaan.

Seorang ustadz TPA (Taman Pendidikan Al-qur'an) di Cangkringan pernah berbagi kisah ketika beliau yang belum bisa membaca Al-Qur'an memaksakan diri mengajar Iqro'. Sebuah panggilan hati melihat kebutuhan anak-anak belajar Al-Qur'an menghapus segala rasa malu, sungkan, takut dalam diri beliau. Bila kita bayangkan, bagaimana mungkin orang yang belum bisa justru ingin mengajarkan sesuatu yang belum ia kuasai kepada orang lain? Kuasa Alloh membuktikan, dari santri-santri yang diajarnya sang ustadz jadi belajar dan jadi tahu bacaan Al-Qur'an.

Apakah kisah di atas salah? Hmm... Kita tidak sedang membahas fiqh. Kita hanya ingin sama-sama menegaskan bahwa manusia itu diberi kemampuan belajar oleh Alloh. Tengoklah ketika malaikat memprotes kebijakan Alloh menjadikan manusia sebagai kholifah di muka bumi. Pada kenyataannya manusia bisa menyebutkan nama-nama benda yang sebelumnya tidak bisa disebutkan nama-namanya oleh malaikat. Manusia menamai alat ketik elektronik sebagai komputer, alat cetak sebagai printer, dan sebagainya.

"Habibie dari Selokan Mataram" sebuah judul film pendek yang mengisahkan seorang anak muda pembelajar mandiri menjadi inspirasi bagi kita. Setidaknya bekal akal untuk belajar yang telah dikaruniakan Alloh pada kita sudah cukup, sangat cukup. Kita hanya perlu membaca, "membaca" sebagaimana perintah dalam wahyu pertama yang disampaikan Jibril pada Muhammad. Institusi sekolah, perguruan tinggi dengan segala kurikulumnya tak boleh menjadi tempurung bagi seekor katak. Tanpa itu semua kita pun bisa belajar.
Bukankah Alloh membenturkan kita dengan setiap persoalan hidup dalam rangka mentarbiyah kita? Dalam setiap kejadian Alloh hendak mendidik kita hingga kita bisa memetik pelajaran dan menjadi hamba yang lebih baik. Bersiaplah menghadapi berbagai macam benturan dalam ketidaksiapan, sebagaimana jargon Pandu Keadilan, "Bersiap siagalah!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar