Umat Islam, Kita Ini Tokoh Utama

Kemarin di Jogja ada pameran expo anak, juga ada pameran islamic book fair. Yang di expo anak rame banget, nggak ada yang ngingetin sholat. Yang di islamic book fair ada yang ngingetin sholat tapi nggak serame yang di expo anak. Bagaimana sikap kita?

Bikin pameran sebesar expo anak sekaligus ada yang ngingetin sholat!

Selama ini dakwah kita selalu defensif. Dari zaman yang rame-rame baru kristenisasi, hingga islam radikal, islam liberal, NII, islam jamaah, ahmadiah, syiah, sampai ISIS, posisi kita selalu "Bagaimana ini? Bagaimana cara membentengi saudara-saudara kita? Dan sebagainya."

Setiap dilempar serangan (serangan selalu ada, hanya blow up nya yang pakai timing), kita seprti kebakaran jenggot. Musuh-musuh islam berhasil menggentarkan barisan kita dengan menyebar berita, "musuh ribuan di balik bukit", padahal cuma puluhan musuh berputar-putar dengan hentakan kaki kuda mereka menerbangkan debu sehingga nampak banyak.

Jika kita memang telah mengerjakan kewajiban kita berupa dakwah ilalloh, memperkenalkan dan mengajarkan islam kepada umat, insyaalloh tak gentar kita hingga menerbitkan buku, ceramah, mengadakan seminar, "ciri-ciri aliran sesat, bahaya ini, bahaya itu". Ibarat kita sibuk memompa jalan yang kebanjiran saat musim hujan karena selama ini kita belum bikin drainase yang baik.

Ketakutan, kegelisahan, dan kekhawatiran kita menunjukkan sebenarnya kita belum melakukan apa-apa, belum maksimal dalam menjalankan peran kita sebagai 'abid dan khalifah di muka bumi.

Banyaknya gempuran musuh semestinya tak hanya dibalas dan dibalas. Layaknya main badminton, kita hanya diombang-ambing kanan kiri kanan kiri tanpa punya determinasi bahwa kita yang harus menundukkan musuh.

"Pahami cara berpikir mereka, jangan berpikir sebagaimana mereka berpikir tentang cara kita berpikir"

Dilempar serangan blokir situs, rame kita bahas blokir situs. Dipancing konflik, kita ikut konflik. Ini semacam umpan, "test the water" bukan semata untuk mengetahui reaksi umat terhadap suatu isu/wacana, ini seperti mereka sedang menyusun kepingan puzzle. Pola gerak kita sedang dipolakan sehingga musuh akan tahu lebih banyak tentang kita, kelak lebih mudah bagi mereka untuk "membuat kita mengikuti mereka".

Di wilayah konflik sebagaimana Palestina, Mesir, dan sebagainya yang dakwahnya sangat butuh amniyah, tentu kondisinya tak sedemokratis Indonesia. Kita pernah berada di masa seperti mereka, dakwah perlu hati-hati. Namun nampaknya kita lupa. Inilah jebakan demokrasi, kita masih gagap hidup di alam demokrasi. Kita terlalu larut dalam fatamorgana, asyik dengan drama. Mindset kita masih ODB (Orang Demokrat Baru), meminjam istilah OKB (Orang Kaya Baru). Sebagaimana kekayaan harta dunia hanya alat, demokrasi juga demikian. Semoga bisa ditangkap maksudnya.

Di alam orde baru yang represif gerakan-gerakan dakwah mengakar kuat di bawah tanah tanpa bisa diberangus. Di alam pascareformasi yang serba demokrasi semua gerakan muncul ke permukaan, sangat mudah didata. Sangat mudah dibaca arah geraknya.

Gerakan-gerakan kecil digebuk dengan cap teroris (sekarang ISIS), petugas negaranya Densus 88. Gerakan-gerakan yang sudah besar dipermalukan dengan cap koruptor, petugasnya KPK. Kelompok-kelompok Islam yang tak populis siap-sia digerebek Densus. Kelompok Islam yang populis siap-siap ditelanjangi oleh media. Semuanya merupakan bagian dari resiko perjuangan dan bukan itu fokus kita.

Apapun yang sedang kita hadapi, musuh berupa siapapun yang sedang dibabakkan dalam episode perjalanan dakwah kita, kita harus punya narasi. Kita yang harus menguasai jalan cerita, firman ilahiyah dan sabda nubuwah yang jadi skenario kita.

Umat islam ini tokoh utama, jangan mau dikerjai oleh figuran-figuran konyol yang membuat tokoh antagonis tertawa di balik layar. Jangan mau nampak bodoh di atas panggung. Jangan larut dalam tiap adegan. Mari kita buat tokoh antagonis dan para penonton selalu waspada, bukan sebaliknya. Bila perlu buatlah, "Kok begitu? Kok diam? Apa yang direncanakan mereka?" Mereka tak boleh tahu bagaimana cara kita akan membalik keadaan hingga akhirnya kita yg menguasai jalan cerita.

"Mereka merasa telah membuat makar terbaik. Sesungguhnya Alloh lah sebaik-baik pembuat makar."

Hasbunalloh wa ni'mal wakiil, ni'mal maula wa ni'man nashiir, laa haula wa laa quwwata illaa billah al'aliy al'adhim.

Salam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar