Wasiat Kaos Kaki Bolong

Seorang pengusaha yang tengah menjalani masa tuanya meminta anak-anaknya berkumpul. Ia hendak memberi wasiat kepada ketiga anaknya. Seluruh anggota keluarga berkumpul untuk bersama mendengarkan wasiat sang ayah. Meskipun tidak dalam kondisi sakit di ujung kematian, ia merasa bahwa saat itulah saat yang tepat untuk berwasiat.

"Nak, kalian tahu bagaimana ayah membangun bisnis keluarga kita ini. Terutama Engkau sulung, masa kecilmu jauh lebih berat dari adik-adikmu karena saat itulah awal mula ayah memulai bisnis."

"Ayah sudah cukup tua, ayah ingin berwasiat pada kalian. Begini, ayah tidak perlu mempercayakan keberlanjutan perusahaan kepada salah satu di antara kalian. Ayah tahu kalian sudah cukup dewasa dan bisa mengurusnya bertiga."

"Ayah hanya ingin kalian memenuhi permintaan ayah ketika nanti ayah sudah meninggal."

Sang ayah membuka sebuah kotak lalu mengeluarkan sepasang kaos kaki yang ujungnya berlubang.

"Nak, ini kaos kaki ayah. Kaos kaki ini sampai bolong karena saat memulai bisnis yang begitu beratnya waktu itu, hingga membuat ayah tak sempat membeli kaos kaki baru. Tak sempat atau tak ada dana, itu sama saja. Kaos kaki ini yang menemani langkah-langkah kecil ayah memulai bisnis. Ayah sengaja menyimpannya sebagai pepiling atau pengingat bahwa bisnis keluarga kita ini dahulu dimulai dari sebuah kerja keras, kesederhanaan, dan kesabaran. Kalian perlu memegang prinsip itu kelak jika nanti melanjutkan bisnis keluarga kita."

"Nah, anak-anakku, ayah ingin berwasiat pada kalian. Jika nanti suatu saat ayah meninggal, ayah ingin dikubur dengan mengenakan kaos kaki bolong ayah ini. Kalian bersedia melakukan wasiat ayah?"

Sesaat ketiga anak pengusaha itu terdiam dan saling berpandangan lalu si sulung menjawab, "Insyaalloh, wasiat ayah akan kami laksanakan."

"Terima kasih anak-anakku."

Waktu berlalu hingga akhirnya sang pengusaha meninggal. Sebelum pak Rois memakaikan kain kafan pada jenazah sang pengusaha si sulung membawakan sebuah bungkusan.

"Pak, ini dulu wasiat dari ayah. Ayah berwasiat bahwa jika kelak meninggal ayah ingin dikubur dengan mengenakan kaos kaki ini."

"Coba saya lihat Mas."

"Bagaimana Pak?"

"Sepertinya tidak bisa Mas. Sebagai seorang muslim bapak hanya boleh mengenakan kain kafan saat dimakamkan."

"Tapi ini wasiat ayah saya Pak."

"Sekalipun wasiat, jika tidak sesuai syariat tidak bisa dilaksanakan Mas."

"Lalu bagaimana Pak?"

"Coba bagaimana bunyi wasiatnya, barangkali ada suratnya?"

"Di kotaknya ayah Mas," kata si bungsu.

Si sulung mengambil kotak yang juga menjadi tempat penyimpanan kaos kaki bolong ayahnya. Selembar kertas terlipat berbungkus plastik diambil lalu diberikan si sulung kepada pak Rois.

"Apakah ahli waris pernah membaca surat ini?" tanya pak Rois.

"Belum pernah ada yang membacanya Pak. Kami hanya dipesani tentang kaos kaki di kotak ini," jawab si sulung.

"Baik, akan saya bacakan."

"Bismillahirrohmaanirrohiim. Teruntuk ketiga putraku... Saat kalian membaca surat ini Nak, mungkin ayah sudah tidak bisa berbincang dengan kalian. Ayah tahu kalian tentu kebingungan melaksanakan wasiat ayah, iya to? Pak Rois pasti tidak memperkenankan kalian memakaikan kaos kaki bolong ayah sebelum ayah dikafani."

Pak Rois dan ketiga anak pengusaha itu melihat jenazah yang belum dikafani, baru ditutup selembar kain jarik bermotif batik. Seakan jenazah sang pengusaha sedang berbicara dalam kematiannya.

Pak Rois melanjutkan pembacaan surat wasiat, "Ayah tahu, dan ayah memang sengaja mewasiatkan ini. Kalian tidak perlu memakaikan kaos kaki bolong ke kaki jenazah ayah. Ayah hanya ingin memberitahukan kepada kalian, ayah hanya ingin berpesan. Nak, tak ada sesuatupun harta bermanfaat dan bisa kita bawa mati. Sedikitpun tidak, bahkan kaos kaki bolong yang tak berharga juga tak akan kita bawa mati. Kalian harus ingat itu. Lanjutkan kehidupan kalian di dunia, kelola perusahaan dengan baik, teruslah beramal sholih, dan selalu ingatlah apa yang akan kalian bawa kelak ketika mati. Bukan harta, bukan keluarga yang akan kalian bawa mati, tapi amal sholih yang akan menemani kalian."

Kisah ini ditulis ulang dengan penyesuaian sebagaimana disampaikan dr Agus Taufiqurrahman dalam kultum di masjid yang disiarkan ADITV.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar