BEKAL MENUJU KELUARGA BAHAGIA


oleh: ustadz Didik Purwodarsono 
diringkas oleh AKHID NUR SETIAWAN; 
mahasiswa Tarbiyah Tsaqofiyah Islamiyah rayon Sleman;semester V (lima); kelas C1-1; NIM: 06123113; 
sebagai tugas mata kuliah Rumah Tangga Muslim 1 
(Hmm... jadi pengen TTS lagi, harusnya dah lulus, tapi masih ada mata kuliah yang perlu diulang, tapi... mbayarnya dah mahal jhe, dah gak dapet gaji rutin nih, he3x...)



Bersyukurlah

Ada tiga peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menjadi rahasia ALLOH, yaitu: lahir, nikah, dan mati. Semestinya, kelahiran adalah tempat bertemunya tangis dengan senyum, bayi menangis, keluarga tersenyum bahagia. Semestinya, kematian adalah tempat bertemunya senyum dengan tangis, orang mati tersenyum dengan ikhlas meninggalkan dunia, orang-orang di sekitarnya menangis kehilangan. Sedangkan pernikahan semestinya adalah tempat bertemunya senyum dengan senyum, kedua mempelai tersenyum penuh makna, keluarga dan orang-orang di sekitarnya tersenyum larut dalam kebahagiaan.


Lahir adalah kepastian ALLOH yang telah berlalu, mati adalah kepastian ALLOH yang akan terjadi. Bagi yang belum menikah, pernikahan merupakan suatu probabilitas, kemungkinan, harapan dan impian yang penuh ketidakpastian. Artinya, setiap kita pasti sudah lahir dan setiap kita pasti akan mati, tetapi apakah setiap kita terutama yang belum menikah, pasti akan menikah? Bagi yang sudah menikah, pernikahan merupakan suatu nikmat yang perlu disyukuri agar melahirkan sakinah, mawaddah, rohmah, dan barokah.


Menikah demi masa depan

Sebagai wujud rasa syukur, jadikanlah pernikahan sebagai titik tolak untuk menatap masa depan. “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada ALLOH, dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada ALLOH, sesungguhnya ALLOH Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S. Al-Hasyr:18). Masa depan ada dua yaitu masa depan sebelum mati dan masa depan sesudah mati. Masa depan sebelum mati itu bersifat mungkin, sedangkan masa depan sesudah mati itu bersifat pasti.


Kecerdasan menatap dan bersikap terhadap masa depan sebelum dan sesedah mati sangat ditentukan ketika kita mampu meletakkan neraca keadilan, skala prioritas secara proporsional. “Dan carilah dengan apa yang dianugrahkan ALLOH kepadamu kebahagiaan di akhirat dan jangan kau lupakan kebahagiaanmu di dunia” (Q.S. Al-Qoshosh:77). Kejar yang pasti, jangan tinggalkan yang mungkin, termasuk di dalamnya adalah pernikahan. ALLOH melarang kita melupakannya, mengabaikannya apalagi meremehkannya.

“Bila seseorang telah melangsungkan pernikahan maka sungguh telah sempurna setengah dari agamanya, maka hendaklah ia bertaqwa untuk setengah dari sisanya” (H.R. Baihaqi).

Jika di dunia ini ada surga, itulah keluarga bahagia dan jika di dunia ini ada neraka, itulah rumah tangga yang tidak harmonis. Bagi Rosululloh, rumah tangganya yang sangat sederhana dibanggakan sebagai “Baitii jannati (Rumahku adalah surgaku)”. Keluarga surgawi itu seperti keluarganya Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim, bukan seperti keluarganya Nabi Nuh dan Nabi Luth, bukan pula seperti keluarganya Raja Fir’aun, apalagi keluarganya Abu Lahab. Keluarga surgawi adalah keluarga yang mampu merealisasikan do’a “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami pasangan hidup kami dan keturunan kami sebagai penenang hati kami dan jadikanlah kami ini imam bagi orang-orang yang bertaqwa” (Q.S. Al-Furqon:74).

Dalam membentuk rumah tangga masa depan -baik sebelum mati maupun sesudah mati-, ada tiga pilihan model keluarga yang ada di sekitar kita, yaitu: model tradisional, model modern dan model islami. Model tradisional adalah keluarga masa lalu yang masih dipertahankan oleh generasi tua yang kolot, model modern adalah keluarga masa kini yang sedang dibudidayakan oleh generasi dewasa yang kebarat-baratan, sedangkan model islami adalah keluarga masa depan yang sedang diperjuangkan oleh pemuda-pemuda pelopor pergerakan islam. Sebagai pemuda, manusia masa depan, tidak ada alternatif lain kecuali kita harus membentuk rumah tangga yang islami.


Menikah itu membenturkan idealisme dalam realitas

Ketika sudah bertekad untuk membentuk keluarga yang islami, sebetulnya yang harus dimiliki adalah kesiapan untuk memasuki sebuah realitas. Banyak manusia yang salah dalam memandang makna sebuah pernikahan. Bagi mereka menikah disikapi dengan pandangan seorang wisatawan yang akan berekreasi ke sebuah gunung. Gunung itu sebuah keindahan yang sempurna, tempat yang teduh, yang nyaman, membuat tenang, bahkan bernuansa romantis. Mereka lupa bahwa gunung itu realitas alam, bahwa gunung ada jurangnya yang curam, tebingnya yang terjal, lembahnya yang licin dan becek, binatang-binatang buas yang siap menghadang, duri-duri tajam yang siap menusuk tubuh, dan lain-lain.


Pandanglah gunung dengan kaca mata seorang petualang atau pendaki. Dalam pandangan pendaki, gunung adalah realitas yang banyak tantangannya, sedangkan rintangan dan tantangannya bukan untuk dihindari melainkan untuk ditaklukkan. Sebelum mendaki gunung, mereka tahu apa yang harus dipersiapkan dan ketika masuk wilayah gunung mereka tahu apa yang harus dilakukan. Kebahagiaan bukan ketika melihat luasnya medan melainkan ketika mampu melewati kesulitan.

Kepuasan, kebanggaan, dan kebahagiaan berumah tangga bukan ketika selalu merasakan kerukunan, kemesraan, ketenangan, dan romantisme. Kebanggaan suami justru ketika mampu menjawab tantangan ekonomi, sosial, dan politik. Kebahagiaan seorang istri justru ketika sudah merasakan beratnya hamil, sakitnya melahirkan, lelahnya menyusui dan repotnya mengurus anak-anak. Indahnya gunung justru ketika ada jurang dan tebingnya, indahnya laut justru ketika ada gelombangnya dan indahnya jalan apabila ada naik dan turunnya, ada belok kanan dan kirinya.

Tidak mungkin menjadi manusia tanpa masalah dan tidak menjadi masalah. Adapun masalah-masalah yang akan muncul setelah menikah di antaranya:
  1. Masalah internal
    Masalah internal yaitu masalah hubungan antara suami istri. Bersiap-siaplah menemukan perbedaan dari pasangan yang bisa berupa perbedaan biologis, psikologis, latar belakang sosiologis, historis, dan lain-lain. Untuk mengatasi masalah yang muncul butuh waktu, ilmu, dan kesabaran.
  2. Komunikasi antargenerasi
    Setiap komunitas, masyarakat yang normal, wajar dan standar selalu memiliki tiga generasi berdasarkan kelompok usia yaitu orang tua, orang dewasa, dan orang muda. Generasi tua merupakan generasi masa lalu yang suka bernostalgia, pandai bercerita, dan statis. Generasi dewasa merupakan generasi masa kini yang asyik dengan realita, sibuk berkarya, pragmatis, dan lupa sejarah. Sedangkan generasi muda adalah generasi masa depan yang idealis, kadang-kadang utopis dan suka memancang cita-cita yang kadang lebih cerdas melihat haknya ketimbang kewajibannya. Banyak terjadi keluarga muda harus mengalami konflik berkepanjangan dengan orang tua, mertua, saudara, dan tetangga. Masalah gap antargenerasi ini diperkuat oleh adanya konflik nilai.
  3. Konflik nilai
    Bangsa kita berada pada simpang tiga peradaban. Secara geografis kita sebagai bangsa timur yang masih tradisional, mistis, dan primitif. Taat pada tradisi ada ketakutan disebut kolot dan ketinggalan zaman. Secara historis saat ini kita berada di abad XXI, milenium III, peradaban modern yang sekuler dan materialistis. Ikut budaya barat ada ketakutan dicap tidak tahu adat dan terjebak maksiat. Sementara itu secara teologis kita bangsa beragama dan mayoritas mengaku muslim. Ketika konsisten dengan ajaran islam takut dicap ekstrem, fanatik bahkan bisa dituduh teroris. Kebingungan memilih membuat banyak generasi muda yang kehilangan identitas, split personality, dan krisis jati diri.
  4. Situasi dan kondisi zaman
    Ada tiga masalah yang selalu ada pada setiap zaman. Semakin bertambah situasi zaman semakin berkembang pula masalahnya yaitu masalah hati, otak, dan otot. Dalam bahasa lain persoalan abadi manusia berkisar pada masalah moralitas, kreativitas, dan kriminalitas. Kreativitas teknologi yang canggih banyak dimanfaatkan untuk merusak moralitas dan membantu kriminalitas.

Berorganisasilah yang baik

Salah satu prinsip berkeluarga adalah berorganisasi. Organisasi dibentuk untuk mencapai tujuan bersama dengan cara kerjasama bukan sama-sama kerja. Di dalam organisasi harus ditegakkan prinsip the right man on the right place, menempatkan seseorang sesuai dengan tempatnya. Akan terjadi bencana atau setidak-tidaknya organisasi tidak berjalan dengan baik apabila kita serahkan sesuatu amanat kepada yang bukan ahlinya.


Rumah tangga atau keluarga dalam al-qur’an sering disebut sebagai al-ahlu (Q.S. At-Tahrim:6, Toha:132, Al-Ahzab:33) paling tidak masing-masing anggota harus ahli di bidangnya. Yang pria ahli sebagai suami dan bapak dengan segala konsekuensinya, yang wanita ahli sebagai istri dan ibu dengan segala tanggung jawabnya.

Untuk mewujudkan organisasi yang solid, mampu menangkap peluang-peluang kesuksesan maupun mengatasi tantangan yang menghadang, paling tidak membutuhkan empat hal, dua hal yang pertama merupakan kesamaan, dua hal berikutnya merupakan kebersamaan.
  1. Kesamaan tujuan dan panduan
    Bisa juga disebut kesamaan visi dan referensi, kesamaan anggaran dasar dan kesamaan anggaran rumah tangga. Bagi seorang muslim, kesamaan tujuan, misi, orientasi, dan cita-cita ditentukan oleh kesamaan aqidah yaitu tauhid. Suami isteri harus memiliki pemahaman dan penghayatan aqidah yang sama. Oleh karena itu kita dilarang menikah dengan orang yang berbeda aqidah (Q.S. Al-Baqoroh:221). Kesamaan tujuan harus dilengkapi dengan kesamaan fikroh artau dasar pemikiran. Referensi orang beriman yang paling pertama dan utama adalah al-qur’an dan as-sunnah (Q.S. An-Nisa’:59). Dua kesamaan tersebut harus disepakati sebelum menikah.
  2. Kebersamaan kecenderungan dan aktivitas
    Kebersamaan kecenderungan dan kebersamaan aktivitas baru disesuaikan setelah menikah. Setalah menikah kedua mempelai harus latihan untuk membangun kebersamaan syu’uriyah dan sulukiyah, perasaan dan perbuatan, selera dan kerja. Pernikahan dilakukan dengan orang yang berbeda bukan orang yang sama. Pria dan wanita meskipun secara substansial sama namun secara eksistensial berbeda (Q.S. Ali Imron:36).

    Kebersamaan ini tidak cukup dengan toleransi dan memaklumi melainkan harus lewat tawar menawar. Misalnya keyika suami istri sepakat untuk membangun kebersamaan dalam hidup sederhana. Padahal suaminya berasal dari keluarga miskin sementara istrinya berasal dari keluarga kaya. Mau tidak mau ukuran kesederhanaannya akan berbeda. Jalan tengahnya suami harus menaikkan standar kesederhanaan dan istri juga harus berlatih menurunkan standar kesederhanaan. Kebersamaan ini juga meliputi masalah kesenian, hobi dan lain-lain.

    Kebersamaan yang kedua adalah kebersamaan dalam beraktivitas, sulukiyah. Bila membentuk keluarga dengan kesepakatan bahwa suami aktif di luar rumah sementara istri aktif di rumah maka kebersamaan aktivitas mungkin tidak terlalu sulit asal masing-masing ahli di bidangnya. Tetapi ketika suami istri sama-sama sibuk di luar rumah, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan dan tidak diduga maka harus memiliki komitmen yang jelas.

Empat penentu keharmonisan

Rumah tangga yang sakinah, mawaddah, rohmah, dan barokah baru bisa terwujud jika memiliki empat sarana dan ada kemauan untuk memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Empat hal tersebut adalah:

  1. Cinta naluri dan syahwat
    Pada awalnya ketertarikan terhadap lawan jenis lebih didominasi oleh cinta naluri dan syahwat, itulah yang disebut mawaddah. Setebal apapun iman seseorang, suami atau istri pasti akan merasakan kekecewaan bila mengetahui bahwa dirinya atau pasangannya ternyata tidak sehat secara biologis. Oleh karena itu jika bermasalah dalam hal ini, bersegeralah berikhtiar utuk mengatasinya dan bicarakanlah bik-baik dengan pasangan.
  2. Persoalan perut
    Manusia adalah homo economicus, yaitu makhluk yang mampu memiliki kesadaran dan tuntutan ekonomi. Oleh karena itu salah satu fungsi berkeluarga adalah fungsi ekonomis. Keharmonisan rumah tangga bisa terganggu dan terancam apaila masalah perekonomian tidak terselesaikan. Secara konvensional dan secara normal, dalam pandangan ekonomi keluarga, suami bertanggung jawab terhadap lancarnya pengadaan logistik atau barang dan istri bertanggung jawab terhadap lancarnya jasa dan servis. Dalam ajaran islam, nafkah itu kewajiban suami dan bapak, sebaliknya menjadi hak istri dan ibu. “Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf” (Q.S. Al-Baqoroh:233). Seorang sahabat bertanya, “Ya rosululoh, apa kewajiban seorang dari kami terhadap istrinya? Rosululloh menjawab, ‘bahwa engkau beri makan dia makan bila engkau makan dan engkau beri dia pakaian apabila engkau berpakaian’” (H.R. Abu Daud dan Nasa’i).

    Memberi nafkah adalah sesuai kemampuan, bukan sesuai dengan kemauan, termasuk menikah pun disyariatkan kepada para pemuda yang sudah mampu, bukan kepada yang sudah mau. “Orang-orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang-orang yang disempitkan rizqinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan ALLOH kepadanya. ALLOH tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang ALLOH berikan kepadanya” (Q.S. Ath-Tholaq:7).

    Tidak ada dalil-dalil agama yang memerintahkan atau menganjurkan seorang istri atau ibu untuk mencari nafkah seperti yang diperintahan kepada suami atau bapak. Meskipun demikian kita juga tidak menemukan larangan atau celaan kepada istri atau ibu yang membantu mencari penghasilan demi tegaknya mekanisme rumah tangga.

    Rumah tangga akan terasa indah dan harmonis jika ketika suami pulang dari mencari nafkah, yang di samping lelah, banyak masalah, mungkin juga banyak godaan wanita jalanan yang nampak siap untuk melayani. Sesampainya di rumah disambut seorang istri yang sholihah yang siap dengan jasanya, servis dan pelayanannya. “Sebaik-baik istri ialah jika kamu memandangnya maka kamu akan terhibur, jika kamu suruh ia akan menuruti dan patuh, jika kamu bersumpah agar ia melakukan sesuatu maka dipenuhinya dengan baik dan jika kamu bepergian dijaganya dirinya dan hartamu.” (H.R. Nasa’I dan lain-lain).

    Agar seorang istri dan ibu profesional pada bidangnya, dibutuhkan suami yang bertanggung jawab dalam bidang nafkah. Kepemimpinan yang adil dan berwibawa. Memiliki kemauan dan kemampuan untuk menilai, menghargai, dan memuji prestasi keistrian dan keibuan, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaqnya, dan sebaik-baik kamu ialah yang paling baik kepada istri” (H.R. Tirmidzi) “dan bergaullah dengan mereka dengan cara makruf, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal ALLOH menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. An-Nisa’:19).
  3. Persoalan otak
    Otak manusia adalah alat untuk berhubungan dengan IPTEK, ilmu dan teknologi. Mengandalkan aspek biologis dan ekonomis tanpa dukungan IPTEK akan membuat rumah tangga kita nampak tradisional, terbelakang, dan primitif. Untuk itu, membangun rumah tangga dituntut berbekal ilmu dan wawasan. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengarang, penglihatan, dan hati, semuanya itu diminta pertanggungjawabannya” (Q.S. Al-Isro’:36).

    Ilmu yang dibutuhkan diantaranya ilmu syar’i yang dengannya mampu membedakan tauhid-syirik, ibadah-maksiat, halal-haram, baik-buruk, benar-salah, hak-kewajiban, syukur-kufur, dan lain-lain. Ilmu psikologi, ilmu gizi, ilmu sosial, ilmu pendidikan anak yang bisa mendukung status suami-istri dan bapak-ibu. Ilmu untuk menantu, anak, ipar, saudara, dan sebagai tetangga yang baik.

    Perceraian, broken home, konflik berkepanjangan dan lahirnya anak-anak yang nakal pada dasarnya diakibatkan oleh keberanian (nekat) meenikah tanpa berbekal ilmu. “Adakah sama orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (berilmu)” (Q.S. Az-Zumar:9) oleh karena itu setelah menikah lebih bersemangatlah mencari ilmu. Jangan jadikan peristiwa menikah sebagai hambatan dan penghalang untuk terus mencari ilmu.

    Teknologi yang kita miliki hendaknya lebih menekankan fungsi, bukan gengsi. Teknologi yang berfungsi akan memudahkan urusan kita sedangkan teknologi yang bernilai gengsi sering merepotkan kita. Bedakan antara teknologi yang kita butuhkan dengan teknologi yang kita inginkan.
  4. Persoalan hati
    Hati adalah alat untuk menangkap, memahami, dan menghayati iman dan taqwa (IMTAQ). Hati yang berkembang secara positif akan melahirkan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang positif pula. IMTAQ inilah yang menjadi penentu barokahnya rumah tangga. “Jikalau sekiranya penduduk negri-negri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami itu, maka akan kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Q.S Al-A’rof:96).

    Paling tidak, IMTAQ bisa diwakili oleh delapan sikap. Empat sikap merupakan simbol hablumminalloh dan empat sikap sebagai simbol hablumminannas. “Mereka diliputi kehinaan di mana saja berada, kecuali jika mereka berpegang pada tali (agama) ALLOH dan tali (hubungan) dengan manusia” (Q.S. Ali Imron:112). Jika ingin meraih barokah ALLOH, perbaiki hubungan dengan ALLOH melalui empat aktivitas yaitu memperbanyak dzikir kepada ALLOH di mana saja, kapan saja, dan dalam keadaan apa saja. Berinteraksilah dengan ayat-ayat ALLOH, bacalah al-quran dengan memahami maknanya, bacalah sunnah-sunnah rosul-NYA karena keduanya sebagai buku petunjuk operasional dan teknisi instruktur opereasional untuk manusia. Tumbuhkan ketawakalan pada ALLOH, tidak cukup dengan percaya tetapi menaruh kepercayaan setelah ikhtiar maksimal jangan lupa selalu berdoa. Yang terakhir jangan sampai melalaikan sholat-sholat sunnat, itulah hak-hak ALLOH terhadap kita sebagai orang yang beriman (Q.S. Al-Anfal:2-4)

    Yang harus dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari adalah empat sikap yaitu: tumbuhkanlah sikap kedermawanan, suka memberi, membantu dan sadar terhadap kewajiban asasi. Tingkatkanlah kemampuan mengendalikan diri, sabar. Jadilah manusia pemaaf bukan pendendam dan yang terakhir adalah latihan budaya introspeksi, muhasabah, sensitif dengan penyimpangan dan kemaksiatan (Q.S. Ali Imron:133-135)

    Apabila IMTAQ sudah menjadi fondasi bangunan rumah tangga, insya'alloh akan mendapat fasilitas dari ALLOH berupa jalan keluar atau solusi dari persoalan yang sudah di ambang jalan buntu atau deadlock. Akan dimudahkan untuk mendapat rizqi bahkan akan ditunjukkan adanya rizqi yang di luar dugaan dan perhitungan. Segala kebutuhan kita akan dimudahkan, posisi sosial kita dimuliakan dan diberi pahala yang berlipat-lipat (Q.S. Al-Jumu’ah:2-5) dengan demikian rumah tangga kita akan menjadi medan untuk meraih idealisme kita yaitu: “Ya tuhan kami, berikan kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka” (Q.S. Al-Baqoroh:201).
---end of this session---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar