Bagai Air di Daun Talas

Kapan terakhir kali anda menggunakan peribahasa atau majas dalam bercakap-cakap? Menulis dengan perumpamaan? Sepertinya sudah lama sekali kata-kata indah dan nyastra tidak kita gunakan dalam hidup keseharian. Setidaknya SMA menjadi saat terakhir kali kita berkutat dengan pelajaran bahasa Indonesia dan sastra. Yah, kecuali mereka yang bergelut dalam dunia kata-kata.

Tidakkah kita sadar bahwa khasanah bahasa di negeri kita amat indah? Siapa kini pengusungnya? Pantun, pak Tifatul Sembiring seakan menjadi ikon pejabat yang cakap dalam merangkai sampiran dan isi dalam pidato-pidato dan berbagai pernyataannya. Ibu Megawati juga menjadi ikon pembuat perumpamaan-perumpamaan pedas bagi lawan politiknya. Ah, indah nian, rancak bana, AKU CINTA BAHASA INDONESIA!

Dalam gerimis isi kepalaku berjalan ke masa kecil ketika masih SD. Kelas dua atau tiga SD aku membuat karangan waktu THB (Tes Hasil Belajar). Ada empat gambar petani acak dari membajak, menanam padi, memanen, serta mengolah hasil pangan yang harus dirangkai menjadi sebuah cerita. Rupanya aku terlalu banyak menggunakan kata "lalu".

Masih di usia SD, bermodal sebuah radio tua aku sering merekam acara kirim-kiriman pantun di salah satu stasiun radio lokal lalu mencatat hasil rekaman tersebut dalam sebuah buku. Menyenangkan sekali rasanya ketika di sekolah aku bisa memplagiat pantun dan memamerkannya pada teman-teman. Kadang aku juga mencoba mengarang pantun. Sebuah pantun penyemangat pernah kutempel di dinding kamarku, "Bunga mawar bunga kates, selamat belajar semoga sukses".

Di kelas satu SMP pelajaran bahasa Indonesia begitu menyenangkan. Ibu guru kami senang bercerita, dari yang lucu hingga yang horor. Tiap awal pelajaran masing-masing kami bergantian maju ke depan kelas untuk bercerita atau apapun terkait bahasa verbal sebagai bentuk aktualisasi diri dan "belajar ngomong". Belum lama ini baru kuketahui ternyata hasil tes IQ-ku ketika itu menunjukkan bahwa kemampuan berbahasaku lebih menonjol dibanding kemampuan lain seperti logika, mekanis, dsb.

Pada saat kelas dua SMP aku mempunyai sebuah buku koleksi puisi yang sebagian besar berisi karya-karyaku dan beberapa karya teman-temanku. Pelajaran bahasa Indonesia tetap menyenangkan saat itu, mengetahui beraneka macam majas, drama, novel, parafrase, jenis-jenis pidato, dongeng, legenda, dsb. Saat itu aku tak pernah menyadari bahwa aku punya kecenderungan yang lebih pada bahasa, hanya merasa "ini menyenangkan, menarik sekali!"


Menginjak usia SMA kecenderunganku terhadap bahasa tetap tak kurasakan. Di akhir masa-masa paling indah yang hanya dua tahun itu teman-teman menyebutku pujangga. 
"Hah! Apa-apaan ini?" kataku. 
Ternyata hal itu dikarenakan aku cukup sering membuat tulisan yang katanya "menyentuh" di buku curhat kelas. Seorang teman bahkan mau menunggu dan meminta aku berjanji menulis sebuah buku dalam waktu lima tahun seusai lulus SMA.


Kini jangankan menulis sebuah buku, skripsiku saja masih tak jelas, bagai air di daun talas. Hehe...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar