Suatu sore rombongan suporter sebuah kesebelasan pulang dari stadion sambil merayakan kemenangan tim kesayangan mereka. Sebagian dari mereka tidak memakai helm bahkan pada akhirnya bersama-sama menerobos lampu merah, para pengguna jalan lain tak punya nyali untuk melawan pelanggaran mereka. Sekelompok siswa putih abu-abu dengan berani menyerang sekelompok siswa dari sekolah lain, tak hanya batu, balok, rantai, gir, bahkan sampai senjata tajam mereka gunakan untuk "berperang". Berpuluh demonstran tanpa merasa bersalah merusak fasilitas umum. Itu beberapa contoh perilaku psikologis pada sekumpulan massa. Mereka jadi berani melakukan pelanggaran serta hal-hal membahayakan karena berkumpul dan mempunyai kesamaan nilai.
Apakah ketika suatu pelanggaran dilakukan oleh banyak orang lantas hal tersebut menjadi ma'fu atau tidak dikenai hukum? Wah, bisa gawat urusan kalau begitu. Korupsi bareng, sogok suap bareng, penjarahan, dsb, masak mau dibiarkan? Inilah kelemahan hukum dunia. Hukum Alloh di akhirat nanti tidak menghukumi massa tapi individu. Hubungan ayah anak tak lagi bermanfaat, suami istri, santri kiyai, semua itu tidak bisa membantu kita mempertanggungjawabkan perbuatan kita sendiri di hadapan Alloh.
Dalam sebuah pengajian seorang kiyai menceritakan pengalamannya ketika masih nyantri di sebuah pondok pesantren. Malam itu di pondok sedang ada acara peringatan harlah NU. Keramaian acara menggiurkan para santri untuk diam-diam "metu", keluar dari pondok yang sebenarnya merupakan perbuatan larangan bagi santri di pondok. Beliau berpikir, "Nek bareng-bareng paling rak yo ora diukum" (Kalo bersama-sama mungkin tidak akan dihukum)
Apa yang terjadi ketika sekumpulan santri "bandel" itu kembali ke pondok? Ternyata pak kiyai sudah menghadang di jalan masuk pondok dan akhirnya semua santri yang melanggar aturan pondok tersebut dihukum masuk kolam dengan pakaian lengkap. Melanggar secara berjama'ah bukan berarti tidak akan mendapatkan 'iqob. Ini juga bermakna bahwa kebatilan yang umum dilakukan orang tetaplah kebatilan.
Mengikuti kebanyakan orang belum tentu benar. Segala sesuatu harus ada standar kebenarannya. Standar kebenaran dalam hidup ini tentunya Al-Qur'an dan As-Sunnah. Betapapun banyak manusia mengerjakan dan memaklumi suatu perkara, jika perkara tersebut merupakan bagian dari larangan Alloh maka sampai kiamat akan tetap menjadi larangan Alloh. Yang halal itu jelas halal dan yang haram itu jelas haram, kaidahnya tetap. Adapun di antara keduanya ada perkara syubhat, ini yang perlu kehati-hatian lebih.
Sebuah sajak jawa mengatakan, "Jamane jaman edan, yen ora melu edan ora keduman, nanging isih luwih bejo wong kang eling lan waspodo"
Zamannya zaman gila, kalau tidak ikut gila tidak kebagian, tapi masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada. Akan ada suatu masa di mana keadaan dunia menjadi sangat kacau, halal jadi haram, haram jadi halal, kemaksiatan dan kerusakan merajalela, serta keadaan lain yang mengerikan. Pada saat itulah semua orang menjadi "gila" kecuali mereka yang tetap berpegang teguh pada kebenaran. Kebenaran dari Al-Qur'an dan As-Sunah bersifat mutlak, tidak dipengaruhi waktu dan tempat.
Kaidah "al-'aadatu muhakkamatun", suatu adat bisa menjadi (standar) hukum berlaku ketika Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak menerangkan perkara mengenai hal tersebut. Kita ambil sebuah contoh dalam hal pernikahan. Kebiasaan orang Indonesia menikah dengan mahar seperangkat alat sholat. Apakah ini bid'ah? Rosululloh tidak pernah menetapkan mahar yang harus diberikan seorang laki-laki pada wanita calon istrinya. Jika adat kita membiasakan mahar berupa seperangkat alat sholat dan hal tersebut boleh-boleh saja dalam fiqh munakahat maka tidak perlu khawatir menjadi bid'ah ketika kita melestarikannya. Allohu a'lam...
Tidak semua psikologi massa membuahkan keburukan atau pelanggaran. Perintah Alloh agar kita berpegang teguh pada tali Alloh dan larangan berpecah belah berhubungan dengan psikologi massa yang baik. Kecintaan Alloh pada barisan yang rapi dan tersusun kokoh juga merupakan salah satu bentuk psikologi massa. Ketika suatu kelompok bertemu pasukan musuh maka kelompok itu dilarang mundur kecuali menyusun siasat atau menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, perintah pergi ke medan perang secara bersama-sama atau berkelompok-kelompok, perintah berjama'ah, larangan banyak berdebat, dsb menunjukkan bahwa psikologi massa juga mempunyai dampak baik. Mungkin kita ingat kisah para sahabat mengobok-obok sebuah selat karena salah satu dari mereka kehilangan barangnya di dalam air atau ketika para sahabat bersama-sama membersihkan gigi dengan siwak hingga pengintai dari pasukan musuh merasa takut.
Kesatuan kekuatan 'aqidah dan ukhuwah membuat para sahabat berani dan akhirnya menang dalam perang Badar meski jumlah musuh lebih banyak. Seorang Musa meminta Alloh mengutus Harun untuk menemaninya karena merasa takut menghadapi Fir'aun. Keduanya lalu meminta Alloh mengutus Bani Isroil bersama mereka. Dengan berjama'ah Islam merasa dan menjadi lebih kuat. Dengan berjama'ah pula pahala sholat menjadi berlipat-lipat.
Jika kita pernah menonton "Finding Nemo" kita pasti melihat adegan sekelompok ikan terjerat jaring nelayan. Nemo mempunyai ide untuk mengajak semua ikan berenang ke bawah. Akhirnya semua ikan berenang ke bawah bersama-sama hingga kayu penyangga jaring patah dan semua ikan kembali terbebas. Jama'ah mempunyai kekuatan dan pengaruh yang luar biasa. "Satu lidi tak bisa apa-apa, tapi jika dikumpulkan menjadi sapu, kotoran mana yang tidak bisa dibersihkan?" begitu kira-kira kata ustadz Rahmat Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar