Keluarga Muslim Cendekia Medika: Gak Ada Matinye...


“Kita tidak punya istilah ’mantan PH KaLAM’. Sampai kapanpun kita tetap PH KaLAM. Hanya saja penyebutannya adalah dengan ‘PH KaLAM tahun sekian’. Pak Faishol tetap PH KaLAM tapi PH KaLAM tahun 2004, Pak Eka juga tetap Mas’ul KaLAM tahun 2005, begitu seterusnya. Jadi tidak ada yang menjadi mantan atau berhenti dari jabatan PH KaLAM.”
(Arum Puspita Sari, Sekretaris Jenderal KaLAM 2005)

–maaf kalo kutipan tidak sama persis dengan pernyataan yang bersangkutan, tapi intine ngono lah... v^.^ -


Aku Masih di Sini untuk Setia


Mba Aruuummm... gimana kabar Dzaki??? \(^o^)/ 
Jadi kangen ditanya-tanyain sama Mba Arum... “Gimana Dek?” Hmm... mba Arum tu punya mata-mata apa ya, semua masalahku sepertinya diketahui sama PH yang satu ini, sampai masalah kuliah dan nilai-nilaiku yang pernah terpuruk, hehe... Punk! >.< Awass!!! 

Entah di Musyawarah Besar KaLAM tahun berapa setelah sekitar satu setengah tahun kami selesai mengurusi Ma’had KaLAM dan bahkan sudah dipertanggunjawabkan di hadapan “konstituen” mba Arum masih nagih disein sertifikat... Gubrakkk!!! 

“Ini mba, pas kebetulan takbawa koq, bawa flashdisk kan? Oya, diprint di kertas ijo ya...”


Benar, ini bukan sekedar organisasi, ini bukan sekedar program kerja, ini bukan sekedar kaderisasi, ini KaLAM, Keluarga Muslim Cendekia Medika. Singkatan yang aneh, memang... @_@ 
Jika kalian tak merasakah ukhuwahnya, jika kalian tak merasakan semangatnya, jika kalian tak merasakan perjuangannya, jika kalian tak merasakan nikmat ilmu-Nya, jika kalian tak merasakan “jayus”nya, salahkan PH! Haha! 

“Gimana kabar KaLAM Dek? Cuma ngurus KaLAM ya? He... Oiya, Akhid kan rumahnya di KaLAM...”



Janji Suci a.k.a. Bai’at

Masalah yang satu ini memang memunculkan pembahasan panjang. Pada dasarnya kita mengenal dua macam bai’at: bai’at pada Alloh dan bai’at pada pemimpin. Apakah dalam sebuah organisasi (keagamaan) diperlukan bai’at? Itu tidak akan kita jadikan perdebatan di sini.


Dalam surat Al-A’rof ayat 172 (hafalan Dauroh Marhalah I untuk angkatan 2004, Kalikuning, dauroh yang romantis karena diiringi hujan gerimis rintik-rintik, hehe...) kita mendapati fakta bahwa sesungguhnya sebelum kita terlahir ke dunia kita telah bersumpah setia dan bersaksi bahwa Alloh adalah Robb kita. Mau tidak mau kita telah bersumpah, dalam makna yang lebih luas kita telah menyatakan bahwa kita ridho jikalau Alloh sebagai Robb kita, ridho jikalau Islam sebagai dien kita, ridho jikalau Muhammad sebagai Rosul-Nya untuk kita...

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"... (Al-A’rof: 172)

Bai’at pada pemimpin belum bisa kita laksanakan karena saat ini kita belum mempunyai pemimpin umat dalam sebuah jama’ah yang satu. Sumpah setia untuk mendengar dan taat dalam keadaan susah maupun senang, selain maksiat... Ah, coba baca pejuangperadaban.blogspot.com saja dengan judul “Cara Syar’i Memilih Pemimpin Negara”.


Pada suatu kesempatan seorang guru ngaji menanyakan hal ini pada binaannya, “Sudah pernahkah antum mengikrarkan diri untuk berada di jalan dakwah ini? Kapan dan siapa yang menyaksikannya?” 

Rata-rata dari kita mungkin akan mengingat pertama kali menguatkan azam dan bertekad bahwa kita adalah bagian dari dakwah, kitalah rijaludda’wah, dalam keadaan berat maupun ringan kita akan memperjuangkan dakwah. Bahwa kita perlu berkontribusi demi tegaknya dien ini, demi tegaknya kalimatulloh, demi murninya tauhidulloh, telah kita yakini dan tentu saja senantiasa kita usahakan terlahir dalam kata, sikap dan perilaku. Ketika itu saya masih SMP... Waktu dilantik jadi pengurus rohis di SMA... Waktu dilantik jadi PH KaLAM... Apapun jawaban kita, saat ini kita sudah memikul amanah itu, kita telah sadar sepenuh jiwa bahwa semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Tak ada alasan lagi...



Allohu ghoyatunaa... 
Ar-Rosulu qudwatunaa... 
Al-Qur’anu dusturunaa... 
Al-jihaadu sabiilunaa... 
Al-mautu fii sabiilillahi asma amaaninaa...



Dinda, dimanakah kau berada?

Kaderisasi adalah sebuah keniscayaan dalam dakwah. Regenerasi adalah sebuah keharusan dalam lembaga dakwah kampus. Tidak selamanya mahasiswa berada di kampus untuk mengemban amanah dakwah. Selalu ada generasi baru yang perlu kita kembangkan potensinya, kita warnai coraknya, kita bina ruh, akal dan jasadnya hingga suatu saat masa kerja kita selesai, telah ada yang siap menggantikan. Begitu juga KaLAM, orang-orang datang dan pergi, pengurus dan staf silih berganti, dengan harap bahwa roda dakwah terus bergulir.


Semakin banyak merekrut maka semakin banyak kebaikan yang kita tanam. Jika KaLAM sebuah madrasah, semakin banyak lulusan yang akan dihasilkan. Logika mudah yang sering disampaikan dalam dauroh tentang urgensi dakwah kampus adalah sebagai berikut: mahasiswa dari berbagai daerah berkumpul di kampus, jika mereka dibina dan berhasil menjadi kader dakwah, mereka akan kembali ke kampung halaman dan menumbuhkan gerakan dakwah baru di sana. Sebuah pohon pisang akan menumbuhkan tunas-tunas baru, membentuk rumpun dan berbuah. Satu tunas dipindah, akan membentuk tunas dan rumpun baru, begitu seterusnya.

Setelah menyelesaikan amanah di KaLAM banyak kader dakwah yang melanjutkan kontribusinya di washilah dakwah lain. AAI, MER-C, BSMI, profetik, sya’bi, siyasi, dan entah apa lagi yang jelas masing-masing punya kecenderungan terhadap salah satu washilah sebagai bagian dari kerja besar dakwah. Bukan karena “nggak lucu” kalau seorang aktivis dakwah pensiun dini dari kegiatan dakwah tapi karena semua itu memang telah melekat dalam diri kita, “kita adalah da’i sebelum apapun”. Sungguh, kerja-kerja dakwah sangat banyak, jalannya begitu panjang berliku, pengusungnya sangat sedikit, rintangannya pun bejibun (iki jane boso ngendi to cah? Artine opo?) jadi sekali lagi tak ada alasan bagi lulusan KaLAM untuk bersantai karena merasa amanahnya sudah tuntas.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)


Semata mencari hujjah di hadapan Alloh, semata memperbaiki diri sendiri, semata menjaga agar diri kita tetap istiqomah di atas jalan hidayah, semata kita memikirkan ayat ini: 

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Al-Anfaal: 25)



Kan kujaga nyalamu selalu, rembulan di langit hatiku...

“Mas, ternyata amanah ki menjaga yo?” 
Awalnya pertanyaan di atas merupakan sebuah kalimat aneh... bukankah lebih bagus kalimat ini? “Amanah itu harus dijaga ya, Mas?” 

Tidak, coba perhatikan kenyataan bahwa pertanyaan pertama jauh lebih bagus dan mendalam. Setelah kita cerna dan renungi pertanyaan retoris dari seorang adik tersebut barulah kita akan bersimpul, “Memang benar adanya wahai Dinda (^_^)”. Ternyata amanah telah ikut membantu menjaga diri kita. Ketika kita menjadi aktivis dakwah dengan posisi “terpandang”, tak akan main-main kita bertingkah, tak akan seenak bibir kita berucap.


Kita ingat Imam Ahmad pernah disiksa dan dipaksa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Beratnya siksa tak menggoyahkan keyakinan bahwa Al-Qur’an bukan makhluk, tetaplah bahwa Al-Qur’an adalah firman Alloh. Apa yang dipikirkannya? Bukankah kita diperbolehkan mengatakan suatu kalimat kekafiran jika hal tersebut sangat terpaksa dan sebatas kita tidak meyakini apa yang kita ucapkan? Subhanalloh... hafidzohullohu wa rohimahulloh... Di luar sana ribuan orang bersiap menuliskan apa yang akan dikatakan Imam Ahmad dan itu tidak sebanding dengan siksa yang dirasakan. Karena itulah Imam Ahmad memilih tetap pada pendirianya. Allohu a’lam...

Ada kisah unik dari seorang kawan tentang “penyelamatan” Alloh terhadap beliau dengan memberikan amanah sebagai ketua rohis waktu SMA. Singkat saja, beliau hampir terkena fitnah berupa wanita (biasa kan anak SMA... :P) dan pada saat-saat terendah beliau justru Alloh menjadikan predikat ketua rohis melekat dalam diri beliau. Hasilnya, qodarulloh amanah itu menjaga beliau untuk tidak macam-macam. Kan ra mutu babar blas nek ketua rohis koq kena kasus sama akhowat? Hehe... Apa kata dunia..??? v^_^


Bagi yang mempunyai kelompok binaan (AAI misalnya) mungkin pernah merasakan teguran halus dari Alloh melalui adik-adik yang kita bina. Pertanyaan-pertanyaan lugu mereka, curhat mereka, materi yang harus kita sampaikan, pastilah kita ingat firman Alloh ini: 

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shoff: 2-3)


“In a great power, there’s a great responsibility” kata Peter Parker si Spiderman.

Kata Rosululloh, artinya, “Sesungguhnya Alloh meminta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin terhadap apa yang dipimpinnya, dia pelihara atau dia sia-siakan? Hingga dia pun ditanya tentang keluarganya. (H.R. Ibnu Hibban)

Sebenarnya hidup ini sendiri sudah merupakan suatu amanah, dengan derivat yang beraneka. Bayangkan jika kita tidak mempunyai amanah atau tanggungan... Godaan untuk berbuat seenak perut tentu lebih besar daripada ketika kita mengelola amanah yang banyak dan berat. Ada banyak hikmah dalam kata “amanah”. Pernah mendengar ungkapan (kalau tidak salah dari ustadz Rahmat Abdullah), “Alloh akan menguji kita di titik terlemah kita agar kita menjadi lebih kuat di sana”?

Ah, bagaimanapun juga kita tetap meminta pada Alloh agar tidak dibebani sesuatu melampaui kemampuan kita dan hal itu sebenarnya juga merupakan janji Alloh. Coba buka kembali ayat terakhir surat Al-Baqoroh...


Robithoh

Semoga tulisan ini bisa sebagai cambuk hati, penawar lelah pengemban dakwah, madrasah jiwa perindu surga (Lha koq judul buku kabeh Mas?). Ayo teriakkan, “Gue Never Die!!!” (Lhah! Judul buku lagi Mas?) atau “Saksikan bahwa aku seorang muslim! Di jalan dakwah aku menikah!” Hehe... baarokalloh buat akh Fajrin... maaf kaya’e waktu itu ga ada PH 2006 yang bisa datang pas walimah ya? Tapi do’a kita tetap maqbul insya’alloh... :P Bole lah kapan gitu kita dikumpulin, makan-makan (walimah spesial :D kan kita punya proker Kajian Spesial?? –Opo hubungane Mas??- Hehe...)


Saudaraku, dimanapun antum semua berada, aktivitas apapun yang antum lakukan saat ini, tetaplah berada di jalan Alloh, tetaplah istiqomah di jalan dakwah. Semoga Alloh meridhoi semua langkah kita...

Maaf kalau selama ini ana punya banyak khilaf...

Yassarollohu lanaa alkhoiro ainamaa kunna... 
Semoga Alloh memudahkan kebaikan bagi kita dimanapun kita berada...


Yaa muqollibal quluub, tsabbit quluubanaa ‘alaa diinik, ‘alaa tho’atik...

“Ya Alloh sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam taat pada-Mu, telah bersatu dalam da’wah pada-Mu, telah berjanji setia untuk membela syari’at-Mu. Kokohkanlah, Ya Alloh, ikatan pertaliannya. Kekalkanlah cintanya. Tunjukilah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati ini dengan nur cahaya-Mu yang tidak pernah pudar. Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal kepada-Mu. Hidupkanlah dengan ma’rifat pada-Mu dan matikanlah dalam syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Ya Alloh... Aamin... sampaikanlah kesejahteraan ya Alloh, pada junjungan kami Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabatnya, limpahkanlah kepada mereka keselamatan...”

Ana uhibbukum fillah, billah, lillah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar