Bagaimana Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak?


Oleh:
Ustadz Didik Purwodarsono
(Da’i populer, pemerhati keluarga sakinah & pembina yayasan Pelita Umat Yogyakarta)
Suraji Munawir
(Dosen & Kepala sekolah Play Group & RA Kreatif Al Baraakah)


I. Berawal Dari Do’a
Setiap manusia yang normal pasti menyadari sebagai makhluk ALLOH yang paling sempurna. Salah satu wujud kesempurnaannya adalah cita-cita atau idealisme. Namun pada tahapan tertentu dalam prosesnya, sekitar 20 tahun, biasanya muncul pesimisme, tidak semua yang diharapkan akan terealisasi. Maka muncullah pemikiran atau bergumam “anak-anak saya harus punya nilai lebih daripada saya”. Bagi seorang muslim tentunya tidak asing tentang bimbingan Islam dalam bercita-cita tentang anak. Di samping ketika kita mati harus menggoalkan tiga hal diantaranya, “anak sholeh yang bisa mendoakannya” kita juga mengenal doa-doa tentang anak: Q.S. 25:74, Q.S. 37:100, Q.S. 46:15. Doa adalah harapan, permohonan, obsesi dan impian. Untuk merealisasikannya itu harus ada ikhtiar yang maksimal.



II. Carikan Calon Bapak Dan Ibunya
Ibarat orang yang ingin sukses dalam berkebun agar mendapatkan hasil yang memuaskan tentunya tidak boleh meremehkan kualitas benih yang akan disemaikan. Secara teoritis kita sulit mengharapkan tanaman yang berkualitas sementara benih yang kita semaikan adalah benih yang sembarangan. Apalagi berharap memiliki anak yang berkualitas tentunya siapa yang akan menjadi calon bapak dan calon ibunya harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Ketika kita akan menikah, di samping mempertimbangkan apakah seorang ibu layak menjadi pasangan bagi saya sekaligus kita harus mulai mempertimbangkan apakah seseorang itu juga cocok menjadi calon bapak atau calon ibu bagi calon anak-anak saya nanti. Q.S. 2:221, Q.S. 24:26, dll.



III. Siapkan Keluarga Sakinah
Benih tanaman yang berkualitas untuk menjadi tanaman berkualitas haruslah disemaikan di lahan yang kondusif. Lahan yang kondusif itu adalah keluarga sakinah, mawaddah, rahmah, dan barokah (SAMARABA). Yaitu suatu keluarga yang ditegakkan sebagai suatu organisasi yang solid. Organisasi yang solid dibentuk untuk mencapai tujuan bersama dengan cara kerja sama bukan sama-sama kerja. Apapun peran laki-laki dan perempuan di sektor publik, di rumah tetap memiliki kedudukan yang tidak boleh diotak-atik, laki-laki sebagai suami dan bapak, wanita sebagai istri dan ibu dengan segala hak dan kewajibannya masing-masing. 

Keluarga yang ideal menurut Al-Qur’an adalah keluarga Nabi Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim As dalam Q.S. 66:21-40, Q.S. 60:4-6, Q.S. 25:74. Bukan keluarga Fir’aun Q.S. 66:11 apalagi keluarganya Abu Lahab Q.S. 111:1-5. Atau mencontoh perilaku burung merpati, bukan ayam, puyuh, apalagi itik.



IV. Disyukuri Kehadirannya
Terlepas dari pertimbangan ekonomi, politik dan budaya yang bisa berubah-ubah, pada dasarnya anak adalah anugrah, ni’mat bahkan dalam do’a berhubungan suami-istri anak diistilahkan dengan “rizki”. Kenikmatan itu pada dasarnya adalah hal yang positif tetapi dalam kenyataannya bisa positif bisa negatif tergantung bagaimana kita menyikapinya (Q.S. 14:7) termasuk anak. Bersyukur adalah menyikapi kenikmatan secara positif dan kufur adalah menyikapi kenikmatan dengan negatif. Apabila kita syukuri dengan benar sesuai dengan tuntunan yang memberi nikmat (Islam), bukan mengikuti tradisi atau budaya barat. Insya’alloh anak kita akan tumbuh kembang sebagaimana kita harapkan (Q.S. 25:74) dan tidak akan menjadi fitnah (Q.S. 64:15) musuh (Q.S. 64:15) atau sekedar perhiasan dunia semata (Q.S. 3:14, Q.S. 18:4). Di antara tuntunan syari’at menyambut kehadiran anak adalah dengan Aqiqah pada hari ke-7nya.



V. Fahami Sifat Dasarnya
Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, yaitu memiliki potensi insaniyah yang masing-masing diproses (pertumbunhan dan perkembangan) sebagai makhluk yang paling sempurna (Q.S. 17:70), paling tidak manusia memiliki lima dasar kecerdasan. RQ (Reflective Quotient= naluri), LQ (Libido Quotient= syahwat), IQ (Intelligence Quotient= nalar), EQ (Emotional Quotient= rasa), dan SQ (Spiritual Quotient= rohani). 
Meskipun setiap anak dianugerahi lima potensi tadi namun setiap anak adalah pribadi yang unik. Oleh karena itu setiap anak memiliki bakat yang nanti akan bermanfaat dalam hidupnya (Q.S. 17:84). Oleh karena itu orang tua harus mengenal betul dimensi mana yang paling menonjol di antara lima dimensi di atas. Anak jangan dipaksa untuk tumbuh kembang menyimpang dari kelebihan yang sudah dibawa sejak lahir. Namun anak juga jangan dibiarkan berkembang di atas kemenonjolannya tanpa diimbangi oleh dimensi yang lainnya. Keseimbangan itu lebih bermanfaat daripada kemenonjolan.



VI. Pentingnya Nama Yang Baik
Sebagai pribadi yang unik, maka sudah menjadi kebiasaan setiap anak setelah kelahirannya pasti diberi nama. Rasululloh SAW dalam hal itu bersabda “...Fa ahsinyy asmaakum= karena itu pilihlah nama yang baik bagi kalian” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud). Bahkan beliau sering mengganti nama orang apabila nama aslinya dianggap jelek. Pemberian nama yang baik, yang kita barengkan dengan Aqiqah paling tidak di dalam nama itu mengandung tiga hal yaitu: 1. Nama sebagai identitas, merk atau brand sebagai panggilan yang baik. 2. Nama sebagai assesori, perhiasan, mahkota yang dengannya anak merasa percaya diri, bangga, minimal tidak malu atau minder. 3. Nama sebagai doa atau harapan yang memiliki makna sesuai dengan potensi yang dibawa. Setelah diberi nama yang baik pada saatnya anak harus dijelaskan tentang apa makna nama yang dimilikinya agar memiliki dorongan untuk memiliki kepribadian sesuai dengan namanya.



VII. Butuh Tiga Ibu Dan Cukup Satu Bapak
Ketika Rasululloh SAW ditanya tentang siapa yang harus dimuliakan oleh anak, beliau menjawab “Ibumu” tiga kali dan “Bapakmu” sekali. Hal ini bisa dipahami bahwa seorang ibu memiliki tiga hak dan bapak satu hak. Karena dalam proses tumbuh kembang anak, ibulah sosok yang paling dominan. Ibu yang sempurna seharusnya berjuang maksimal untuk bisa berperan sebagai ibu kandung, ibu susu, dan ibu guru. Idealnya anak berhak nyaman dan aman dalam kandungan 9 bulan 10 hari , mendapat ASI dua tahun penuh dan mendapat pendidikan dasar tiga tahun pertama dalam hidupnya. Sedangkan bapak yang satu bertanggung jawab menciptakan sistem yang kondusif yang memungkinkan istrinya bisa secara optimal menjalankan tiga peran keibuan tersebut (Q.S. 2:223, Q.S. 46:15, dll).



VIII. Kenalkan Masa Depan Yang Sempurna
Perbedaan orang yang kafir dan yang beriman di antaranya adalah konsep tentang “masa depan”. Masa depan orang kafir sekedar sebelum mati sedangkan masa depan mu’min meliputi sebelum dan sesudah mati (Q.S. 2:200-201). Masa depan sebelum mati sifatnya mungkin sedangkan masa depan sesudah mati sifatnya pasti. Masa depan sesudah matu harus diseriusi sedangkan masa depan sebelum mati jangan dilupakan (Q.S. 28:77). Siapa yang sungguh-sungguh mencari akhirat akan mendapat kemungkinan duniawi namun siapa yang hanya sibuk mencari dunia jangankan mendapat kepastian masuk surga, bagian di duniapun belum tentu mendapatkannya. Bisa jadi mati mendadak atau hidup menderita komplikasi.



IX. Bekali Ilmu Yang Memadai
Pada dasarnya setiap anak dilahirkan tanpa memiliki ilmu (Q.S. 16:78) dan setiap manusia harus hidup berdasarkan ilmu (Q.S. 17:36). Maka kewajiban orang tua di samping memenuhi kebutuhan pertumbuhan maka harus dipenuhi pula kebutuhan perkembangannya. Paling tidak setiap anak berhak untuk dibekali dengan tiga disiplin ilmu yaitu ilmu syar’i atau agama untuk menghidupkan hatinya, ilmu profesi untuk menghidupkan otaknya, dan ilmu beladiri untuk menghidupkan ototnya. Setiap anak berhak untuk diantar menjadi takwa, cerdas, dan terampil sehingga mampu menghadapi tiga masalah hidup yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia yaitu: moralitas, relativitas, dan kriminalitas. Oleh karena itu idealnya anak kita berhak untuk dididik menjadi Ulil Albab yaitu sosok pribadi yang memiliki kemampuan sebagai ahli dzikir, ahli fikir, dan ahli ikhtiar (Q.S. 3:190-191). Siap untuk menjadi aktivis masjid, sekolah, dan lapangan. Terpadunya aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik. Untuk itu kita bgersyukur sudah banyak lembaga-lembaga pendidikan islam terpadu yang siap membantu kita, tinggal kita saja yang harus banyak duitnya sebab pendidikan ini belum mendapat perhatian dari pemerintah. Mungkin dibutuhkan kemampuan kita untuk berjuang di dalam politik pendidikan.



X. Diringankan Beban Eksternalnya
Anak-anak kita yang lahir dengan fitrahnya seharusnya dibantu oleh kekuatan-kekuatan eksternal sehingga tumbuh kembang menjadi manusia yang ideal. Namun kenyataannya anak kita justru dibingungkan oleh enam kekuatan eksternal yuang kontradiktif atau belum memiliki kesamaan orientasi. Keenam kekuatan itu adalah rumah, sekolah, dakwah, media, dan kebijakan politik. Agar anak-anak kita menjadi ringan bebannya seharusnya kita berusaha membantunya yaitu dengan membangun kerja sama yang baik antara rumah, sekolah, dan dakwah untuk memiliki sikap yang sama terhadap pengaruh media, pergaulan, dan kebijakan politik yang tidak terkendali (Q.S. 5:2).



XI. Ajari Hidup Dari Realitas Dan Kendalikan Fasilitas
Hidup adalah perjuangan, setiap manusia diciptakan untuk menghadapi kesulitan sekaligus diberi naluri untuk menemukan kemudahan. Antara kesulitan dan kemudahan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan (Q.S. 94:5-6). Oleh karena itu agar anak kita bisa mudah menghadapi kesulitan-kesulitan hidup mereka harus kita ajari hidup realistis. Setiap yang dia dapatkan hendaknya sebagai hasil dari ikhtiarnya. Kita perlu menghidupkan lagi pepatahyang mengajarkan berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Ajari mereka menjadi perintis bukan menjadi pewaris, ajari mereka sebagai pengais bukan sebagai pengemis, ajari mereka sebagai pelopor bukan sebagai pengekor, ajari mereka sebagai penggerak bukan sebagai penggertak, ajari mereka sebagai pemain bukan sebagai mainan. Jangan mentang-mentang kita sukses secara ekonomi dan mampu memanjakan mereka lantas kita perlakukan mereka sebagai ayanm sayur yang besar dari fasilitas bukan dari realitas, sehingga mereka menjadi sosok yang steril tetapi tidak imun, ada kesulitan sedikit seakan-akan dunia sudah kiamat. Mungkin kita perlu mengambil ibrah dari bagaimana ayam kampung mengantar anak-anak mereka untuk menjadi penakluk yang tahan banting.



XII. Ajari Mereka Memahami Tahapan Kedhidupan (Manajemen Umur)
Hidup sebagai proses haruslah dilewati tahap demi tahap (Q.S. 84:19). Bila sudah menyelesaikan suatu tahapan cepat bersiap untuk memasuki tahapan berikutnya (Q.S. 94:7-8). Secara sederhana tahapan itu bisa dikaitkan dengan ukuran umur. Umur anusia sekarang memiliki harapan hidup antara 60-70 tahun. Paling tidak agar anak kita dapat melewati tahapan-tahapan yang benar kita beri pengarahan melewati tahapan hidup per 20 tahunan. Tahapan pertama usia 0-20 tahun titik tekannya adalah untuk penguasaan teori-teori kehidupan atau mencari ilmu yang meliputi ilmu syar’i, profesi, dan beladiri (Q.S. 16:78, Q.S. 17:36). Tahapan kedua usia 20-40 titik tekannya untuk menguasai materi sebagai citra dunia atau perhiasan dunia sehingga usia 40 sudah memiliki status al amin atau yang dapat dipercaya di masyarakatnya (Q.S. 3:14). Tahapan yang ketiga usia 40-60 titik tekannya pada penguasaan nilai-nilai kehidupan agar hidup terhormat, mulia, bahagia, dan berwibawa (Q.S. 46:15-16). Tahapan yang keempat usia 60 sampai akhir hayat, titik tekannya untuk persiapan masa transisi belajar meninggalkan dunia bersiap ke akhirat dengan berusaha memiliki prasasti dan presasti (Q.S. 36:12) paling tidak ketika mati memiliki peninggalan berupa shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan (H.R. Muslim)



XIII. Kenalkan Pendidikan Seks Sejak Dini
Meskipun laki-laki dan perempuan secara substansi sama (Q.S. 49:13) namun harus diakui secara eksistensial mereka jelas berbeda (Q.S. 3:36) paling tidak yang mudah kita kenal perbedaan itu meliputi perbedaan biologis, psikologis, dan anggapan sosiologis. Oleh karena itu kita harus mendidik anak laki-laki untuk menjadi laku-laki dan mendidik anak perempuan untuk menjadi perempuan. Sekarang ada kecenderungan banyak anak laki-laki tidak mengenal kelelakiannya dan banyak anak perempuan yang tidak mengenal keperempuanannya. Banya laki-laki yang kewanita-wanitaan dan banyak wanita kelelaki-lakian. Seharusnya laki-laki dan wanita diciptakan untuk menjadi pasangan, sering berperan menjadi saingan. Pergaulan laki-laki dan perempuan yang seharusnya saling melengkapi kenyataannya justru saling mengalahkan.



XIV. Ajari Menyikapi Situasi Trilematis
Anak kita hidup dalam sebuah realitas di simpang tiga nilai atau peradaban. Secara geografis mereka lahir di masyarakat timur yang masih tradisional, primitif, dan mistis. Secara historis mereka hidup di abad 21 puncak peradaban barat, modern yang menjadi pengarah arus globalisasi. Mau tidak mau mereka ikut budaya materialistic, hedonistic, individualistic, dan permisif. Sedangkan secara teologis anak-anak kita beragama Islam yang harus memiliki gaya hidup khas sesuai tuntunan alQur’an dan AsSunnah. Dalam kondisi semacam itu anak kita sering menghadapi kebingungan nilai-nilai mana yang harus diikuti. Oleh karena itu setiap orang tua dituntut untuk memeberikan pengarahan agar nilai-nilai islami diletakkan di atas nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai sekuler (Q.S. Alfatihah)



XV. Bekali Dengan Tiga Prinsip Hidup Muslim
Agar mereka menjadi orang yang sukses dunia akhirat bekalilah dengan tiga prinsip hidup muslim untuk meraih kemuliaan dan kemenangan yaitu iman, hijrah, dan jihad atau keyakinan, perubahan, perjuangan atau cinta, proses, dan pengorbanan (Q.S. 9:20, Q.S. 2:218)


(Disalin dari buletin Media Learning Family edisi perdana Play Group & RA Kreatif Al Baraakah, www.albaraakahcreative.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar