Mushaf Al-Qur'an atau Buku Gaul?

Tanpa membaca terlebih dahulu uraian yang akan saya sampaikan, apa pilihan anda? Al-Qur'an? Baiklah, di akhir tulisan ini saya harap pilihan anda berubah menjadi "Buku Gaul". Hehe... Nyante, baca dulu ide kecil saya ini, siapa tahu akan membawa dampak perubahan besar dalam kehidupan kita.

Suatu hari saya mengikuti sebuah dauroh (pelatihan) di salah satu kantor dinas pemerintah. Ada tiga ikhwan duduk di dalam ruangan, seorang sedang melihat hape, yang lain tilawah dan yang satunya nampak kebingungan. Saya menyalami ketiganya, mulai dari yang nampak kebingungan lalu al-akh yang pada saat saya datang beliau menghentikan tilawahnya dan yang terakhir al-akh si pemegang hape. Orang pertama itu panitia, orang kedua peserta, dan orang ketiga ternyata ustadz yang akan memberikan taujih. Saya menyalami dengan urutan tersebut karena al-akh yang pertama tidak beraktivitas berarti, yang kedua baru menghentikan tilawah setelah saya datang, yang ketika sedang sibuk dengan hape dan baru berhenti saat saya mengulurkan tangan.

Saya pernah membaca salah satu adab terhadap orang yang sedang tilawah yaitu jangan memotongnya dengan pembicaraan, salam sekalipun. Pada akhirnya saja merasa bersalah karena menyela al-akh kedua hingga beliau menghentikan tilawah karena salam saya, juga pada ustadz yang waktu itu memegang hape. Ternyata al-akh ketiga alias ustadz itu sedang membaca al-qur'an dalam hapenya. Ketiga ikhwan itu belum saya kenal sebelumnya.

Ide kecil yang ingin saya sampaikan yaitu "Jika kita berada di tempat umum, tempat asing, bertemu orang umum, orang asing, di bis, kereta, stasiun, terminal, dan sebagainya mungkin lebih baik kita mengisi waktu bukan dengan membaca al-qur'an tapi dengan membaca buku-buku islami yang gaul dan ringan". Salah satu alasannya adalah kisah yang telah saya sampaikan di atas. Alasan kedua, kita bisa memotong bacaan kapan saja ketika orang datang, minta tolong, mengajak ngobrol atau bentuk komunikasi lain. Dengan buku gaul kita juga bisa memulai pembicaraan bahkan menyisipkan dakwah.

"Mas, pernah baca buku ini belum? Di sini katanya bla...bla..bla..." Atau dialog yang juga sering saya alami, "Baca buku apa mas? Coba liat." Terkadang kita bisa memulai hubungan dengan berakting senyum-senyum sendiri pada saat baca buku hingga orang di dekat kita penasaran lalu ingin meminjam buku kita. Hal lain yang bisa kita lakukan adalah meminjamkan buku gaul kita pada orang yang belum kita kenal bahkan memberikannya. Bayangkan betapa momen pertemun singkat dalam sebuah bis bisa berbuah ukhuwah atau mungkin hidayah. Bukan tidak mungkin ALLOH memberi hidayah pada seseorang melalui buku kita, meski setelah pertemuan itu kita tidak pernah lagi bertemu dengan orang yang kita beri buku.

Ingat kisah ustadz Hasan Al-Banna sengaja menginjak kaki orang dalam sebuah bis atau kereta agar bisa berkenalan? Semacam itulah analoginya. Pada saat keluar rumah, itulah waktu kita menebar kebaikan. Cobalah berkenalan dengan sebanyak mungkin orang. Sebarkan pemikiran-pemikiran islam meski nampak kecil misal dengan mengajukan pertanyaan inspiratif yang menyadarkan orang lain terhadap masalah umat. "Sekarang di mana-mana banyak spanduk diskotik ya Bu. Itu di jalan kaliurang, di sebelah sana juga, bahkan di dekat-dekat kampus. Koq gak ada spanduk tabligh akbar ya Bu?" Tapi kudu hati-hati, jangan malah jadi nggosip, hehe...


Baca Al-Qur'an-nya kapan dunk? Ya kalo di rumah, di masjid, dsb. Wah, jangan-jangan masnya sekuler ya? Ngaji kan nggak harus di masjid? Bukannya kita juga perlu menunjukkan simbol-simbol islam di lingkungan kita? Di Mesir, katanya orang-orang tuh biasa tilawah di bis, kereta dan tempat umum lainnya. Biar nggak pada alergi sama islam, gitu kan? 

Baiklah jika seperti itu, banyak cara memang dalam mengakrabkan islam dengan kehidupan sehari-hari. Yang saya pilih dan mungkin anda juga bisa memilihnya adalah bacaan berat seperti Al-Qur'an, kitab Fiqh, Aqidah, siroh, masalah khilafiyah, pergerakan, dan sebagainya yang belum memungkinkan dicerna orang umum bisa dibaca di rumah atau dalam halaqoh ilmu sedangkan buku-buku ringan dan gaul yang mudah dipahami orang umum bisa dibaca di mana saja dengan alasan yang tentunya sudah cukup jelas saya sampaikan.


Jika kultur negeri kita sudah seperti Mesir atau negara-negara Arab lain mungkin lebih mudah berdialog dengan dalil kitab yang amat detail dalam hal penyebaran pemikiran islam. Di Indonesia negeri tercinta kita ini sepertinya masyarakat umum masih jauh lebih perlu "diikat" dan diberikan persepsi bahwa islam itu mudah, bersahabat, tidak "njlimet", dan hal-hal lain yang bisa menarik perhatian orang terhadap islam. Pernah saya antri di sebuah klinik kesehatan dan mendengar percakapan dua orang akhowat bercadar dengan seorang ibu dan putranya. Mereka berbincang sangat dekat dan sesekali bercanda. Begitulah semestinya, silakan berjubah, bergamis, bercadar, berjenggot tebal, bercelana cingkrang dan berciri islam sesempurna mungkin tapi usahakan tetap bergaul layaknya masyarakat. Hapus stigma-stigma buruk masyarakat terhadap islam, jangan sampai keberadaan kita justru semakin menguatkan stigma buruk itu.

Senyumlah dan berikan keramahan islam pada semua orang. Berikan harapan cerahnya wajah islam. Sebuah hal yang sangat menyedihkan jika ada orang menjadi enggan bersahabat dan belajar lebih dalam tentang islam hanya gara-gara kita kurang "care" dengan lingkungan sekitar. "Ogah ah, ntar takut jadi ekstrimis." Astaghfirulloh... Lebih menyedihkan lagi jika kita dicap sombong atau memang benar ada sombong dalam diri kita. Masyarakat memang banyak yang belum ngaji, belum bisa menjaga pandangan dan perkataan, belum bisa menjalankan sunnah. Lantas apakah kita merasa lebih baik? Toh hidayah itu milik ALLOH, kita bisa mengamalkan islam di atas rata-rata masyarakat juga karena petunjuk ALLOH, sekali petunjuk dicabut kita bisa apa? Na'udzubillahi min dzalik...

Kita kembali ke topik mushaf Al-Qur'an atau buku gaul. Perilaku memilih membaca buku gaul di tempat umum ini bukan berarti mengesampingkan kitab suci sebagai bacaan utama umat islam, ini salah satu cara kecil agar islam tidak hanya milik orang per orang tapi juga milik masyarakat banyak. Belajarlah teori-teori di "sasana" lalu belajarlah kiat-kiat di "ring tinju". Ketika sudah di medan perang kita tidak bisa lagi belajar teori berperang, yang bisa kita lakukan adalah berperang dan belajar dari pengalaman lapangan. Belajar di rumah, tebarkan kebaikan saat keluar rumah.

Nah, sekarang apa pilihan kita? Membiarkan orang tidak berani menegur dan terjebak dalam kebekuan karena tahu kita sedang membaca Al-Qur'an atau membuatnya ingin menyapa karena melihat kita sedang membaca buku islami gaul yang sepertinya menarik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar