The Last Santri

“Mudah-mudahan Allah akan terus menyatukan hati kita dalam wihdatul aqidah, menyatukan ide dan pemikiran kita dalam wihdatul fikrah, dan menyatukan gerak langkah kita dalam wihdatul manhaj. Selamat berjuang...” pesan yang dituliskan di halaman akhir sebuah mushaf al-qur’an oleh salah seorang ustadz pada santrinya ketika perpisahan masa tinggal di asrama. Di manapun kita berada, tetaplah berkarya...


Sebuah Jeritan

“Aaaarrrggghhh!” tiba-tiba ikhwan itu menjerit ketika salah seorang ustadz mengajak kami berikrar. 
Kami berada dalam posisi melingkar saling mengeratkan barisan dengan mengaitkan lengan-lengan kami satu sama lain. Ustadz itu berada dalam barisan seperti kami. Beberapa panitia memegang handycam dan kamera untuk dokumentasi.



“Di luar sana orang-orang kafir senantiasa merapatkan barisan untuk menghancurkan Islam. Mari kita rapatkan barisan. Kita semua yang ada dalam lingkaran ini, mari kita sama-sama berikrar. Kita semua yang ada di sini akan selamanya berada di jalan dakwah. Barangsiapa keluar atau berhenti dari jalan dakwah, kita berlepas diri dan menyerahkan urusannya pada Alloh. Biarlah Alloh yang akan mengadzab!” kalimat terakhir inilah yang membuat salah seorang ikhwan tadi menjerit sembari hendak melepaskan kaitan lengannya. 

“Aaaarrrggghhh!” bukan jeritan kesal, lebih mirip lenguh ketakutan.

Entah apa yang membuat ikhwan alumni pesantren itu menjerit. Boleh jadi seusai lepas dari pesantren beliau juga sempat melepaskan diri dari dakwah, atau beliau tergambar beratnya konsekuensi yang akan ditanggung karena ikrar itu? Bayangkan, ADZAB!!! Ya, jika sampai keluar dari jalan dakwah biarlah Alloh yang akan mengadzab! Na’udzubillahi min dzaalik...

Akhirnya lingkaran itu ditutup dengan takbir tiga kali dan semua saling menjadi saksi, dinding pun akan menjadi saksi atas ikrar yang telah kami azamkan. Panitia tak kalah akal, diambilnya wajah kami satu per satu dengan handycam, “Ini akan menjadi bukti antum suatu saat nanti!”


Generasi Pengganti

Rasanya semua penduduk Jogja mengeluhkan hal yang sama, mungkin karena hawa neraka kian dekat, “Jogja makin panaaass!” 
Siang itu terik matahari membakar Jogja utara, membuai orang-orang untuk berdiam diri di rumah menikmati tidur siang ditemani kipas angin atau sekedar angin yang membawa dedaunan kering melayang-layang nampak dari jendela. Seorang ikhwan beranjak dari tempat tidurnya untuk mandi karena hendak berangkat ke sebuah acara pertemuan para pengajar TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) di salah satu masjid kecil di Cangkringan bagian selatan. Bersama seorang rekannya ikhwan itu berangkat naik motor.


Subhanalloh... dari motor yang terparkir di depan masjid bisa disimpulkan bahwa ternyata banyak juga yang datang. Kedua ikhwan itu langsung menuju ruang utama masjid. Mereka duduk di hadapan pembicara yang sudah tidak asing lagi. Seorang ustadz yang bisa dibilang sesepuh dakwah sya’bi Jogja sedang memberi taujih kepada para pejuang Islam lereng Merapi dengan suara dan logat khasnya. Kalau tidak salah ustadz tersebut pernah sampai membuat surat pernyataan resmi tidak bersedia dicalonkan sebagai anggota dewan salah satu partai islam karena berbagai alasan, salah satunya karena ingin tetap membina umat secara umum. “Oh, ustadz Didik,” gumam salah satu dari mereka.

Nampak satu setengah shof ikhwan dipenuhi pengajar TPA dari berbagai usia. Di belakang ada shof akhowat hingga ruang di sebelah timur ruang utama. Mungkin ada sekitar 50-60 pengajar TPA dalam masjid itu. Bisa dibilang banyak bisa juga dibilang sedikit mengingat peserta semestinya terdiri atas pengajar masing-masing unit TPA yang berada dalam koordinasi sebuah yayasan yang meliputi empat kecamatan: Ngemplak, Pakem, Cangkringan, Klaten. Para pendekar lereng Merapi turun gunung...


“Semua yang ada di sini ingin menjadi yang digantikan atau yang menggantikan?” tanya sang ustadz sambil tersenyum. 

“Semestinya kalau mau jadi yang menggantikan ya harus jadi perintis bukan pewaris, pelopor bukan pengekor...” 

Uraian ustadz tersebut berkenaan dengan Surat Al-Maa’idah ayat 54 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”


Dari surat Al-Maa’idah ayat 54 dapat kita petik pelajaran bahwa jika kita ingin menjadi generasi pengganti dan bukan generasi yang diganti maka kita harus mempunyai karakteristik generasi pengganti. Yang pertama adalah perbaikan aqidah, kecintaan kita pada Alloh harus berada dalam peringkat pertama. Yang kedua bersifat lemah lembut terhadap orang mukmin lalu bersikap keras terhadap orang kafir. Yang ketiga berjihad di jalan Alloh dan yang keempat tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Ustadz tersebut menambahkan organisasi yang kuat sebagai salah satu hal penting bagi generasi pengganti.

Begitu banyak contoh dan janji Alloh dalam Al-Qur’an yang pada intinya Alloh telah dan akan menggantikan kaum yang dzolim dan atau mendustakan para rosul dengan kaum lain yang jauh lebih baik dari mereka (4:133, 5:54, 6:133, 7:69, 7:74, 9:39, 10:14, 11:57, 14:19, 21:11, 35:16, 43:60, 47:38, 70:41). Kebinasaan kaum Nuh, `Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri lain yang telah musnah (9:70) hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua. Sekali lagi pertanyaan yang kemudian muncul adalah, “Kita akan digantikan atau menjadi generasi yang menggantikan?”


Malam Robithoh

Di malam akhir syawal 1430 H itu berkumpul empat puluhan orang di sebuah pondok pesantren mahasiswa yang konon dahulu didirikan oleh yayasan Al-Muhtadin yang terdiri dari para mu’alaf. Sebuah reuni akbar seluruh alumni santri Pondok Pesantren Mahasiswa Islamic Centre Al-Muhtadin dilangsungkan di lantai satu gedung PMIC Al-Muhtadin setelah sholat jama’ah isya. Ruangan yang biasanya digunakan para santri berlatih Mix Martial Art itu nampak ramai oleh alumni santri dan ustadz pengajar, tentunya juga dua puluh santri yang saat ini sedang berasrama di sana. Sebuah LCD beserta layar putih disiapkan di sudut kiri depan, meja pembicara ada di tengah antara LCD dengan beberapa tamu yang ada di kanan depan. Santri-santri yang hadir mengelompok per angkatan tapi hal tersebut tak menghalangi kami untuk saling berkenalan karena pembawa acara menyediakan waktu untuk ta’aruf per angkatan pada malam itu.


Sesaat setelah ustadz sesepuh pengasuh PMIC yang saat ini menjadi anggota DPD RI hadir acara pun dimulai. Acara diawali pembukaan oleh pembawa acara lalu tilawah al-qur’an oleh salah seorang ikhwan. Sambutan sekaligus taujih serta launching website baru PMIC Al-Muhtadin oleh ustadz Cholid Mahmud menjadi acara yang dinantikan seusai makan malam dalam dus putih dihidangkan beserta sirop dan semangka segar. Sebentar saja beliau memberi taujih karena ada acara lain di auditorium JIH (Jogja International Hospital), kalau tidak salah beliau akan mengisi Talkshow ekonomi syari’ah. Oya, website baru PMIC Al-Muhtadin bisa dibuka di alamat http://www.ic-almuhtadin.com.

Tak ada cara lain yang lebih baik untuk melakukan perubahan masyarakat kita ke arah yang lebih baik kecuali dengan dakwah tarbawiyah, perbaikan sedikit demi sedikit. Target PMIC memang belum untuk mencetak kiyai, baru bisa memfasilitasi para aktivis dakwah kampus pada khususnya untuk memperoleh ilmu-ilmu asasi seperti fiqh, tsaqofah, dan lain sebagainya tapi jika ada yang menjadi kiyai ya silakan. PMIC diharapkan dapat memberi kemanfaatan luas pada masyarakat sekitar, sebagai contoh adalah kajian Ahad pagi yang dibuka untuk umum dan lain-lain. Harapannya jika ada yang mempunyai gagasan bisa disampaikan di forum. Jangan pernah remehkan ide-ide atau amal-amal kecil yang bisa menjadi kebaikan. Boleh jadi perubahan besar justru dimulai dari ide-ide kecil. Pertemuan para santri dan ustadz PMIC hendaknya bisa membuahkan ide-ide yang bisa menjadi awal bagi perbaikan masyarakat. Kira-kira seperti itu yang disampaikan ustadz Cholid dalam taujih singkat malam tersebut.

Momen paling menyentuh pada malam itu adalah ketika kami bersalaman satu sama lain lalu membentuk sebuah lingkaran seperti apa yang telah disampaikan di awal tulisan ini. Ikrar kami, bai’at kami pada dakwah, kali ini bukan hanya satu masa kepengurusan suatu organisasi tapi seumur hidup. Bismillah, semoga niat tetap lurus dan istiqomah hingga khusnul khotimah. Tak habis sampai di situ, air mata ini meleleh ketika ustadz Sholihun yang saat ini menjadi pengasuh PMIC menggantikan ustadz Cholid Mahmud membacakan do’a penutup. Kian deras lelehan itu ketika sampai pada do’a robithoh...

Allohumma innaka ta’lamu anna haadzihil-quluuba qod ijtama’at ‘alaa mahabbatik, waltaqot ‘alaa tho’atik, wa tawahhadat ‘alaa da’watik, wa ta’aahadat ‘alaa nushroti syarii’atik, fawatstsiq allohumma robithotahaa, wa adimwuddahaa, wamla’haa binuurika alladzii laa yahbuu, wasyroh shuduurohaa bifaidhil iimaani bik, wa jamilit tawakkuli ‘alaik, wa ahyihaa bima’rifatik, wa amithaa ‘alasy syahaadati fii sabiilik, innaka ni’mal maulaa wa ni’man nashiir... Allohumma aamin...


Bingkai Kehidupan

Mengarungi samudra kehidupan kita ibarat para pengembara 
Hidup ini adalah perjuangan tiada masa tuk berpangku tangan 
Setiap tetes peluh dan darah tak akan sirna ditelan masa 
Segores luka di jalan Alloh ‘kan menjadi saksi pengorbanan



Allohu ghoyatunaa 
Ar-Rosuul qudwatunaa 
Al-Qur’an dusturunaa 
Al-jihaadu sabiilunaa 
Al-mautu fii sabiilillah asma amaaninaa


Alloh adalah tujuan kami 
Rosululloh teladan kami 
Al-Quran pedoman hidup kami 
Jihad adalah jalan juang kami 
Mati di jalan Alloh adalah cita-cita kami tertinggi


Sekalipun nasyid harocki yang dilantunkan tiga orang santri pada malam itu hanya membangkitkan ghiroh ketika sampai pada syair “Asma Amanina!”, hal itu tidak mengurangi makna bingkai kehidupan yang semestinya dipegang teguh semua da’i, semua santri. Bahwa Alloh adalah satu-satunya tujuan, Rosululloh sebagai teladan, Al-Qur’an sebagai pedoman, jihad sebagai jalan yang harus ditempuh, syahid di jalan Alloh menjadi cita-cita tertinggi, telah benar-benar membingkai kehidupan para santri. Mabaadi’ul hayah, prinsip hidup yang dipegang teguh.

Semoga kita menjadi manusia-manusia penuh karya kaya makna dengan bingkai kehidupan, bukan menjadi bangkai kehidupan. Yah, bangkai kehidupan yang hanya mengotori hidup ini bahkan menyebarkan bau tak sedap kemana-mana. Bangkai hanya seonggok jasad tanpa ruh yang tidak bisa memberi kemanfaatan apapun, tak bisa berkarya, tak bisa beramal, hanya dimandikan, dikafani, disholatkan, hanya menjadi objek amal orang lain. Semoga dengan amal-amal kita selagi jasad dan ruh yang dilengkapi akal ini masih bersatu, kelak diri kita tinggal jasad pun masih dimuliakan oleh Alloh, hingga dihidupkan kembali dan diharamkan tersentuh api neraka lalu diwajibkan masuk surga.


Mari beramal dan beramal... “Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (At-Taubah: 105)

Syaikh Ahmad Yasin yang raganya tak sempurna pun bisa mengobarkan semangat jihad yang luar biasa sampai-sampai musuh Alloh perlu sebuah rudal khusus untuk membuatnya syahid. “Dari kursi roda mengguncang dunia untuk kemerdekaan Palestina” (Shoutul Harokah). Maka kita, mari berkarya, apapun yang kita bisa, meski kecil, meski tak nampak, meski tak populis. Bukankah sebuah amal kecil sekecil dzarroh akan tetap diperhitungkan? “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.” (Az-Zalzalah: 7)

Jangan pernah remehkan amal-amal kecil dan ringan karena seringkali kita justru bisa berlaku ikhlas di dalamnya (Abdulloh Sunono). Boleh jadi Alloh justru ridho pada kita dikarenakan satu amal kecil kita...



The Last Santri

Jika dalam “The Last Samurai” kita melihat berakhirnya generasi para samurai yang sangat ingin mempertahankan tradisi dan keaslian budaya Jepang, di sini kita tak akan menemukan cerita itu. Santri terakhir tak pernah ada, tidak boleh ada! Harus tetap ada sebagian dari umat ini yang terus menerus menyeru dan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. 

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imron: 104)


Harus tetap ada yang senantiasa mengajar dan belajar Al-Kitab. “...Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Ali Imron: 79)

Sesunggungguhnya Islam ini sempurna dan menyeluruh. Setiap bagian dari kehidupan ada tuntunannya dalam Islam, diatur oleh dienul haqq ini. Kita semua juga berdakwah amar ma’ruf nahi munkar dalam segala bidang, segala profesi, niaga, politisi, lingkungan hidup, teknologi, informasi, tata kelola negara, kependudukan, seni, hiburan, semua harus Islami. Namun, di sisi lain tetap harus ada yang tidak menjadi praktisi. “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)

Bukankah asatidz saat ini jumlahnya sangat banyak? Na’am, akan tetapi hal itu tak akan menjadi argumen berarti jika kita mengingat bahwa jalan dakwah teramat panjang. Kemenangan dakwah biidznillah mungkin baru akan tercapai setelah sekian generasi. Tentunya usia manusia tak sepanjang usia dakwah. Para shohabat melahirkan tabi’in, tabi’in melahirkan tabi’ut tabi’in dan seterusnya. Harus tetap ada yang menjaga dakwah ini dengan patokan-patokan syar’i agar ia tak melenceng. Dari generasi ke generasi akan terus bergulir dakwah ini. Harus selalu ada generasi pewaris para nabi. Harus ada yang dikader tidak untuk menjadi praktisi, merekalah para santri. Masih panjang generasi yang harus disiapkan. Agar kita tidak meninggalkan generasi yang lebih buruk setelah kita. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisaa’: 9)


“...Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan (nya).” (Yunus: 49)

Di dunia ini tak ada yang abadi, teruslah bersiap para pengganti. Jadilah generasi terbaik, para da’i, para santri harus menjadi generasi terbaik dan tetap terbaik meski berganti masa berganti manusia. Generasi terbaik ialah generasi yang setara atau minimal mendekati kualitas generasi para salafush sholih, para shohabat yang disebut oleh Alloh dalam surat Ali Imron ayat 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah...”


Ayyuhal ikhwah, bergabunglah dengan generasi para santri, agar kita tidak menjadi generasi terganti, agar kita senantiasa menjadi generasi pengganti dan tak lalai menyiapkan pengganti, agar tak ada kisah “The Last Santri”.


Biarlah syair Izzatul Islam yang kan mengakhiri tulisan ini... 
Turut barisan kami, bersama membangun negeri, sambut seruan ini, raih kemenangan sejati...

2 komentar:

masnur mengatakan...

pinjem istilahe yo akh..: makjlebbbb...

Akhid Nur Setiawan mengatakan...

Hehehe.... :D

Posting Komentar