Nantikanku di Batas Waktu...

Tulisan ini bukan tentang nasyid karya Edcoustic yang dikatakan oleh mas Salim A. Fillah sebagai nasyidnya ikhwan nggak gentle. “Kini belum lah saatnya aku membalas cintamu, nantikanku di batas waktu...” Kata temenku, “Koyo ra ono ikhwan liyo wae!” He3x!

Ahad malam tanggal 14 Juni 2009 berderet status FB tentang Valentino Rossi yang mengendarai motornya dengan dahsyat bersama-sama Jorge Lorenzo, mereka saling balap di lap terakhir sehingga sampai akhirnya di satu tikungan sebelum garis finis Rossi berhasil mengungguli Lorenzo. Satu hal yang terpikir olehku bukanlah “Rossi emang keren, uedan!” tapi “What a nice and great entertain!”

Teringat renungan tentang berharganya waktu... bagi seorang Rossi, sepersekian detik sangatlah berharga... Hampir bisa menjadi sebuah diferensiasi antara pemenang dengan pecundang. Balapan motor yang ditayangkan di televisi menurutku hanya sebuah hiburan (entertain) dan sisi menariknya ada pada saat para pembalap saling balap, bukan pada saat tahu siapa pemenangnya atau berapa selisih poin antar pembalap.

Dalam sebuah pertandingan sepak bola biasanya kita menanti gol-gol indah, penyelamatan heroik, pelanggaran dramatis atau tawuran yang seru, he3x! Di cabang olahraga ini kita pasti mengenal “injury time” atau “additional time”, menit-menit paling mendebarkan dari 90 menit waktu normal lamanya pertandingan.

Kata para pelatih sepak bola dan komentator, menit krusial dalam sepakbola adalah sepuluh menit setelah kick off, menjelang turun minum, serta menjelang peluit berakhirnya pertandingan babak kedua. Saat itu para pemain harus konsentrasi penuh agar tidak lengah atau sampai kebobolan. Ingat beberapa piala dunia yang lalu ketika di menit-menit akhir Meksiko hanya mempertahankan skor pertandingan dengan mengoper-oper bola di wilayahnya sendiri tanpa ingin mencetak gol atau dengan kata lain tidak ingin mengambil resiko kemasukan gol? Ya, karena skor saat itu sudah bisa menjadikan Meksiko lolos ke babak berikutnya. Meski mungkin hanya lima menit berlalu seperti itu, kesimpulannya bisa jadi “Tontonan yang mengecewakan!”.

Sulap ilusi yang dilakukan oleh Houdini dan para ilusionis lainnya seringkali memperlihatkan detik-detik terakhir sebagai “point of the show” di mana penonton berada di puncak kengerian lalu borgol atau ikatan terlepas, gembok terbuka, atau kepala muncul ke permukaan setelah batas waktu normal ketahanan nafas dalam air habis. Ini tentang entertain, “Semakin sederhana suatu trik sulap, justru semakin bagus jika kita bisa mengemasnya dengan entertain yang menarik” kira-kira seperti itu kata Deddy Corbuzier dalam The Master. “Standing applause” akan spontan diberikan penonton ketika kita bisa mengakhiri pertunjukan dengan “ending” yang dahsyat. Semua berpangkal pada “timing”.

Masalah “timing” adalah tentang bagaimana kita meletakkan klimaks dalam sajian kita, apapun itu, sulap, drama, cerpen, novel, film, dongeng, termasuk dalam hidup ini. Kita mungkin pernah mengalami berdebar-debar menanti hasil Ujian Nasional, menanti dipanggil nama kita ketika wisuda (kalau aku waktu sih wisuda TPA, kelas tiga SD. Haha... mase blom lulus kuliah ya??) atau pada saat-saat lain seperti pernikahan, kelahiran anak pertama, atau banyak lah... Klimaks memang bisa saja tidak hanya satu agar tidak muncul kesan monoton. Klimaks terbesar harapan semua orang adalah khusnul khotimah, aamin ya Alloh...

Penutup dari tulisan ini adalah... hmm... anu... emm... mohon doa kalian, kawan... semoga aku bisa menghadirkan entertain dahsyat dalam babak singkat berjudul “Skripsi; Berjodohnya Jogja dan Banyumas”. Yup! Sudah pada bulan Romadhon dua tahun yang lalu aku melakukan studi pendahuluan di RSUD Banyumas sehingga jadi tahu rasanya mudik, beratnya perjalanan pulang kampung, jatuh bangunnya pengendara motor antarkota, macetnya jalanan menjelang hari raya dan tentunya asap knalpot di mana-mana.

Waktu mengajarkan bahwa ada yang jauh lebih berharga dari sekedar selesai skripsi atau lulus kuliah, jadilah proposal bertanggal Oktober 2007 diedit jadi Juni 2009. Kenapa gak di Sarjito aja sih? Kenapa gak bareng temen aja? Kenapa gak ikut penelitian dosen? Seorang adik kelas juga bertanya, “Ngopo e mas ra mbiyen-mbiyen le nggarap, pas awal-awal, lagek saiki nggarape?” Ini tentang petualangan, tentang entertain, ketika Jogja Banyumas berjodoh, saat itulah semua sensasi berpadu, bendera papan catur berkibar, gol di injury time membuat penonton bersorak lebih riuh, lalu standing applause meraung-raung laksana “victory lap”. Yah, doakan saja... Nantikanku di batas waktu... ^_^
***

Ketika semangat mengerjakan skripsi menggebu-gebu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar